"Kenapa perempuan harus kerja?"
Buat kalian yang sering mantengin Twitter, Path, Instagram dan semacamnya, pasti nggak asing ya sama kalimat tadi? Kalimat tersebut nyebar dengan viralnya beberapa bulan yang lalu, bertepatan dengan Hari Lipstik Internasional (iyap, kebetulan momennya dapet) di mana-mana dan bahkan dicopas sana-sini oleh pihak nggak bertanggung jawab. Sebenernya quotes mahadahsyat ini adalah hasil pemikiran seorang selebtweet terkenal, Falla Adinda Hadinoto, yang selalu menghasilkan tweet-tweet inspiratif yang ceritanya tentang dunia-sekitar-kita-banget-tapi-kadang-kita-nggak-sadar dan sering membuatku berpikir "Hmmm, iya juga sih ya..."
Sama halnya ketika aku membaca kicauan lipstik 50K vs 500K.
Sudah kodrat katanya, bahwa tugas seorang wanita yang sudah menikah, atau mungkin bahkan punya anak, adalah mengurus rumah tangga, anak dan suami. Jangan sampai anak terlalu sering main sama pembantu, jangan sampai suami keranjingan makan masakan embak di rumah. Begitulah kata mertua eh kodratnya.
Begitukah? Atau karena dulu belum ada lipstik 500K?
Perkara lipstik 50K vs 500K sekilas terjemahan gampangnya adalah : mengahsilkan pundi-pundi rupiah sendiri itu perlu bagi wanita atau istri, supaya bisa beli lipstik setengah juta tanpa harus menadahkan tangan kepada suami. Karena betapapun kayanya suami, pasti mereka ga akan paham dan mengerti bahwa lipstik setengah juta itu ada, nyata, dan memang lebih bagus punya. Laki-laki mah taunya mungkin kalau pakai lipstik setengah juta, ciumannya harus makin hot. Hahahaha. Itu versi gampangnya aja lho ya.
Sebagai seorang wanita yang juga doyan lipstik, aku juga sulit sih membayangkan kalau seumur hidup harus nodong seseorang tiap mau beli lipstik. Belom bedak, belom baju, sepatu, novel, tas birkin, berlian, iuran arisan sosialita, jet pribadi...
Lewat lipstik 50K vs 500K kita, para wanita, sesungguhnya disentil akan kebutuhan kita untuk mandiri. Bukan hanya persoalan kepuasan batin membeli lipstik dengan harga wow, tetapi kita juga harus sadar bahwa pria nggak sepenuhnya paham dan mengerti kebutuhan wanita. Kitalah sebagai wanita yang harus paham akan kebutuhan dan keperluan kita sendiri. Kita nggak bisa maksa suami untuk tahu kapan istrinya harus beli lipstik sehingga dia harus menyisihkan uang lebih tiap berapa bulan sekali atau berapa minggu sekali. Mereka pasti ga akan paham gimana sensasinya bilang ke mbak BA di konter kosmetik "Mba, mau yang ini dong, lip creamnya. Ehm, nomer 1 sampai 10 masing-masing satu ya. Sama itu mba, lip linernya. Ada berapa warna? 5? Oh yaudah bungkus mba semuanya," dengan tanpa mikir panjang.
Dan jangan paksa mereka untuk paham. Mereka mudeng lipstik ada yang glossy sama matte aja udah syukur.
Pastinya, namanya kebutuhan dan keperluan itu ujung-ujungnya ya, kaitannya nggak jauh sama uang. Jadi ya memang, kalau kita punya keinginan untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri secara leluasa, kemandirian finansial itu mutlak.
Jadi walaupun sudah menikah, tetap harus bekerja gitu?
For me, kalau memang nggak ada hambatan yang berarti sih, iya. Apalagi kalau memang suami perlu dibantu dalam proses pemenuhan kebutuhan rumah tangga dari segi finansial *haiyah, bilang aja cari duit*
Jangan salah ya, walaupun ada istilah suami harus bertanggung jawab memenuhi kebutuhan rumah tangga, menafkahi anak dan istri, menurutku sah-sah aja kok kalau memang dia meminta bantuan istrinya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ya sama kan, kita juga pasti seneng kalau suami bantuin jaga anak, cuci piring, berbenah rumah. Ya, cuma porsinya pasti beda lah ya, #sesederhanaitu
Selain itu, ini pendapatku aja tapi ya, kok rasanya aneh ya kalau lipstik dan kebutuhan duniawi wanita lainnya dimasukkan ke dalam list yang harus dibelikan suami? Rasanya itu terlalu menambah tanggung jawab dan beban yang harus mereka pikul. Bukan berarti jika seorang perempuan atau istri punya hak istimewa untuk dinafkahi, maka seluruh hidupnya sampai se-perintilan-perintilannya menjadi tanggung jawab laki-laki. Cicilan rumah, listrik, air, bensin, belanja dapur bulanan, tagihan internet, SPP si kakak, susu dan popok si dedek, dan segala ubo rampe lainnya aja kadang udah bikin suami kerja keras banting tulang. Gimana kalau ditambah "Mz, aku pengen lipstik Channel Mz. Sama itu alat facial yg dijual di DRTV ya Mz..."
Besoknya si Mz ga pulang 3 hari.
Tapi, gimana kalau kondisinya...
"Ah tapi suamiku udah kaya banget. Gajinya aja sebulan 5 M. Aku mau beli lipstik MAC selusin tiap hari ga masalah. Ya paling tinggal nabung dikit aja aku bisa beli se-pabriknya..."
Jangan salah ya, walaupun ada istilah suami harus bertanggung jawab memenuhi kebutuhan rumah tangga, menafkahi anak dan istri, menurutku sah-sah aja kok kalau memang dia meminta bantuan istrinya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ya sama kan, kita juga pasti seneng kalau suami bantuin jaga anak, cuci piring, berbenah rumah. Ya, cuma porsinya pasti beda lah ya, #sesederhanaitu
Selain itu, ini pendapatku aja tapi ya, kok rasanya aneh ya kalau lipstik dan kebutuhan duniawi wanita lainnya dimasukkan ke dalam list yang harus dibelikan suami? Rasanya itu terlalu menambah tanggung jawab dan beban yang harus mereka pikul. Bukan berarti jika seorang perempuan atau istri punya hak istimewa untuk dinafkahi, maka seluruh hidupnya sampai se-perintilan-perintilannya menjadi tanggung jawab laki-laki. Cicilan rumah, listrik, air, bensin, belanja dapur bulanan, tagihan internet, SPP si kakak, susu dan popok si dedek, dan segala ubo rampe lainnya aja kadang udah bikin suami kerja keras banting tulang. Gimana kalau ditambah "Mz, aku pengen lipstik Channel Mz. Sama itu alat facial yg dijual di DRTV ya Mz..."
Besoknya si Mz ga pulang 3 hari.
Tapi, gimana kalau kondisinya...
"Ah tapi suamiku udah kaya banget. Gajinya aja sebulan 5 M. Aku mau beli lipstik MAC selusin tiap hari ga masalah. Ya paling tinggal nabung dikit aja aku bisa beli se-pabriknya..."
Terlepas dari kemandirian finansial demi terlaksananya pemenuhan atas kebutuhan pribadi wanita, yang salah satunya adalah lipstik, tanpa menengadahkan tangan atau ndusel-ndusel sok manis dulu kepada suami, 'kebutuhan' seorang perempuan untuk bekerja tidak hanya berhenti sampai di lipstik saja.
Ya, aku bilang bekerja adalah 'kebutuhan' bagi setiap perempuan karena pada akhirnya mereka jugalah yang merasakan manfaatnya.
Ketika pundi-pundi uang tidak lagi menjadi sebuah persoalan dalam sebuah rumah tangga, bukan berarti seorang istri kemudian bisa lega seumur hidup jadi istri yang selalu duduk manis di rumah menanti suami pulang kantor. Bayangkan, suami setiap hari di kantor atau di lingkungan kerjanya bertemu orang-orang baru, belajar melakukan hal baru, punya kehidupan yang lebih dinamis, punya pengalaman hidup yang lebih berwarna. Kemudian semua itu membuat suami menjadi pribadi yang bertumbuh setiap harinya, makin hari wawasannya makin luas, makin punya banyak pandangan baru. Bukan nggak mungkin suami menjadi orang yang makin hari makin terlihat 'berbeda', in a good way.
Sedangkan kalau istri setiap hari di rumaaahh mulu, nggak punya pekerjaan lain selain pekerjaan rumah tangga yang seringnya digarap si embak, gaulnya sama ibu-ibu tetangga yang juga gitu-gitu aja, nontonnya gosip artis yang makin ga jelas, pada akhirnya ya akan tetap gitu-gitu atau gini-gini aja.
Yang terjadi? Bisa aja pada akhirnya suami ngerasa istrinya bukan lagi partner yang nyambung buat diajak bicara atau diskusi. Ujung-ujungnya bosen. Bisa aja istri pada akhirnya merasa 'nggak dianggap' sama suaminya. Ujung-ujungnya cari pelarian yang nggak sehat.
Seenggaknya, dengan bekerja, istri juga bisa punya lingkungan sendiri, punya aktifitas dan dunia sendiri. Sehingga pada akhirnya bisa merasakan proses berkembang yang kurang lebih sama dengan suami. Selain itu, dengan punya dunia sendiri pun si istri pada akhirnya nggak akan menggantungkan dunia dan hidupnya pada suaminya, yang mungkin juga nggak akan setiap saat ada kalau dibutuhkan. Aku rasa, suami juga akan senang kalau istrinya setiap hari punya hal baru untuk diceritakan, bisa sharing dan berbagi cerita tentang kegiatan masing-masing.
Bekerja juga membuat istri memiliki peran dan identitasnya sendiri. Istri bukan lagi disebut sebagai bu dokter karena suaminya dokter, bu lurah karena suaminya lurah, bu direktur karena suaminya direktur. Istri yang bekerja akan disebut sebagai bu dosen, karena ya memang kerja jadi dosen, bu hakim karena profesinya memang hakim. Nggak selamanya kita bisa menggantungkan identitas di bawah lengan suami. Juga, nggak selamanya kita bisa bersandar pada pundi-pundi uang suami. Kita juga harus memikirkan kemungkinan terburuk kalau-kalau suami meninggal duluan, kecelakaan, sakit, dll.
Tapi tetep ya, urusan rumah tangga, kewajiban sebagai istri dan ibu harus menjadi prioritas. Jangan sampai dengan dalih bekerja lalu urusan rumah diabaikan.
Sama lah, kaya suami bantu berbenah rumah, tapi nggak langsung kemudian berbenah rumah jadi prioritas dia juga kan?
Hmm, berarti jangan jadi ibu rumah tangga ya kalau gitu?
Aku nggak ada maksud sedikitpun buat menyinggung istri-istri di dunia ini yang menyandang predikat ibu rumah tangga. Sungguh, di mataku ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang sangat mulia. Jika memang situasi dan kondisi tidak memungkinkan bagi seorang istri untuk meninggalkan rumah dan bekerja, apa iya harus dipaksakan?
Seorang istri dan ibu yang bekerja, tentunya tetap memiliki kewajiban untuk menangani urusan rumah tangga dengan baik. Apapun kesibukannya, urusan rumah tangga jangan sampai terlewatkan.
Nah, gimana kalau kita balik?
Seorang ibu rumah tangga juga tidak boleh mengesampingkan kebutuhannya untuk belajar, berkembang dan membuka wawasannya akan dunia luar. Walaupun jadi ibu rumah tangga, walaupun segala kebutuhan dicukupi suami dengan segala kelebihannya, tetaplah penuhi kebutuhan sebagai partner suami yang bisa mengimbangi kemampuannya. Bahkan juga kebutuhan sebagai seorang ibu yang akan jadi tempat bertanya anaknya. Caranya?
Sekarang ini banyak banget nget nget kerjaan yang bisa dilakukan oleh istri dan ibu tanpa harus meninggalkan rumah dan kewajiban mengurus rumah tangga. Pernah dengar mompreneur, momblogger, beauty reviewer, content writer, dll? Bahkan ada kok sekarang, editor majalah yang kerjanya cukup dari rumah aja. Nggak jarang bahkan akhirnya apa yang dikerjakan nggak jauh-jauh dari keseharian menjadi ibu rumah tangga.
Ikut bergabung dengan komunitas-komunitas yang juga dibentuk oleh sesama istri-istri atau ibu-ibu di luar sana dan terlibat jadi volunteer di dalamnya juga sangat membantu para ibu rumah tangga dalam hal menemukan lingkungan positif yang bisa membantu mereka untuk berkembang. Misalnya, ikut komunitas milis kecantikan, komunitas blogger, komunitas parenting, komunitas kuliner, komunitas ibu-ibu yang suka bikin DIY mainan anak, dll. Kalaupun nggak bisa atau nggak cukup waktu untuk terlibat jadi volunteer, cukuplah memperkaya diri sendiri dengan tetep terlibat secara pasif di komunitas yang diminati, atau mungkin sering-sering ikut seminar aja udah cukup kok untuk meng-upgrade diri sendiri. Komunitas-komunitas seperti yang aku sebutin tadi sekarang ini banyak banget jumlahnya dan bisa dengan mudah kita temuin di media sosial.
Tuh kan, yang tadinya bahas lipstik 50K vs 500K aja ujung-ujungnya ga ada hubungannya sama lipstik.
Ya seperti yang kubilang, ini memang bukan hanya soal lipstik semata :)
See you!
deapurie
Ya, aku bilang bekerja adalah 'kebutuhan' bagi setiap perempuan karena pada akhirnya mereka jugalah yang merasakan manfaatnya.
Ketika pundi-pundi uang tidak lagi menjadi sebuah persoalan dalam sebuah rumah tangga, bukan berarti seorang istri kemudian bisa lega seumur hidup jadi istri yang selalu duduk manis di rumah menanti suami pulang kantor. Bayangkan, suami setiap hari di kantor atau di lingkungan kerjanya bertemu orang-orang baru, belajar melakukan hal baru, punya kehidupan yang lebih dinamis, punya pengalaman hidup yang lebih berwarna. Kemudian semua itu membuat suami menjadi pribadi yang bertumbuh setiap harinya, makin hari wawasannya makin luas, makin punya banyak pandangan baru. Bukan nggak mungkin suami menjadi orang yang makin hari makin terlihat 'berbeda', in a good way.
Sedangkan kalau istri setiap hari di rumaaahh mulu, nggak punya pekerjaan lain selain pekerjaan rumah tangga yang seringnya digarap si embak, gaulnya sama ibu-ibu tetangga yang juga gitu-gitu aja, nontonnya gosip artis yang makin ga jelas, pada akhirnya ya akan tetap gitu-gitu atau gini-gini aja.
Yang terjadi? Bisa aja pada akhirnya suami ngerasa istrinya bukan lagi partner yang nyambung buat diajak bicara atau diskusi. Ujung-ujungnya bosen. Bisa aja istri pada akhirnya merasa 'nggak dianggap' sama suaminya. Ujung-ujungnya cari pelarian yang nggak sehat.
Seenggaknya, dengan bekerja, istri juga bisa punya lingkungan sendiri, punya aktifitas dan dunia sendiri. Sehingga pada akhirnya bisa merasakan proses berkembang yang kurang lebih sama dengan suami. Selain itu, dengan punya dunia sendiri pun si istri pada akhirnya nggak akan menggantungkan dunia dan hidupnya pada suaminya, yang mungkin juga nggak akan setiap saat ada kalau dibutuhkan. Aku rasa, suami juga akan senang kalau istrinya setiap hari punya hal baru untuk diceritakan, bisa sharing dan berbagi cerita tentang kegiatan masing-masing.
Bekerja juga membuat istri memiliki peran dan identitasnya sendiri. Istri bukan lagi disebut sebagai bu dokter karena suaminya dokter, bu lurah karena suaminya lurah, bu direktur karena suaminya direktur. Istri yang bekerja akan disebut sebagai bu dosen, karena ya memang kerja jadi dosen, bu hakim karena profesinya memang hakim. Nggak selamanya kita bisa menggantungkan identitas di bawah lengan suami. Juga, nggak selamanya kita bisa bersandar pada pundi-pundi uang suami. Kita juga harus memikirkan kemungkinan terburuk kalau-kalau suami meninggal duluan, kecelakaan, sakit, dll.
Tapi tetep ya, urusan rumah tangga, kewajiban sebagai istri dan ibu harus menjadi prioritas. Jangan sampai dengan dalih bekerja lalu urusan rumah diabaikan.
Sama lah, kaya suami bantu berbenah rumah, tapi nggak langsung kemudian berbenah rumah jadi prioritas dia juga kan?
Hmm, berarti jangan jadi ibu rumah tangga ya kalau gitu?
Aku nggak ada maksud sedikitpun buat menyinggung istri-istri di dunia ini yang menyandang predikat ibu rumah tangga. Sungguh, di mataku ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang sangat mulia. Jika memang situasi dan kondisi tidak memungkinkan bagi seorang istri untuk meninggalkan rumah dan bekerja, apa iya harus dipaksakan?
Seorang istri dan ibu yang bekerja, tentunya tetap memiliki kewajiban untuk menangani urusan rumah tangga dengan baik. Apapun kesibukannya, urusan rumah tangga jangan sampai terlewatkan.
Nah, gimana kalau kita balik?
Seorang ibu rumah tangga juga tidak boleh mengesampingkan kebutuhannya untuk belajar, berkembang dan membuka wawasannya akan dunia luar. Walaupun jadi ibu rumah tangga, walaupun segala kebutuhan dicukupi suami dengan segala kelebihannya, tetaplah penuhi kebutuhan sebagai partner suami yang bisa mengimbangi kemampuannya. Bahkan juga kebutuhan sebagai seorang ibu yang akan jadi tempat bertanya anaknya. Caranya?
Sekarang ini banyak banget nget nget kerjaan yang bisa dilakukan oleh istri dan ibu tanpa harus meninggalkan rumah dan kewajiban mengurus rumah tangga. Pernah dengar mompreneur, momblogger, beauty reviewer, content writer, dll? Bahkan ada kok sekarang, editor majalah yang kerjanya cukup dari rumah aja. Nggak jarang bahkan akhirnya apa yang dikerjakan nggak jauh-jauh dari keseharian menjadi ibu rumah tangga.
Ikut bergabung dengan komunitas-komunitas yang juga dibentuk oleh sesama istri-istri atau ibu-ibu di luar sana dan terlibat jadi volunteer di dalamnya juga sangat membantu para ibu rumah tangga dalam hal menemukan lingkungan positif yang bisa membantu mereka untuk berkembang. Misalnya, ikut komunitas milis kecantikan, komunitas blogger, komunitas parenting, komunitas kuliner, komunitas ibu-ibu yang suka bikin DIY mainan anak, dll. Kalaupun nggak bisa atau nggak cukup waktu untuk terlibat jadi volunteer, cukuplah memperkaya diri sendiri dengan tetep terlibat secara pasif di komunitas yang diminati, atau mungkin sering-sering ikut seminar aja udah cukup kok untuk meng-upgrade diri sendiri. Komunitas-komunitas seperti yang aku sebutin tadi sekarang ini banyak banget jumlahnya dan bisa dengan mudah kita temuin di media sosial.
Tuh kan, yang tadinya bahas lipstik 50K vs 500K aja ujung-ujungnya ga ada hubungannya sama lipstik.
Ya seperti yang kubilang, ini memang bukan hanya soal lipstik semata :)
See you!
deapurie
No comments:
Post a Comment