Monday, December 7, 2015

Resepsi Pernikahan Mewah, Yay or Nay?

Akhir-akhir ini, aku sering banget, bahkan sampai bosan, dengar orang komplain baik secara langsung ataupun lewat media sosial soal resepsi pernikahan mewah dan mahal.

Banyak orang bilang, terutama anak kekinian yang semakin paham dengan budaya yang kebarat-baratan, resepsi pernikahan mewah dan mahal itu buang-buang uang, bertujuan pamer, sombong, dll.

Bahkan ada juga beberapa orang yang membandingkan pernikahan dengan resepsi mewah yang lazim terjadi di Indonesia dengan pernikahan ala-ala Barat yang tamunya sedikit, sifatnya personal, nggak keluar banyak uang, dan terkesan efektif serta efisien. Apalagi ketika beredar berita soal pernikahan Mark Zuckerberg (CEO Facebook). Seketika banyak banget orang yang berusaha membanding-bandingkan pernikahan sederhana tersebut dengan pernikahan ala-ala Indonesia, sehingga membuat pernikahan ala Indonesia kesannya jadi 'boros' dan buang-buang uang.

Emang iya yah?

Akupun dulu juga sempat punya pikiran gitu kok. Gara-gara nonton film Sex and the City dan ngeliat Carrie Bradshaw mutusin buat ngundang 75 orang aja di pesta pernikahannya sama Mr. Big, aku jadi pengen melakukan hal yang sama kalau aku menikah nanti. Pengennya yang dateng sedikit, nggak keluar banyak uang sehingga aku bisa pakai uangnya untuk hal yang lebih bermanfaat buatku seperti beli rumah, mobil, atau apartemen.

Tapi itu kalau kita mikirin diri kita sendiri. Gimana dengan orang tua kita? Pasangan? Mertua?

Kalau kita mau berpikir lebih dalam soal pernikahan, orang Barat dan orang Indonesia punya konsep yang berbeda. Kita bisa kok, bilang, "Menikah itu berarti dua hati yang saling mencintai kemudian memutuskan untuk hidup bersama tanpa campur tangan orang lain, bahagia selamanya..."
Tapi itu konsep ala-ala Barat.

Kalau ala Indonesia?
"Membentuk keluarga baru..."
"Menyatukan dua keluarga..."
"Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah..."
"Nambah menantu, anggota keluarga baru,..."

Ya itulah, konsep pernikahan di Indonesia itu memang nggak bisa lepas dari konsep tentang keluarga. Jadi namanya menikah di Indonesia itu bukan lagi masalah dua hati, tapi dua keluarga. Kita boleh aja sih nggak setuju, tapi gimana dengan orang tua kita? Pasangan? Mertua?

Maka dari itu, adalah hal yang sangat-sangat masuk akal kalau dalam resepsi pernikahan, bukan hanya kepentingan pasangan yang menikah saja yang dipikirkan. Kepentingan keluarga, baik itu keluarga mempelai pria atau wanita, orang tua atau mertua, keluarga besar, juga harus dipikirkan. Ya mungkin karena pesta pernikahan umumnya mengakomodasi kepentingan keluarga, maka kesannya jadi 'boros'.

Kepentingan tersebut juga nantinya akan berkaitan dengan rangkaian acara atau resepsi yang akan dilaksanakan. Coba bayangkan, misalnya orang tua si mempelai pria adalah guru besar di sebuah universitas, lalu orang tua si mempelai wanita adalah pengusaha dengan kolega yang nggak bisa dihitung dengan jari. Mempelai pria ternyata adalah seorang dokter spesialis dan mempelai wanitanya adalah fashion stylist di sebuah majalah ternama. Mungkinkah resepsinya dibuat sederhana? Masa iya kolega bisnis yang di sini diundang, tapi yang di sana nggak diundang? Teman sejawat si dokter apa iya cuma 15 orang?

Nggak usahlah jauh-jauh. Misal orang tua, besan, dan pengantinnya ini berasal dari keluarga sederhana, nggak menjamin juga bahwa mereka relasinya sedikit. Tetangga? Teman SMU? Teman kuliah? -baik teman SMU dan kuliahnya orang tua, besan, dan pengantin- Teman pengajian? Teman di gereja? Teman di kumpulan arisan atau apa gitu? Belum lagi keluarga besar yang jumlahnya bisa ratusan?

Kita nggak boleh lupa ya, kalau orang Indonesia menikah itu, apalagi orang Jawa, bukan hanya pengantinnya yang punya acara nikahan tetapi orang tua dan mertuanya juga 'mantu'. Kita juga harus memikirkan posisi orang tua dan calon mertua kita yang 'mantu' itu tadi. Kalau acaranya ga bisa mengakomodasi kepentingan mereka, mereka juga yang akan mendapat malu dan dicap tidak pantas oleh orang lain.

Harus ya semua diundang?

Jawaban dari pertanyaan di atas, aku dapatkan ketika alm. Bapakku meninggal beberapa bulan yang lalu. Keluarga besarku dari Jakarta, Semarang, Salatiga, Sleman dll, hampir semuanya datang. Semua teman kantor, teman kuliah, bahkan teman SMU, kolega, rekan kerja Bapak dan Ibuku datang dan mensupport segalanya. Bahkan yang nggak bisa datang karena di luar kota pun berlomba-lomba kirim karangan bunga sampai satu gang dari ujung luar ke ujung dalam penuh. Tetangga sekitar, satu RT bahkan nggak ada yang nggak kelihatan bersliweran mengurus segalanya. Sahabat-sahabatku dari SD sampai kuliah ada semua, bahkan teman-teman dari Antropologi Budaya 2012 hampir satu angkatan datang, padahal aku sedang cuti kuliah dan lama nggak ketemu mereka. Teman-temanku pun yang tadinya bahkan nggak tahu rumahku bisa dengan ajaibnya nemu rumahku yang hitungannya jauh di pinggiran kota. Ketika menuju pemakaman, bahkan kami harus menambah 1 bus lagi untuk menambah 3 bus yang kami sewa dan mobil keluarga kami karena nggak muat. Bahkan ada beberapa teman Ibuku yang merelakan mobil pribadinya untuk dipakai ke pemakaman.

Bayangkan, namanya datang melayat itu, artinya datang untuk ikut berduka. Nggak ada ceritanya orang melayat kemudian disuguhi makanan enak, hiburan, atau dapet souvenir. Nggak ada namanya orang melayat itu diundang, nyumbang kemudian berharap acara yang luar biasa. Mereka semua datang dengan tulus, tanpa diminta dan tanpa mengharapkan apa-apa.

Rasanya nggak tega, kalau ketika kami berduka mereka semua mensupport dengan luar biasa, tapi ketika kami berbahagia kami nggak mau berbagi dengan mereka. Di dalam budaya ketimuran, ada aturan tidak tertulis yang berkatian dengan etika membalas budi. Salah satunya adalah membalas jasa orang-orang yang sudah menolong kita di kala kesusahan dengan cara berbagi kebahagiaan. Nggak mungkin juga kalau kita membalas secara personal satu demi satu. Jadi, terkadang mengundang mereka ke acara kita yang sifatnya 'membahagiakan' adalah salah satu cara dan sarana untuk membalas budi mereka yang sudah menolong kita di kala kesusahan.

Kalau kita perhatikan, acara yang sifatnya 'membahagiakan' itu tadi, yang sampai sekarang masih bertahan dan lazim dilakukan ya resepsi pernikahan. Kalau dulu, anak lulus kuliah, atau mau berangkat ke luar negeri aja pake syukuran. Kalau sekarang? Yang paling lumrah ya resepsi pernikahan. Bisa dibilang sarana kita, dan juga orang tua plus mertua kita, untuk berbagi dan membalas budi orang-orang yang berjasa di kehidupan mereka ya yang paling lumrah di resepsi pernikahan. Jadi ya itu, mengundang orang ke resepsi pernikahan kita adalah bagian dari membalas budi dan menunjukkan bahwa di saat bahagia pun kita ingat sama mereka, ga cuma di kala susah aja.

Kita pun harus sadar, bahwa sepanjang perjalanan hidup orang tua atau calon mertua kita, yang berkali-kali lipat lebih lama dari kita, banyak orang yang mensupport mereka. Sehingga, kalau mereka sukses dan bisa merayakan pernikahan anak mereka, ya itu juga karena support dari keluarga besar mereka, kolega mereka, teman kantor yang selalu mendukung karier mereka, tetangga yang menyokong kehidupan sosial orang tua kita, dll. Jadi menurutku, nggak salah dan wajar kalau memang mereka berkeinginan mengadakan pesta pernikahan anaknya yang bisa mengakomodasi kepentingan mereka untuk membalas budi orang-orang yang berjasa buat mereka. Kita sebagai anak ga boleh egois soal hal ini.

Harus mewah ya?
 
Ya perkara mewah dan tidak, balik lagi ke kemampuan keluarga masing-masing. Aku juga bete sih, kalau ada yang menikah, ga kuat nyewa gedung lalu solusinya ngeblok jalan buat resepsi. Buatku, kalau secara finansial memang nggak mampu, bisa sih diganti dengan kirim parcel atau kue, yang penting niat berbagi kebahagiaannya ada. Tapi, kalau memang secara finasial mampu, kemudian tamu-tamu yang diundang nggak main-main, masa iya mau bikin resepsi yang ala kadarnya. Bingung juga sih, waktu jaman Pak SBY mantu dan banyak yang membahas betapa mewahnya acara tersebut dengan nada negatif. Ya iyalah beliau Presiden, tamu undangannya Diplomat sama Menteri Cyin, bukan Pak RT sama tetangga sebelah doang. Masa iya mau nikahannya lesehan pakai tikar?

Namanya mengundang orang untuk terlibat dalam acara kita, terdapat hal yang harus kita pikirkan bernama kepantasan. Kalau misal aku ngundang orang di acara pernikahanku, ya aku nggak mau sih, mereka dateng jauh-jauh, bawa kado, eh suguhannya nggak pantas, eh ga kebagian souvenir karena pesennya mepet, dll. 

Jadi ya, intinya sudah jadi satu hal yang wajar kalau yang punya gawe ingin memberikan yang terbaik untuk para tamunya. Jika ada beberapa pihak yang memang mengadakan resepsi yang terbilang mewah, tolong jangan dilihat sisi negatifnya, apapun itu, aku yakin mereka punya alasan yang wajar dan pantas. Bukan semata-mata buang-buang uang. Kalau mau buang-buang uang sih, mending investasi beli apartemennya Feni Rose yang Senin harga naik itu.

Sisi positif yang lain?

Menikah itu, seperti yang sudah aku bilang tadi, pada akhirnya memang berlanjut pada pembentukan keluarga baru. Entah suami-istri dan anak mereka, atau bahkan hubungan dengan mertua dan ipar-ipar. Menurutku, dalam mempersiapkan resepsi pernikahan bersama keluarga, kita juga nantinya belajar berdinamika dengan keluarga yang baru. Kita belajar untuk nggak lagi memikirkan kepentingan diri sendiri, belajar mendengarkan saran orang lain, beradaptasi dengan calon mertua, berkerja sama dengan ipar-ipar yang nantinya akan jadi saudara kita juga...


Aku cuma coba share pandangan dari sisi lain soal resepsi 'mewah' ya,
Buat yang punya pandangan yang berbeda, it's okay :)))



See you!
deapurie

No comments:

Post a Comment