Monday, December 21, 2015

KKN USD XLIX 2014: Fitnah atau Fakta #1 Tentang Hal yang Biasa Dikhawatirkan

Sebelum mulai bahas tentang apa yang mau aku bahas di sini, aku cuma pengen bilang kalau penggunaan kata 'fitnah' di tulisan ini bukan mengacu ke hal yang negatif sama sekali. Kebetulan aku lagi suka nonton Rumpi No Secret dan menurutku istilah Fitnah vs Fakta adalah penemuan kreatif untuk menggantikan Gosip atau Fakta, atau mungkin Mitos atau Fakta yang udah sering banget dipakai. Itu aja sih.

Setelah sekian minggu absen, akhirnya aku kembali lagi dengan niat yang menggebu-gebu buat nulis dan sharing tentang KKN. Beberapa hari yang lalu aku denger dari beberapa temen yang join KKN angkatan 51 (kalau nggak salah ya) kalau pembagian kelompok dan lokasi sudah ditetapkan. Dari cerita-cerita mereka, aku masih sering banget mendengar kekhawatiran atau keraguan soal KKN itu ngapain aja, di desanya ada listrik atau nggak, dll. Akhirnya kepikiran deh buat bikin postingan ini. Siapa tau ada yang tetiba stalking dan ngerasa terbantu, aku akan seneng banget.

1. Di desa KKN USD (Desa Tegalrejo dan Watugajah), masih ada tempat yang ga ada listriknya.

FITNAH


Desa KKN kita nggak separah dan sepelosok itu kok hehehe. Setauku, hampir semua dusun ada listriknya, hanya memang ada beberapa dusun yang sering mati lampu. Selain itu, penerangan jalan juga belum banyak sih, walau ada listrik. Saranku, bawa emergency lamp yang chargeable dan sedia power bank aja. Selain itu, mandilah ketika hari masih terang. Ga lucu kan kalau mandinya nunggu malem eh malemnya mati lampu, takut ke kamar mandi, ga jadi mandi deh #pengalaman


2. KKN = mandi di sungai.

FITNAH

Please. Bahkan sebagian besar penduduk di sana udah langganan air PAM. Kalaupun ada yang kamar mandinya kurang layak (berdasarkan indikator orang kekotaan) biasanya solusinya adalah numpang mandi di tetangga atau kamar mandi umum (di dusunku, Dusun Tengklik, ada sih, ngga tau kalau di dusun lain gimana).

Eh tapi kok aku seperti pernah denger cerita ada kelompok di dusun mana gitu yang terpaksa bikin toilet ya :(

3. KKN boleh bawa motor.

FAKTA

Motor sangat dibutuhkan untuk keperluan mobilisasi kalian selama di lokasi KKN dan juga kalau kalian mau kabur dolan kemana gitu. Jumlahnya dibatasi sih, maksimal setengah dari jumlah anggota per kelompok. Dulu kelompokku anggotanya 10, jadi maksimal jumlah motor yang kami bawa ya 5. Aku sarankan kalian membawa dalam jumlah maksimal, karena kalau motornya kurang, itu akan mempersulit kalian yang di banyak kesempatan akan sering pergi sekelompok. Eh tapi jangan bawa mobil ya, motor aja. Dilarang keras buat anak KKN bawa mobil.

4. KKN cuma boleh pulang 2 x 24 jam.

Err... aturannya sih gitu. Kalau kalian terjemahkan aturan itu dengan kreatif, FITNAH sih jadinya...

Jadi gini. Maksud dari 2 x 24 jam itu adalah, kalian punya kesempatan pulang sehari semalam selama dua kali. Dengan catatan tidak boleh dalam kurun waktu dua kali berturut-turut. Jadi misalnya kalian hari ini pulang jam 14.00, ya kalian harus balik lagi ke pondokan besok paling telat ya jam 14.00. Ga boleh dua kesempatan kalian gabung jadi satu.

Tapi... Lokasi KKN kita ke Jogja itu jaraknya bukan yang jauh luar biasa gitu sih. Jadi kalau pulang ga sampai 24 jam dihitung nggak? NGGAK. Dulu aku pernah pulang ke Jogja, berangkat dari pondokan jam 6.30 pagi. Balik pondokan jam 16.00. Dihitung pulang nggak? Enggak tuh, hehehe. Padahal itu aku sempet banget di rumah lumayan lama, bisa makan, nonton TV di rumah, bobo siang, nyetrika dll. Pernah juga aku balik ke Jogja sore-sore jam 18.30 karena besok paginya jam 7.00 aku UAS di kampus sebelah, kemudian balik pondokan siangnya jam 12.00. Itupun juga nggak keitung pulang. Padahal nginep di rumah.

Balik lagi sih, perkara keitung pulang enggaknya, tergantung kesepakatan kelompok. Kelompokku sih menyepakati hitungan pulang itu 24 jam. Kalau pulangnya kurang dari 24 jam, ya nggak keitung pulang. Walau begitu, walau kesannya seolah bisa pulang kapanpun kita mau, tapi kita tetep terikat jam kerja, minimal berapa ratus jam kerja gitu. Jadi kalau kita kebanyakan pulang, ya kita rugi sendiri.

5. KKN ga boleh bawa peralatan tidur selain selimut.

Aturannnya sih ada, tapi berdasarkan pengalamanku, itu FITNAH sih.

Memang betul ada peraturan yang bilang kalau anak KKN dianjurkan untuk tidak membawa peralatan tidur lain selain selimut. Tapi pada kenyataannya banyak di antara kami, anak-anak KKN, (termasuk kelompokku sih) yang ditempatkan di rumah kosong (biasanya pemiliknya sedang merantau ke kota atau rumah tersebut adalah rumah 'nganggur' milik orang yang cukup kaya di dusun tsb yang punya lebih dari satu rumah). Nah kalau rumahnya kosong, berarti dipan, tikar, kasur, bantal dan guling juga ngga ada kan? Masa iya kita tidurnya selimutan doang beralas lantai? Lagipula, kalau kita kebetulan kebagian pondokan yang ada penghuninya, mana mungkin mereka bisa menyediakan kasur untuk belasan anak? Tenang, ga bakal ada yang ngecek kita bawa bantal atau ngga, bawa kasur atau ngga. Waktu itu, karena takut dicek, bantal gulingku serta beberapa barang lain yang aku agak takut bawanya menyusul beberapa hari kemudian dianterin Bapakku pakai mobil sih. Trik ini bisa kalian pakai juga hehehe.

6. Jadi barang-barang bawaan KKN itu nggak digeledah atau dicek?

FAKTA

Hehehe, siapa coba yang mau ngecek bawaan sekian ratus anak, dengan bawaan masing-masing anak yang segambreng layaknya mau maju perang?

7. KKN cuma boleh dijenguk keluarga selama dua kali.

FITNAH, tapi menyesuaikan.

Kalau aku nggak salah ingat, ada aturan yang menyebutkan anak KKN cuma boleh dijenguk dua kali atau berapa gitu. Sebenernya sih pada akhirnya ga ada yang bakal ngecek juga kok, keluarganya si itu sering dateng, keluarganya si anu seing berkunjung. Yang penting, sejauh keluarga nggak ada yang nginep di pondokan sih ngga apa-apa, aman. Malahan, kunjungan orang tua temen satu pondokan adalah berkah tersendiri sih bagi yang lain, karena biasanya orang tua ga mungkin dateng bawa angin doang. Pasti minimal bawain makanan atau logistik, dan udah jadi kebiasaan lumrah kalau bawain sesuatu, pasti ga cuma buat anaknya tapi buat temen sekelompok anaknya juga.

Cuma ya, ada beberapa hal yang harus kalian pertimbangkan sih. Rata-rata orang tua atau keluarga yang datang menjenguk itu biasanya naik mobil. Nah, penduduk di desa setempat, atau tetangga kanan kiri kita pas KKN, sensitif banget sama yang namanya mobil. Mungkin karena di sana jarang banget ada yang punya mobil kali ya, jadi bakalan ketaker banget kalau ada mobil yang lewat di depan rumah mereka. Pernah waktu itu orang tuaku datang jenguk aku, warga dari RT 01 sampai RT 05 entah gimana ceritanya tau aja. Selain itu, kadang mereka juga nganggep orang yang punya mobil itu tajir melintir. Jadinya, langsung aja mereka ngasih cap 'wah mbak/mas ini kaya banget dijenguk naik mobil'. Padahal mah mobilnya mobil yang disubsidi pemerintah, yg irit bensin itu.

Selain itu, pertimbangkanlah perasaan temen-temen kalian sekelompok yang berasal dari luar kota, yang orang tuanya ga pernah bisa jenguk. Kadang, beberapa dari mereka jadi baper dan sensitif kalau ada temen mereka yang sering ditengok orang tua atau keluarga. Buat yang sering ditengok atau diapelin pacar, pertimbangkan juga perasaan yang jomblo.

Lagipula, keseringan dijenguk orang tua juga menimbulkan kesan manja dan nggak keren sih.

8. Uang jatah bulanan cukup buat hidup sebulan.

FAKTA

Kalau kalian ingat, kalian waktu daftar KKN bayar sejumlah uang, kalau nggak salah sekitar 700-900 ribu rupiah. Nah, uang tersebut nantinya akan dikembalikan lagi ke kalian dengan jumlah yang kurang lebih sama per anak. Uang tersebut nantinya akan dikumpulkan ke bendahara kelompok kalian dan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan logistik kalian selama KKN. Jadi, kalau sekelompok ada sepuluh atau belasan anak, ya tiap kelompok akan mendapat jatah 7-10 juta, dan itu amat sangat cukup.

Dengan catatan sih, kalau anak kelompok kalian ga pelit-pelit. Kalau anak kelompok kalian dengan baik hatinya sering share makanan yang dibawa tiap habis pulang ke rumah (buat yang anak rumahan sih), atau misal orang tua yang nengokin sering bawa makanan gitu, uang sejumlah 7-10 juta itu bakalan cukup banget dan berlebih malah. Malahan kadang bisa dipakai untuk mendanai program-program kecil kalian. Tapi ya itu, jangan pelit-pelit, hehehe.

9. Di tempat KKN nggak ada sinyal.

FITNAH

Sinyal di tempat KKN kita cukup bagus di beberapa tempat. Tapi mungkin buat yang dapet di dusun Ngipik, Hargosari, Cremo, Gupit, Ketelo, mungkin harus agak bersabar sedikit. Di beberapa dusun lain pun ada daerah yang sinyalnya bagus, ada juga yang sinyalnya kurang bagus. Buat yang daerahnya sinyalnya cukup bagus, kalau mau optimal sih pakai Indosat dan Telkomsel. Bukan promosi, tapi kedua provider tersebut memang sinyalnya lebih kenceng dibandingkan provider lain.

10. KKN harus bisa bahasa Jawa.

FITNAH

Hampir semua penduduk di desa setempat memang menggunakan bahasa Jawa untuk komunikasi sehari-hari, tapi mereka paham bahasa Indonesia kok. Lagipula, mereka juga paham kalau anak-anak KKN ga semuanya orang Jawa. Tapi... ya akan jadi sebuah keuntungan besar kalau kalian bisa bahasa Jawa dikit-dikit. Kalian akan lebih mudah berbaur dengan warga dan mereka akan lebih respek ke kalian.

11. Dosen pembimbing lapangan (DPL) sering sidak.

FITNAH

DPL ku dulu malah ga pernah sidak sama sekali. Beliau cuma berkunjung seminggu sekali, itupun dengan pemberitahuan sebelumnya dan tidak setiap kelompok beliau kunjungi. Biasanya digilir tiap minggu, jadi misal minggu ini ke kelompok 1, minggu depan kelompok 2, dst. Di dusun lain, ada DPL yang pernah sidak, tapi cuma satu kali aja kok...

12. KKN banyakan gabutnya daripada kerjanya.

FAKTA

Buat yang udah sering denger cerita-cerita seputar KKN, pasti sering denger kalau KKN itu banyakan gabutnya. Aku akui itu bener sih. Bukan berarti nggak ada program yang akan kalian kerjakan atau kesibukan membuat laporan. Belum lagi urusan pekerjaan rumah tangga. Sebenernya, yang membuat KKN terasa gabut adalah sesibuk-sibuknya acara, kegiatan, atau program yang kita laksanakan, ga akan pernah mengungguli kesibukan kita selama kuliah. Yakin deh. Selain itu, tuntutan KKN kan ada standar jam kerjanya, sekian ratus jam kalau nggak salah. Nah, bahkan untuk memenuhi tuntutan jam kerja itu nggak sulit kok, masih banyak waktu luang yang bisa kalian pakai untuk istirahat atau senang-senang.

13. Urusan program kerja KKN lebih penting dari urusan rumah tangga dan bersosialisasi.

FITNAH

Kesemuanya sama pentingnya. Apa artinya kalau kita punya program oke, mateng, bermanfaat, tapi kitanya nggak pernah main ke tetangga dan bersosialisasi sama warga? Ingat, program kita nggak akan jalan tanpa ada keterlibatan warga setempat. Jadi sisihkanlah waktu untuk bersosialisasi sama warga sekitar. Caranya? Main ke rumah tetangga, ikut ngeronda atau arisan, kalau ada warga sakit ikut jenguk, kalau lewat depan rumah tetangga usahakan senyum, kalau ketemu di warung usahakan menyapa, dll. Selain itu, urusan rumah tangga seperti cuci-mencuci, menjaga kebersihan rumah, dll juga penting. Perlakukan pondokan kalian seperti rumah kalian sendiri, supaya kalian nyaman dan betah.

Biasanya dalam satu kelompok akan ada anak yang jago banget nyusun program dan bikin laporan. Ada anak yang kalau bergaul sama tetangga luwes banget. Ada anak yang cermat banget ngatur keuangan kelompok dan ngurus rumah. Nah, jadinya tiap anak punya kekuatan masing-masing di bidang tertentu. Tapi, biar bagaimanapun, idealnya semua harus merasakan namanya ngerjain program kerja, bersosialisasi, dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Jadi, jangan cuma bagi tugas tapi juga harus rolling tugas. Biar tiap anak bisa belajar melakukan peran atau pekerjaan yang lain.

14. Penting untuk mengenal peserta KKN angkatan sebelumnya yang menempati dusun yang sama.

FAKTA

Kalian bisa tanya-tanya sama mereka soal kondisi dusun yang akan kalian tinggali, soal lingkungannya, tetangganya, pengalaman mereka dulu gimana, dll. Selain itu, akan sangat memudahkan buat kalian untuk tau peserta KKN angkatan sebelumnya. Jadi, nanti kalian di minggu awal akan diminta untuk membuat laporan observasi. Kalau kalian kenal peserta KKN sebelumnya, kalian bisa pinjam laporan semester atau tahun sebelumnya, dan kalian bisa pakai data-data yang nggak berubah. Selain itu, untuk program kerja yang sifatnya berkelanjutan, kalian bisa minta saran atau pendapat dari peserta KKN sebelumnya. Mungkin, laporan akhir mereka pun bisa kalian jadikan referensi.

Pengalaman sih, dulu kelompokku nggak kenal satupun peserta KKN dari angkatan sebelumnya yang menempati dusun Tengklik. Makanya kami bikin laporannya susah banget :(



So far, itu dulu sih yang aku ingat :) Mungkin lain kali kalau aku ingat sesuatu bisa aku tambahin di postingan berikutnya...

*ngomong-ngomong, kondisi di beberapa tempat mungkin bisa berbeda ya... yang aku tulis di sini kebanyakan mengacu di wilayah Desa Tegalrejo bawah*

See you!
deapurie

Tuesday, December 8, 2015

Perempuan Bekerja: Bukan Hanya Soal "Lipstik 50K vs Lipstik 500K"

"Kenapa perempuan harus kerja?"
"Karena laki-laki nggak akan paham bedanya lipstik 50K vs 500K..."
@falla_adinda
28 Juli 2015

Buat kalian yang sering mantengin Twitter, Path, Instagram dan semacamnya, pasti nggak asing ya sama kalimat tadi? Kalimat tersebut nyebar dengan viralnya beberapa bulan yang lalu, bertepatan dengan Hari Lipstik Internasional (iyap, kebetulan momennya dapet) di mana-mana dan bahkan dicopas sana-sini oleh pihak nggak bertanggung jawab. Sebenernya quotes mahadahsyat ini adalah hasil pemikiran seorang selebtweet terkenal, Falla Adinda Hadinoto, yang selalu menghasilkan tweet-tweet inspiratif yang ceritanya tentang dunia-sekitar-kita-banget-tapi-kadang-kita-nggak-sadar dan sering membuatku berpikir "Hmmm, iya juga sih ya..."

Sama halnya ketika aku membaca kicauan lipstik 50K vs 500K.

Sudah kodrat katanya, bahwa tugas seorang wanita yang sudah menikah, atau mungkin bahkan punya anak, adalah mengurus rumah tangga, anak dan suami. Jangan sampai anak terlalu sering main sama pembantu, jangan sampai suami keranjingan makan masakan embak di rumah. Begitulah kata mertua eh kodratnya.

Begitukah? Atau karena dulu belum ada lipstik 500K?

Perkara lipstik 50K vs 500K sekilas terjemahan gampangnya adalah : mengahsilkan pundi-pundi rupiah sendiri itu perlu bagi wanita atau istri, supaya bisa beli lipstik setengah juta tanpa harus menadahkan tangan kepada suami. Karena betapapun kayanya suami, pasti mereka ga akan paham dan mengerti bahwa lipstik setengah juta itu ada, nyata, dan memang lebih bagus punya. Laki-laki mah taunya mungkin kalau pakai lipstik setengah juta, ciumannya harus makin hot. Hahahaha. Itu versi gampangnya aja lho ya.

Sebagai seorang wanita yang juga doyan lipstik, aku juga sulit sih membayangkan kalau seumur hidup harus nodong seseorang tiap mau beli lipstik. Belom bedak, belom baju, sepatu, novel, tas birkin, berlian, iuran arisan sosialita, jet pribadi... 

Lewat lipstik 50K vs 500K kita, para wanita, sesungguhnya disentil akan kebutuhan kita untuk mandiri. Bukan hanya persoalan kepuasan batin membeli lipstik dengan harga wow, tetapi kita juga harus sadar bahwa pria nggak sepenuhnya paham dan mengerti kebutuhan wanita. Kitalah sebagai wanita yang harus paham akan kebutuhan dan keperluan kita sendiri. Kita nggak bisa maksa suami untuk tahu kapan istrinya harus beli lipstik sehingga dia harus menyisihkan uang lebih tiap berapa bulan sekali atau berapa minggu sekali. Mereka pasti ga akan paham gimana sensasinya bilang ke mbak BA di konter kosmetik "Mba, mau yang ini dong, lip creamnya. Ehm, nomer 1 sampai 10 masing-masing satu ya. Sama itu mba, lip linernya. Ada berapa warna? 5? Oh yaudah bungkus mba semuanya," dengan tanpa mikir panjang.

Dan jangan paksa mereka untuk paham. Mereka mudeng lipstik ada yang glossy sama matte aja udah syukur.

Pastinya, namanya kebutuhan dan keperluan itu ujung-ujungnya ya, kaitannya nggak jauh sama uang. Jadi ya memang, kalau kita punya keinginan untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri secara leluasa, kemandirian finansial itu mutlak.

Jadi walaupun sudah menikah, tetap harus bekerja gitu?

For me, kalau memang nggak ada hambatan yang berarti sih, iya. Apalagi kalau memang suami perlu dibantu dalam proses pemenuhan kebutuhan rumah tangga dari segi finansial *haiyah, bilang aja cari duit

Jangan salah ya, walaupun ada istilah suami harus bertanggung jawab memenuhi kebutuhan rumah tangga, menafkahi anak dan istri, menurutku sah-sah aja kok kalau memang dia meminta bantuan istrinya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ya sama kan, kita juga pasti seneng kalau suami bantuin jaga anak, cuci piring, berbenah rumah. Ya, cuma porsinya pasti beda lah ya, #sesederhanaitu

Selain itu, ini pendapatku aja tapi ya, kok rasanya aneh ya kalau lipstik dan kebutuhan duniawi wanita lainnya dimasukkan ke dalam list yang harus dibelikan suami? Rasanya itu terlalu menambah tanggung jawab dan beban yang harus mereka pikul. Bukan berarti jika seorang perempuan atau istri punya hak istimewa untuk dinafkahi, maka seluruh hidupnya sampai se-perintilan-perintilannya menjadi tanggung jawab laki-laki. Cicilan rumah, listrik, air, bensin, belanja dapur bulanan, tagihan internet, SPP si kakak, susu dan popok si dedek, dan segala ubo rampe lainnya aja kadang udah bikin suami kerja keras banting tulang. Gimana kalau ditambah "Mz, aku pengen lipstik Channel Mz. Sama itu alat facial yg dijual di DRTV ya Mz..."

Besoknya si Mz ga pulang 3 hari.

Tapi, gimana kalau kondisinya...

"Ah tapi suamiku udah kaya banget. Gajinya aja sebulan 5 M. Aku mau beli lipstik MAC selusin tiap hari ga masalah. Ya paling tinggal nabung dikit aja aku bisa beli se-pabriknya..."

Terlepas dari kemandirian finansial demi terlaksananya pemenuhan atas kebutuhan pribadi wanita, yang salah satunya adalah lipstik, tanpa menengadahkan tangan atau ndusel-ndusel sok manis dulu kepada suami, 'kebutuhan' seorang perempuan untuk bekerja tidak hanya berhenti sampai di lipstik saja.

Ya, aku bilang bekerja adalah 'kebutuhan' bagi setiap perempuan karena pada akhirnya mereka jugalah yang merasakan manfaatnya.

Ketika pundi-pundi uang tidak lagi menjadi sebuah persoalan dalam sebuah rumah tangga, bukan berarti seorang istri kemudian bisa lega seumur hidup jadi istri yang selalu duduk manis di rumah menanti suami pulang kantor. Bayangkan, suami setiap hari di kantor atau di lingkungan kerjanya bertemu orang-orang baru, belajar melakukan hal baru, punya kehidupan yang lebih dinamis, punya pengalaman hidup yang lebih berwarna. Kemudian semua itu membuat suami menjadi pribadi yang bertumbuh setiap harinya, makin hari wawasannya makin luas, makin punya banyak pandangan baru. Bukan nggak mungkin suami menjadi orang yang makin hari makin terlihat 'berbeda', in a good way.

Sedangkan kalau istri setiap hari di rumaaahh mulu, nggak punya pekerjaan lain selain pekerjaan rumah tangga yang seringnya digarap si embak, gaulnya sama ibu-ibu tetangga yang juga gitu-gitu aja, nontonnya gosip artis yang makin ga jelas, pada akhirnya ya akan tetap gitu-gitu atau gini-gini aja.

Yang terjadi? Bisa aja pada akhirnya suami ngerasa istrinya bukan lagi partner yang nyambung buat diajak bicara atau diskusi. Ujung-ujungnya bosen. Bisa aja istri pada akhirnya merasa 'nggak dianggap' sama suaminya. Ujung-ujungnya cari pelarian yang nggak sehat.

Seenggaknya, dengan bekerja, istri juga bisa punya lingkungan sendiri, punya aktifitas dan dunia sendiri. Sehingga pada akhirnya bisa merasakan proses berkembang yang kurang lebih sama dengan suami. Selain itu, dengan punya dunia sendiri pun si istri pada akhirnya nggak akan menggantungkan dunia dan hidupnya pada suaminya, yang mungkin juga nggak akan setiap saat ada kalau dibutuhkan. Aku rasa, suami juga akan senang kalau istrinya setiap hari punya hal baru untuk diceritakan, bisa sharing dan berbagi cerita tentang kegiatan masing-masing.


Bekerja juga membuat istri memiliki peran dan identitasnya sendiri. Istri bukan lagi disebut sebagai bu dokter karena suaminya dokter, bu lurah karena suaminya lurah, bu direktur karena suaminya direktur. Istri yang bekerja akan disebut sebagai bu dosen, karena ya memang kerja jadi dosen, bu hakim karena profesinya memang hakim. Nggak selamanya kita bisa menggantungkan identitas di bawah lengan suami. Juga, nggak selamanya kita bisa bersandar pada pundi-pundi uang suami. Kita juga harus memikirkan kemungkinan terburuk kalau-kalau suami meninggal duluan, kecelakaan, sakit, dll.

Tapi tetep ya, urusan rumah tangga, kewajiban sebagai istri dan ibu harus menjadi prioritas. Jangan sampai dengan dalih bekerja lalu urusan rumah diabaikan.
Sama lah, kaya suami bantu berbenah rumah, tapi nggak langsung kemudian berbenah rumah jadi prioritas dia juga kan?

Hmm, berarti jangan jadi ibu rumah tangga ya kalau gitu?

Aku nggak ada maksud sedikitpun buat menyinggung istri-istri di dunia ini yang menyandang predikat ibu rumah tangga. Sungguh, di mataku ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang sangat mulia. Jika memang situasi dan kondisi tidak memungkinkan bagi seorang istri untuk meninggalkan rumah dan bekerja, apa iya harus dipaksakan?

Seorang istri dan ibu yang bekerja, tentunya tetap memiliki kewajiban untuk menangani urusan rumah tangga dengan baik. Apapun kesibukannya, urusan rumah tangga jangan sampai terlewatkan. 

Nah, gimana kalau kita balik?

Seorang ibu rumah tangga juga tidak boleh mengesampingkan kebutuhannya untuk belajar, berkembang dan membuka wawasannya akan dunia luar. Walaupun jadi ibu rumah tangga, walaupun segala kebutuhan dicukupi suami dengan segala kelebihannya, tetaplah penuhi kebutuhan sebagai partner suami yang bisa mengimbangi kemampuannya. Bahkan juga kebutuhan sebagai seorang ibu yang akan jadi tempat bertanya anaknya. Caranya?

Sekarang ini banyak banget nget nget kerjaan yang bisa dilakukan oleh istri dan ibu tanpa harus meninggalkan rumah dan kewajiban mengurus rumah tangga. Pernah dengar mompreneur, momblogger, beauty reviewer, content writer, dll? Bahkan ada kok sekarang, editor majalah yang kerjanya cukup dari rumah aja. Nggak jarang bahkan akhirnya apa yang dikerjakan nggak jauh-jauh dari keseharian menjadi ibu rumah tangga.

Ikut bergabung dengan komunitas-komunitas yang juga dibentuk oleh sesama istri-istri atau ibu-ibu di luar sana dan terlibat jadi volunteer di dalamnya juga sangat membantu para ibu rumah tangga dalam hal menemukan lingkungan positif yang bisa membantu mereka untuk berkembang. Misalnya, ikut komunitas milis kecantikan, komunitas blogger, komunitas parenting, komunitas kuliner, komunitas ibu-ibu yang suka bikin DIY mainan anak, dll. Kalaupun nggak bisa atau nggak cukup waktu untuk terlibat jadi volunteer, cukuplah memperkaya diri sendiri dengan tetep terlibat secara pasif di komunitas yang diminati, atau mungkin sering-sering ikut seminar aja udah cukup kok untuk meng-upgrade diri sendiri. Komunitas-komunitas seperti yang aku sebutin tadi sekarang ini banyak banget jumlahnya dan bisa dengan mudah kita temuin di media sosial.


Tuh kan, yang tadinya bahas lipstik 50K vs 500K aja ujung-ujungnya ga ada hubungannya sama lipstik.
Ya seperti yang kubilang, ini memang bukan hanya soal lipstik semata :)


See you!
deapurie




Monday, December 7, 2015

Resepsi Pernikahan Mewah, Yay or Nay?

Akhir-akhir ini, aku sering banget, bahkan sampai bosan, dengar orang komplain baik secara langsung ataupun lewat media sosial soal resepsi pernikahan mewah dan mahal.

Banyak orang bilang, terutama anak kekinian yang semakin paham dengan budaya yang kebarat-baratan, resepsi pernikahan mewah dan mahal itu buang-buang uang, bertujuan pamer, sombong, dll.

Bahkan ada juga beberapa orang yang membandingkan pernikahan dengan resepsi mewah yang lazim terjadi di Indonesia dengan pernikahan ala-ala Barat yang tamunya sedikit, sifatnya personal, nggak keluar banyak uang, dan terkesan efektif serta efisien. Apalagi ketika beredar berita soal pernikahan Mark Zuckerberg (CEO Facebook). Seketika banyak banget orang yang berusaha membanding-bandingkan pernikahan sederhana tersebut dengan pernikahan ala-ala Indonesia, sehingga membuat pernikahan ala Indonesia kesannya jadi 'boros' dan buang-buang uang.

Emang iya yah?

Akupun dulu juga sempat punya pikiran gitu kok. Gara-gara nonton film Sex and the City dan ngeliat Carrie Bradshaw mutusin buat ngundang 75 orang aja di pesta pernikahannya sama Mr. Big, aku jadi pengen melakukan hal yang sama kalau aku menikah nanti. Pengennya yang dateng sedikit, nggak keluar banyak uang sehingga aku bisa pakai uangnya untuk hal yang lebih bermanfaat buatku seperti beli rumah, mobil, atau apartemen.

Tapi itu kalau kita mikirin diri kita sendiri. Gimana dengan orang tua kita? Pasangan? Mertua?

Kalau kita mau berpikir lebih dalam soal pernikahan, orang Barat dan orang Indonesia punya konsep yang berbeda. Kita bisa kok, bilang, "Menikah itu berarti dua hati yang saling mencintai kemudian memutuskan untuk hidup bersama tanpa campur tangan orang lain, bahagia selamanya..."
Tapi itu konsep ala-ala Barat.

Kalau ala Indonesia?
"Membentuk keluarga baru..."
"Menyatukan dua keluarga..."
"Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah..."
"Nambah menantu, anggota keluarga baru,..."

Ya itulah, konsep pernikahan di Indonesia itu memang nggak bisa lepas dari konsep tentang keluarga. Jadi namanya menikah di Indonesia itu bukan lagi masalah dua hati, tapi dua keluarga. Kita boleh aja sih nggak setuju, tapi gimana dengan orang tua kita? Pasangan? Mertua?

Maka dari itu, adalah hal yang sangat-sangat masuk akal kalau dalam resepsi pernikahan, bukan hanya kepentingan pasangan yang menikah saja yang dipikirkan. Kepentingan keluarga, baik itu keluarga mempelai pria atau wanita, orang tua atau mertua, keluarga besar, juga harus dipikirkan. Ya mungkin karena pesta pernikahan umumnya mengakomodasi kepentingan keluarga, maka kesannya jadi 'boros'.

Kepentingan tersebut juga nantinya akan berkaitan dengan rangkaian acara atau resepsi yang akan dilaksanakan. Coba bayangkan, misalnya orang tua si mempelai pria adalah guru besar di sebuah universitas, lalu orang tua si mempelai wanita adalah pengusaha dengan kolega yang nggak bisa dihitung dengan jari. Mempelai pria ternyata adalah seorang dokter spesialis dan mempelai wanitanya adalah fashion stylist di sebuah majalah ternama. Mungkinkah resepsinya dibuat sederhana? Masa iya kolega bisnis yang di sini diundang, tapi yang di sana nggak diundang? Teman sejawat si dokter apa iya cuma 15 orang?

Nggak usahlah jauh-jauh. Misal orang tua, besan, dan pengantinnya ini berasal dari keluarga sederhana, nggak menjamin juga bahwa mereka relasinya sedikit. Tetangga? Teman SMU? Teman kuliah? -baik teman SMU dan kuliahnya orang tua, besan, dan pengantin- Teman pengajian? Teman di gereja? Teman di kumpulan arisan atau apa gitu? Belum lagi keluarga besar yang jumlahnya bisa ratusan?

Kita nggak boleh lupa ya, kalau orang Indonesia menikah itu, apalagi orang Jawa, bukan hanya pengantinnya yang punya acara nikahan tetapi orang tua dan mertuanya juga 'mantu'. Kita juga harus memikirkan posisi orang tua dan calon mertua kita yang 'mantu' itu tadi. Kalau acaranya ga bisa mengakomodasi kepentingan mereka, mereka juga yang akan mendapat malu dan dicap tidak pantas oleh orang lain.

Harus ya semua diundang?

Jawaban dari pertanyaan di atas, aku dapatkan ketika alm. Bapakku meninggal beberapa bulan yang lalu. Keluarga besarku dari Jakarta, Semarang, Salatiga, Sleman dll, hampir semuanya datang. Semua teman kantor, teman kuliah, bahkan teman SMU, kolega, rekan kerja Bapak dan Ibuku datang dan mensupport segalanya. Bahkan yang nggak bisa datang karena di luar kota pun berlomba-lomba kirim karangan bunga sampai satu gang dari ujung luar ke ujung dalam penuh. Tetangga sekitar, satu RT bahkan nggak ada yang nggak kelihatan bersliweran mengurus segalanya. Sahabat-sahabatku dari SD sampai kuliah ada semua, bahkan teman-teman dari Antropologi Budaya 2012 hampir satu angkatan datang, padahal aku sedang cuti kuliah dan lama nggak ketemu mereka. Teman-temanku pun yang tadinya bahkan nggak tahu rumahku bisa dengan ajaibnya nemu rumahku yang hitungannya jauh di pinggiran kota. Ketika menuju pemakaman, bahkan kami harus menambah 1 bus lagi untuk menambah 3 bus yang kami sewa dan mobil keluarga kami karena nggak muat. Bahkan ada beberapa teman Ibuku yang merelakan mobil pribadinya untuk dipakai ke pemakaman.

Bayangkan, namanya datang melayat itu, artinya datang untuk ikut berduka. Nggak ada ceritanya orang melayat kemudian disuguhi makanan enak, hiburan, atau dapet souvenir. Nggak ada namanya orang melayat itu diundang, nyumbang kemudian berharap acara yang luar biasa. Mereka semua datang dengan tulus, tanpa diminta dan tanpa mengharapkan apa-apa.

Rasanya nggak tega, kalau ketika kami berduka mereka semua mensupport dengan luar biasa, tapi ketika kami berbahagia kami nggak mau berbagi dengan mereka. Di dalam budaya ketimuran, ada aturan tidak tertulis yang berkatian dengan etika membalas budi. Salah satunya adalah membalas jasa orang-orang yang sudah menolong kita di kala kesusahan dengan cara berbagi kebahagiaan. Nggak mungkin juga kalau kita membalas secara personal satu demi satu. Jadi, terkadang mengundang mereka ke acara kita yang sifatnya 'membahagiakan' adalah salah satu cara dan sarana untuk membalas budi mereka yang sudah menolong kita di kala kesusahan.

Kalau kita perhatikan, acara yang sifatnya 'membahagiakan' itu tadi, yang sampai sekarang masih bertahan dan lazim dilakukan ya resepsi pernikahan. Kalau dulu, anak lulus kuliah, atau mau berangkat ke luar negeri aja pake syukuran. Kalau sekarang? Yang paling lumrah ya resepsi pernikahan. Bisa dibilang sarana kita, dan juga orang tua plus mertua kita, untuk berbagi dan membalas budi orang-orang yang berjasa di kehidupan mereka ya yang paling lumrah di resepsi pernikahan. Jadi ya itu, mengundang orang ke resepsi pernikahan kita adalah bagian dari membalas budi dan menunjukkan bahwa di saat bahagia pun kita ingat sama mereka, ga cuma di kala susah aja.

Kita pun harus sadar, bahwa sepanjang perjalanan hidup orang tua atau calon mertua kita, yang berkali-kali lipat lebih lama dari kita, banyak orang yang mensupport mereka. Sehingga, kalau mereka sukses dan bisa merayakan pernikahan anak mereka, ya itu juga karena support dari keluarga besar mereka, kolega mereka, teman kantor yang selalu mendukung karier mereka, tetangga yang menyokong kehidupan sosial orang tua kita, dll. Jadi menurutku, nggak salah dan wajar kalau memang mereka berkeinginan mengadakan pesta pernikahan anaknya yang bisa mengakomodasi kepentingan mereka untuk membalas budi orang-orang yang berjasa buat mereka. Kita sebagai anak ga boleh egois soal hal ini.

Harus mewah ya?
 
Ya perkara mewah dan tidak, balik lagi ke kemampuan keluarga masing-masing. Aku juga bete sih, kalau ada yang menikah, ga kuat nyewa gedung lalu solusinya ngeblok jalan buat resepsi. Buatku, kalau secara finansial memang nggak mampu, bisa sih diganti dengan kirim parcel atau kue, yang penting niat berbagi kebahagiaannya ada. Tapi, kalau memang secara finasial mampu, kemudian tamu-tamu yang diundang nggak main-main, masa iya mau bikin resepsi yang ala kadarnya. Bingung juga sih, waktu jaman Pak SBY mantu dan banyak yang membahas betapa mewahnya acara tersebut dengan nada negatif. Ya iyalah beliau Presiden, tamu undangannya Diplomat sama Menteri Cyin, bukan Pak RT sama tetangga sebelah doang. Masa iya mau nikahannya lesehan pakai tikar?

Namanya mengundang orang untuk terlibat dalam acara kita, terdapat hal yang harus kita pikirkan bernama kepantasan. Kalau misal aku ngundang orang di acara pernikahanku, ya aku nggak mau sih, mereka dateng jauh-jauh, bawa kado, eh suguhannya nggak pantas, eh ga kebagian souvenir karena pesennya mepet, dll. 

Jadi ya, intinya sudah jadi satu hal yang wajar kalau yang punya gawe ingin memberikan yang terbaik untuk para tamunya. Jika ada beberapa pihak yang memang mengadakan resepsi yang terbilang mewah, tolong jangan dilihat sisi negatifnya, apapun itu, aku yakin mereka punya alasan yang wajar dan pantas. Bukan semata-mata buang-buang uang. Kalau mau buang-buang uang sih, mending investasi beli apartemennya Feni Rose yang Senin harga naik itu.

Sisi positif yang lain?

Menikah itu, seperti yang sudah aku bilang tadi, pada akhirnya memang berlanjut pada pembentukan keluarga baru. Entah suami-istri dan anak mereka, atau bahkan hubungan dengan mertua dan ipar-ipar. Menurutku, dalam mempersiapkan resepsi pernikahan bersama keluarga, kita juga nantinya belajar berdinamika dengan keluarga yang baru. Kita belajar untuk nggak lagi memikirkan kepentingan diri sendiri, belajar mendengarkan saran orang lain, beradaptasi dengan calon mertua, berkerja sama dengan ipar-ipar yang nantinya akan jadi saudara kita juga...


Aku cuma coba share pandangan dari sisi lain soal resepsi 'mewah' ya,
Buat yang punya pandangan yang berbeda, it's okay :)))



See you!
deapurie

Sunday, December 6, 2015

Pria Suka Menulis itu Seksi

Banyak kriteria pria idaman yang berbeda yang dianut oleh wanita masa kini *etdah masa kini*. Di antara kriteria-krteria tersebut, tersebar kriteria standar semacam baik hati, ganteng, pintar, seiman, setia, mapan, berwibawa, sayang keluarga, banyak uang, royal, dan lain sebagainya. Selain itu, terselip kriteria spesifik macam jago main basket, badannya berotot, suka anak kecil, pinter main gitar, dan segala kriteria lainnya yang biasanya berbeda antara satu wanita dengan wanita yang lain.

Me? Aku suka pria yang senang menulis.

Kriteria ini bukan satu kriteria yang mutlak aku tetapkan dari jaman dulu mulai pacaran, atau sejak aku kenal pacar pertamaku atau sejak kapan itu. Bukan. Aku menemukan kriteria ini bukan berdasarkan pengalaman pacaran sama penulis atau PDKT sama orang yang jago nulis. Tapi sebenernya ini berdasarkan pengamatan dan logika aja sih.

*haiyah
*kalau pada mau berhenti baca sampai di sini bolehlah
*bye

Aku nggak pernah pacaran sama orang yang suka atau jago menulis. Tapi ya semoga aja ini hanya perkara belum saja, bukan nggak hehehe. Jadi, aku juga nggak tau rasanya pacaran sama orang suka nulis itu kaya apa. Tapi kelak siapa tau aku akan merasakan rasanya membina rumah tangga sama orang yang jago nulis, apalagi jago nulis cek buat jatah bulanan.

Ketertarikanku pada pria yang suka menulis berawal dari kekagumanku sama seseorang, sesama mahasiswa, di kampus, sebut saja dia Grey. Aku ga berani sebut namanya soalnya dese itu super-duper-terkenal-banget karena jabatannya yang sangat wow di kampus. Aku tau sih, untuk meraih 'posisi' se-terkenal Grey itu dibutuhkan otak yang cemerlang, kharisma, tanggung jawab, dll. Jadi ya nggak usah ditanya lagi, si Grey ini kalo ngomong di depan umum bener-bener bisa menyihir yang dengerin lah.

Sampai suatu ketika, aku berkesempatan untuk terlibat sama si Grey ini dalam suatu kegiatan. Ga usah disebutin deh kegiatannya apa. Ntar ada yang tau kan gawat, hahaha. Di kegiatan ini, ya seperti biasa, si Grey jadi salah satu leader. Tiap ada forum, dia rajin banget ngomongin sesuatu, ngasih ide atau apalah. Kekuatan kata-kata yang dia gunakan, ajaibnya, nggak hanya membuat orang yang mendengarkan mengerti apa yag dia mau, tapi juga semacam membuat orang lain 'ketampar', in a good way. Dia ga cuma menjelaskan apa yang dia mau, tapi juga menjelaskan logika pikir dan refleksi yang dia pakai untuk sampai pada ide atau kesimpulan tertentu. See? Jarang ya ada orang kaya gini.

Aku sebagai cewek yang taunya cuma lipstik - sepatu - cat rambut - Sex and the City- selebtweet - Andra Alodita - diskon -abis ini mau makan apa pun sukses cengoh tiap dia ngomong. Rasanya tiap dia ngomong tuh kaya kesihir gitu. Apalagi, secara fisik si Grey ini layak lah buat dibilang good looking. Jadi kadang sembari roaming mikir apa yang dia maksud, aku jadi lebih concern ke wajah gantengnya yang dilengkapi dengan tatapan penuh antusias dan terlihat bercahaya lalu aku akhirnya ga paham sama yang dia omongin hahaha. Ini sih lebih ke akunya yang lebay dan semi oon.

Kemudian, ada seorang temen cowokku yang nyeletuk "Ah dia mah cuma keren pas omong doang..."

But wait. Iya juga ya, apa yang membedakan si Grey dengan jutaan pria lain di luar sana yang bisanya cuma omong doang? Jangan-jangan si Grey ini sengaja sok pengen keliatan smart dan berkharisma gitu cuma buat tebar pesona seperti yang dilakukan pria-pria level ikan keranjang yang jumlahnya ratusan juta itu? Jangan-jangan semua ide pintar dan filosofisnya si Grey itu cuma copas dari Google.

Tapi kemudian aku menemukan jawabannya...

Setelah kegiatan itu selesai, aku ga pernah lagi ketemu Grey. Ya iyalah, dese pasti sibuk berat sama kegiatan kampusnya itu dan aku juga sibuk menentukan mau pesen yamie lampion porsi sedang atau kenyang setiap minggunya. Lagian, aku ga yakin juga dia bakal inget aku atau ngga, aku mah apa atuh. 

Tetiba di suatu malam, aku mendadak keinget Grey *bener-bener cuma keinget sekilas btw* dan entah gimana aku punya pikiran buat googling nama dese dan... mendaratlah aku di blognya.

Blognya kaya apa? Hmmm, rasanya ga jauh beda deh, baca blognya sama dengerin omongan dia. Tapi, di blognya ini, alur pikiran dia yang amazing itu, dan segala refleksi dia tertuang dengan jelas, lugas, tapi lebih nyata dan lebih mendalam. Seringnya, Grey ini menulis tentang suatu kejadian sepele dalam hidupnya yang kemudian dia hubungkan dengan sebuah refleksi atau pola pikir terhadap hal yang lebih besar. Aku menghabiskan beberapa menit pertama dengan decak kagum dan membatin berulang kali "Kok bisa ya ada orang sanggup mikir gini?" "Gilak! cuma bahas ini aja bisa ya nyangkut ke sini..." Kemudian aku menghabiskan beberapa jam kemudian stalking semuamuamua tulisan dia di blognya yang sungguh inspiratif dan membuka mata. Seandainya aku es krim, mungkin aku udah lumer kemana-mana.

Kesanku? Yakin, aku kagum banget-nget-nget. Percayalah, wahai wanita, jarang banget ada pria suka nulis di dunia ini. Populasi mereka kalah dibandingkan yang suka main DOTA atau COC. Aku kagum sama pria yang punya kesabaran lebih untuk menuangkan ide dan pikiran mereka ke dalam sebuah tulisan. Nulis sama ngomong itu bedanya jauuuuhhh banget. Menulis membutuhkan kesabaran lebih, penyusunan ide yang lebih teratur, pengurutan pola pikir yang nggak boleh absurd, dan jarang ada pria mampu melakukan itu. Kebanyakan pria cenderung suka ngomong ini itu dengan gaya selangit tapi kadang apa yang diomongin itu bukan sesuatu yang reflektif, biasanya sambil ngopi, dan kadang ngomongnya loncat sana-sini. Bukan aku mau jelek-jelekin pria ya, tapi coba aja suruh mereka yang suka banget ngomong gitu buat nulisin apa yang dia maksud dengan lebih runut dan akurat. Pasti pada males kemudian milih main COC aja.

Sampai detik ini aku masih jadi pembaca setia blognya. Masih terus mengagumi kemampuan berpikirnya, keindahan tulisannya, kebiasaannya berrefleksi, tetapi bukan orangnya hehehe. Karena kemampuannya menulis, di mataku, he's the sexiest man alive.
Mungkin kalau kelak 25 tahun kemudian anak perempuanku bertanya, "Ma, Mama suka ga sih sama pacar aku?"
Aku akan jawab, "Mama belum tau. Suruh dia nulis tentang topik apapun yang dia suka, nanti mama baca, baru mama bisa jawab..."

Ngomong-ngomong, aku bukan naksir atau apa sama si Grey please. Ini cuma kekaguman semata dan aku cuma ga bisa nemu contoh yang lebih bagus lagi :)))



See you!
deapurie  

Friday, November 13, 2015

Persiapan KKN 2014: Hari Keberangkatan

Kalau kemarin aku udah cerita gimana riweuhnya belanja KKN, kali ini aku mau cerita soal hari keberangkatan menuju pondokan KKN tercinta.

Soal packing... Waktu itu aku packingnya standar banget-nget. Ya pokoknya apa yang bisa aku angkut, angkut aja...

Pagi itu, Sabtu 20 Desember 2014, semua anak yang ikut KKN wajib ikut semacam upacara pelepasan dari kampus di Realino. Di jadwalnya tertulis semua anak harus siap jam 06.30 dan kalo enggak, bakal kena sanksi sekelompok. Kesimpulannya? JANGAN PERCAYA GAES. Logikanya sih, masa iya sekian ratus anak dengan segala bawaannya bisa siap jam 06.30 pagi? Dan kenyataannya upacaranya molor sampai jam 9. Dan nggak ada sanksi apapun buat yang dateng sekitaran jam 7 atau jam 8. Termasuk aku. Padahal sehari sebelumnya saking takutnya kena sanksi, aku sama temen-temen sekelompokku janjian mau datang jam 6 pagi. Janji itu tinggal kenangan...

Soal pengangkutan barang, kebetulan kampus menyediakan 2 buah truk, 1 truk untuk 1 desa, dan setiap anak boleh menaruh barangnya di truk tersebut. Oh iya balik lagi ke packing (yee... ujung ujungnya ngomongin masalah packing juga kan ya), aku saranin buat kalian untuk melabeli setiap tas, barang besar atau kontainer yang mau kalian masukin ke truk dengan nama, nomor HP, nomor kelompok, prodi dan lokasi dusun kalian. Gunanya? Ya bayangin aja, barang-barang ratusan anak tumplek brek di 1 truk. Bayangin aja. Belum nanti bongkarnya gimana. Pasti banyak yang tercecer atau ketuker atau parahnya nyasar ke desa tetangga.

Barang aku yang aku masukkin di truk adalah 1 kasur, 1 tas baju, 1 ember isinya logistik dan 1 tas isinya perintilan. Untuk magic com, aku titipin ke mobil mamanya temen sekelompokku, Oksa, yang dengan baik hatinya merelakan mobilnya dipakai untuk mengangkut barang-barang yang penting dan riskan kalau dimasukkan ke truk. Sedangkan untuk tas pribadi yang berisi barang penting dan sekiranya selalu dibutuhkan, aku bawa sendiri naik motor.

Soal angkut mengangkut barang, ada yang mau aku ceritain. Jadi kan dari rumah, karena aku berniat mau bawa motor ke lokasi KKN, barang-barang aku titipkan ke bapakku yang nyetir mobil sementara aku naik motor ke kampus. Entah gimana ceritanya, di kampus aku ga bisa menemukan mobil bapakku karena buanyak banget orang. Aku celingak-celinguk kesana kemari panik nyari bapakku karena barang-barang udah mulai diangkutin ke truk. Akhirnya aku nemu bapakku, jalan ke arahku dengan santainya. Pas aku tanya barang-barangku di mana, bapakku dengan santainya bilang kalau semuanya udah diangkut Alex, kormadusku (ketua kelompokku). Kemudian aku melayangkan pandangan ke arah truk. Orang yang ngangkutin barang-barang ke atas truk itu ternyata emang Alex, yang saking keringetannya kupikir adalah mas-mas yang punya truk. Kemudian bapakku dengan santainya nyeletuk, "Kayaknya karena Alex tadi tak suruh ngangkutin barang-barangmu, terus semua orang jadi nyuruh-nyuruh dia. Eh akhirnya dia ngangkutin semua barang..." Astaga. Aku cuma bisa menatap kormadusku yang berubah wujud jadi kuli panggul di atas truk dari kejauhan 

-semoga Alex ga baca blog ini-

Akhirnya setelah pengangkutan barang ke dalam truk kelar, dimulailah upacara pelepasan. Nggak ada yang menarik sih, yang paling menarik cuma pas nerbangin balon, udah itu aja. Kelompokku komplit sih ikut semua, kecuali Alex. Dia tepar di pinggir lapangan. Bentukannya udah nggak beda sama mas-mas gondes yang suka nyambi jadi kuli bangunan. Sadar itu kesalahan bapakku, akupun berinisiatif nawarin dia minum. Dia nolak sambil bingung sambil masang muka mikir. Mungkin dia mikir kenapa aku mendadak baik. Yah, semoga kamu nggak akan tau sampai akhir hayat ya.

Akhirnya keberangkatan di mulai. Aku bawa motor, tapi waktu itu belum berani naik motor jauh-jauh banget. Akhirnya aku minta tolong Ojan, temen sekelompokku buat naikin motorku dan aku tinggal bonceng aja. Ojan ini anaknya kurus, rambutnya kribo macam Edi Brokoli gitu. Ini pertama kalinya aku naik motor jauh banget dibonceng sama Ojan. Sempat terbersit kekhawatiran nanti sampai lokasi rambutku jadi kribo dan rambut Ojan jadi bob. Ga paham? Ya sudahlah...

Oh iya, kelak pas KKN, Ojan ini bakal merangkap jadi tukang ojekku lho. Tukang ojek terbaik hati sedunia #penting

Perjalanan sih lancar-lancar aja Puji Tuhan, walau sempat nyasar dikit. Soal gimana akhirnya kami tiba di desa Tegalrejo, tunggu cerita selanjutnya aja ya...



See you!
deapurie

Thursday, November 12, 2015

Doyan Belanja = Banyak Uang?

Hell no!

Siapa sinih yang suka bilang kalau orang yang doyan belanja itu punya banyak uang? Mau saya kelitikin pakai silet nih.

Ya jelas uangnya sedikit lah, lha kan uangnya sudah menjelma jadi barang-barang yang dibeli... Hehehe.

Enggak sih, bukan itu maksud saya. Orang yang doyan belanja macem menantu pejabat, atau artis papan atas, atau yang sekali dibooking short time 80 Juta itu ya pasti banyak duitnya. Nggak diragukan lagi lah berapa banyak pundi-pundi uang yang mereka tukar ke setiap butik dengan baju rancangan designer ternama.

Tapi ada juga lho, yang doyan belanja tapi budgetnya minim. Contohnya? Ya saya ini. #nggakusahjauhjauh

Saya doyan banget belanja. Banget. Tapi doyan di sini bukan dalam arti dikit-dikit ke butik atau beli tas Hermes atau jajan berlian atau inden mobil sport ya. Saya doyan belanja dalam arti saya menikmati setiap proses belanja yang saya lakukan. Dan percayalah, menikmati seluruh proses belanja yang dilakukan itu nggak makan banyak uang.

Karena saya nggak berlimpah harta, maka saya harus puter-puter otak kalau pengen beli sesuatu. Puter otak yang gimana?
  • Cari barang bagus dengan harga murah.
  • Kalau bisa beli yang nggak bermerk, beli yang nggak bermerk yang penting awet. Atau beli yang nggak awet tapi murah banget kemudian diperbaiki sendiri.
  • Cari barang bermerk, atau nggak juga nggak papa, yang diskon!


Cari barang bagus dengan harga murah - Ini sih nggak terlalu susah. Belanja make up misalnya. Produk lokal dengan kualitas bagus juga banyak kok, dibanding dengan make up impor yang kalau dollar naik sedikit aja harganya langsung naik gila-gilaan. Yang terpenting kita harus pintar-pintar cari review make up lokal lewat Blog atau Youtube biar kita tau kualitasnya. Kalau doyan belanja baju atau apapun online, coba cari yang satu kota dan bisa COD (Cash on Delivery), kan lumayan ngirit ongkir. Kalau bisa, belanja langsung di suppliernya, jangan di resellernya. Kan lumayan, barangnya sama, harganya jauh lebih murah. Jadi kalau nemu barang bagus di IG misalnya, saya pasti langsung nyari barang setipe, dengan hashtag yang sama biasanya, yang harganya paling murah dan terpercaya. Biasanya, si supplier ini malah lebih ngetop daripada resellernya. Kalau suka belanja langsung, carilah kawasan yang terkenal menjual barang tertentu. Misal, mau beli kain ya Jalan Solo, mau beli aksesoris ya Jalan Malioboro. Biasanya akan ada banyak toko atau pedagang di sana dan otomatis harganya juga pasti bersaing.

Kalau bisa beli yang nggak bermerk, beli yang nggak bermerk yang penting awet. Atau beli yang nggak awet tapi murah banget kemudian diperbaiki sendiri - Ini sering banget saya lakukan kalau lagi belanja tas atau sepatu. Tas dan sepatu, saya cuma punya masing-masing 1 atau 2 yang bermerk. Gunanya, sebagai 'investasi' kalau sewaktu-waktu menghadiri acara penting dan harus berpenampilan pantas. Sisanya? kalau cuma buat kuliah sama jalan-jalan aja sih saya biasa cari yang murah, yang penting nyaman buat saya. Tas nyaman, ya kalau buat saya sih yang penting warnanya kalem dan muat banyak barang. Sepatu atau sendal yang nyaman itu selain warnanya kalau saya sih cuma persoalan enak dipakai jalan atau enggak. Pernah ada sendal yang muraaaahh banget. Modelnya suka, warnanya oke, dipakai jalan agak ganjel dikit dan kelihatannya nggak awet. Dibeli nggak? Beli dong. Tapi setelahnya saya bawa ke tukang reparasi sepatu. Nambah ongkos 15 ribu sih, tapi jadi awet banget dan nyaman banget dipakai. Yang penting, kalau dibandingin sama sendal di mall, selisihnya lebih dari 15 ribu. Jauh.

Cari barang bermerk, atau nggak juga nggak papa, yang diskon! - Kalau nge-list riwayat dan daftar barang yang saya beli waktu diskon, 1 halaman folio yang buat ujian itu kayanya nggak akan muat. Saya pernah dapet selimut bulu 35 ribu aja, blus The Executive 50 ribu aja, jam dinding kece 8 ribu aja, ransel gede lucu 70 ribu aja, dll. Kuncinya? Rajinlah cari diskon. Selimut bulu murah itu saya dapat karena saya nelusur jalan Solo dengan berjalan kaki dan nemu toko nyempil yang jual selimut murah banget, kalau naik motor pasti nggak akan nemu. Blus The Executive itu saya nemu karena saya memberanikan diri nanya ke mbak SPG nya walau saya pertamanya keder karena The Executive itu biasanya mahal. Jam dinding itu sisa ekspor nggak laku, padahal udah saya pakai setahunan ini dan awet punya. Ransel itu saya dapet karena saya follow situs belanja yang terkenal sering ngasih diskon di media sosial. Jadi intinya, kalau mau dapet info soal diskon-diskon, janganlah malas mencari. Apalagi sekarang media sosial makin booming. Manfaatkanlah. Kalau misalnya nemu barang diskon dan diskonnya memang hanya pada saat itu, saya nggak pernah bilang "Ah lagi nggak butuh, nggak usah beli deh..." Biasanya kalau saya bisa beli, ya saya beli aja. Bukannya boros. Tapi itu investasi, biar nanti kalau saya pas butuh, barangnya sudah ada dan nggak usah rempong nyari kesana-kemari, dan biasanya kalau lagi butuh kemudian baru nyari, kecenderungannya adalah berapapun harganya akan dibeli. Malah makin boros kan? Jadi saya ini termasuk kaum yang percaya pada pernyataan "Mumpung diskon". Selain diskon-diskon dadakan yang saya ceritakan tadi, catatlah jadwal diskon tertentu yang selalu ada di saat-saat tertentu. Misalnya, swalayan Mirota Kampus tiap Jumat ada diskon make up 25%, Gramedia tiap awal atau akhir tahun biasanya ada cuci gudang, dll. Kalau ada merchant atau toko yang sering saya kunjungi tiba-tiba menawarkan pembuatan kartu member yang berbuah promo diskon atau menghasilkan poin yang menguntungkan, biasanya saya sih bikin juga.




Apakah ada yang merasa belanja itu ribet setelah baca cerita barusan? Buat saya sih enggak, karena saya merasakan kepuasan batin membeli sesuatu dengan harga terbaik yang bisa saya dapatkan, walau dengan ribet dan susah payah dan kadang capek juga sih. Tapi kalau kamu bisa menikmati semua proses belanja itu dan merasakan kepuasan batin setelahnya, selamat! Kamu layak mendapatkan predikat sebagai si doyan belanja :)



deapurie

Persiapan KKN 2014: Riweuhnya Belanja

Tahun 2015 sudah mendekati penghujungnya. Biasalah, kalau udah mau akhir tahun gini bawaannya biasanya pada suka flashback ke kejadian setahun belakangan ini.

Oh, cuma saya aja? Yaudah ngga papa.

Berawal dari cerita-cerita adek angkatan soal pendaftaran KKN tahun ini... Saya menjadi terkenang akan persiapan KKN saya sendiri tahun lalu :)

KKN di Universitas Sanata Dharma dilaksanakan setahun dua kali, biasanya di bulan Juli-Agustus atau Desember-Januari. Kebanyakan mahasiswa lebih memilih periode Desember-Januari karena nggak nabrak jadwal kuliah. Dan saya pun ikut arus memilih periode kedua.

Bulan November, mulai disibukkan dengan urusan pembayaran dan perdaftaran. Proses ini mau saya skip aja. Nggak berkesan soalnya.

Setelah pendaftaran... Terbitlah pengumuman maha penting yang kelak menjadi topik pembicaraan setiap insan yang mau KKN selama 2 minggu setelahnya: Pembagian kelompok dan lokasi.

Puji Tuhan saya dapet kelompok 2, Dusun Tengklik, Desa Tegalrejo, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunung Kidul. Rumornya, dan memang faktanya, makin kecil nomor kelompoknya, lokasinya makin 'di bawah' yang artinya saya nggak perlu khawatir masalah lokasi yang naik gunung dll. Oke, lokasi skip. Mari kita bahas pembagian kelompoknya.

Pembagian kelompok ini ditentukan kampus, dengan jumlah anggota 10 sampai 11 orang, mewakili tiap prodi yang ada secara proporsional. Yang bikin heboh, waktu itu saya sama temen-temen deket saya cewek-cewek rumpi dan rempong langsung studi banding. Apa aja yang distudi-in? Ooh banyak. Secara, di pengumuman itu terpampang pas foto masing-masing anak. Jadi ya mulailah kami menelusur dan meneliti ada yang ganteng enggak, ada yang mukanya jutek enggak, ada yang dari mukanya keliatan manja atau enggak, mana yang potensi cinlok dan lain sebagainya. Waktu itu temen saya, Maya, nyeletuk. "Eh ini ada yang ganteng di kelompokmu. Anak Sexen tapi cool gitu, aku pernah ketemu dia bla bla bla..." Tetapi saya ngerasa dia biasa aja. Jadilah sampai hari pembekalan tiba, 2 minggu kemudian, kami selalu berdebat perkara dia ganteng atau nggak.

Oke, nggak penting ya? Hahahaha.

Nah, yang paling pengen saya bahas di sini adalah soal... BELANJA PERSIAPAN KKN.

Pada waktu itu, saya nggak ada rencana mau belanja apa dan lain sebagainya. Pokoknya apa yang saya rasa butuh dan perlu dibeli, ya saya beli aja.

Ternyata setelah saya flashback ke masa genting ketika saya riweuh belanja buat persiapan KKN, saya rasa saya bisa membagi kegiatan belanja saya menjadi 2 kategori, yaitu... Belanja Penting dan Belanja Nggak Penting.

1. Belanja Penting

Belanja Penting yang dimaksud adalah belanja keperluan yang memang diperlukan waktu KKN. Pada waktu itu, kelompok saya kebetulan ditempatkan di sebuah rumah kosong yang penghuninya lagi merantau ke Jakarta dan hampir kesemua perabotannya dibawa pindahan.Otomatis, kami harus bawa perabotan sendiri seperti alat masak, perlengkapan tidur, dan lain-lainnya. Apa aja barang penting yang saya beli? Oh iya, yang saya beli di sini adalah barang yang nggak ada di rumah ya, kalau yang ada di rumah mah saya main angkut aja.
  • Kasur, karena di rumah saya emang nggak ada kasur lipat atau kasur apapun yang bisa dibawa kemana-mana.
  • Kabel extension. Ini maha penting saudara-saudara. Bayangkan. 1 rumah akan dihuni 10 orang. Dari 10 orang itu pasti ada lah yang HP nya lebih dari 1. Belum tablet, belum laptop, belum magic jar, belum water heater, belum TV lalala. Saya rasa sih, walau ada temen yang bawa, kita masing-masing tetep harus punya sendiri.
  • Sandal jepit. Waktu itu sih karena punya saya udah licin bawahnya.
  • Sepatu karet. Ini juga penting kalau hujan.
  • Logistik. Logistik yang saya beli waktu itu meliputi peralatan mandi pribadi, peralatan mencuci pribadi dan makanan cadangan pribadi. Walau ada dana kelompok, tetaplah membeli semuanya secara pribadi. Biar jelas ini punya siapa, milik siapa, mau dipakai kapan. Lagian kan enak nanti menggunakannya, nggak ada perasaan risih, sungkan atau rikuh. Yang dibeli secara berkelompok sebaiknya makanan  semacam beras, telur, dll. Oh iya, untuk peralatan mandi, yang biasa pakai sabun batang, beralihlah ke sabun cair botolan, karena jelas lebih praktis. Pakai shampoo dan detergen atau pewangi pakaian sachet sekali pakai juga lebih praktis.
  • Keranjang lipat bentuk jaring. Itu lho, keranjang yang biasanya harganya 12 ribuan yang bisa ditekuk jadi bentuk lingkaran. Anak kosan pasti paham deh. Berguna banget buat tempat barang-barang pribadi kita atau tempat pakaian kotor.
  • Jepitan jemuran. Pastikan kita punya hanger atau jepitan jemuran yang khas biar jemuran kita nggak ketuker sama jemuran anak lain.
Kayanya sih cuma itu yang saya beli... Sisanya sih ambil dari rumah aja. 

2. Belanja Nggak Penting

Belanja nggak penting ini adalah sesungguhnya segala pengeluaran atau pembelian barang yang nggak ada hubungannya sama KKN, tapi tetep saya beli dengan alasan 'mumpung masih di Jogja' atau 'mumpung belum berangkat KKN'.

Cetek ya? Iya saya emang cetek hehe.
  • Parfum. Waktu itu saya bahkan beli 2 parfum, sebelum KKN sama pas KKN. Ya emang sih waktu itu parfum saya lagi abis. Tapi kalo dipikir-pikir, KKN itu ga butuh penampilan yang wangi-wangi amat sih, toh orang di desa sana nggak ada yang wangi juga. Ehm, tapi kalau mau meningkatkan kepercayaan diri ketika bertemu sama anak KKN dusun tetangga yang ganteng, bolehlah.
  • Lipstik. Yha. Saya emang suka lipstik dan entah pikiran bodoh itu datang dari mana tapi saya ingat waktu itu saya beli beberapa biji lipstik karena saya butuh lipstik baru yang menyemangati saya KKN. Baiklah.
  • Novel diskon. Jadi ceritanya saya waktu itu lagi ke Galeria dan Togamas lagi ada sale akhir tahun. Karena saya mikirnya cetek, dipikirnya sale novel cuma ada di akhir tahun 2014, saya nggak pikir panjang langsung beli beberapa. Dan saya dengan bangganya merasa hebat bisa memanfaatkan diskon akhir tahun sebelum saya berangkat KKN. Padahal, tahun 2015 ini juga banyak diskon novel. Ya, intinya diskon itu bisa datang kapan aja, kalau memang nggak keburu beli, nggak usah maksain sih ya. *ini hikmahnya*
  • Sunblock. Saya sih ikutan euforia traveller-traveller bule yang sukanya bawa sunblock kemana-mana. Padahal si bule jalan-jalannya ke Bali dan mau berjemur. Sedangkan saya cuma mau ke Dusun Tengklik dan waktu itu musim hujan.
  • Pengeluaran ke mall. Saya nggak tau sih ini bisa dimasukin ke kategori belanja atau enggak. Tapi yang jelas antara akhir November sampai beberapa hari sebelum KKN saya menghabiskan waktu untuk melakukan kunjungan kenegaraan ke semua mall yang ada di Jogja. Alasannya sih mumpung belom tenggelam atau terisolir di desa KKN. Pada akhirnya saya menyesali keputusan ini karena... di tengah-tengah masa KKN pun ternyata saya masih bisa ngemall hehehe.
Ya, segitu aja sih yang bisa saya share soal belanja KKN saya tahun lalu. Next time, saya pengen cerita lebih banyak lagi soal pengalaman KKN saya. Bukan dari sisi seriusnya soal kerjaannya apa, program kerjanya apa lalala karena itu pasti udah banyak yang bahas. Yang bakal saya bahas adalah kejadian lucu dan konyol selama saya KKN, karena postingan ini dibuat untuk membuang jauh-jauh pikiran menakutkan soal KKN yang kerap bersarang di pikiran anak-anak yang mau KKN.



See you!
deapurie