Monday, January 6, 2014

I Do Love Sex and the City

Saya sudah 4 tahun belakangan ini menggandrungi Sex and the City.

Perkenalan saya dengan serial TV dan film fenomenal tersebut terbilang cukup aneh. Berawal di pertengahan tahun 2010, ketika saya secara tidak sengaja menonton sebuah film yang saat itu sedang in di bioskop, Sex and the City 2. Sejujurnya saya menonton film tersebut secara tidak sengaja dan tanpa gambaran apapun. Malah pada awalnya saya mengira film tersebut adalah film semi porno, mengingat judulnya diawali dengan kata Sex. Seketika setelah menonton Sex and the City 2, saya jatuh cinta. Entah kenapa, walaupun saya menyukai film tersebut, saya tidak berusaha mencari prequelnya atau bahkan serial TVnya –mencari tahu apakah Sex and the City punya serial TV pun tidak. Mungkin karena pada saat itu saya hanya jatuh cinta dengan fashion dan gaya hidupnya saja. Bukan dengan tema ataupun issue yang dibahas.



Malam valentine tahun 2011, secara tidak sengaja (lagi-lagi) saya menonton film Sex and the City, kali ini yang pertama, di sebuah stasiun televisi swasta. Setelah menonton film tersebut, saya mulai agak paham dengan jalan cerita dan tema yang diangkat oleh kedua film itu.



Tahun 2012, saya baru tahu jika ternyata film Sex and the City merupakan lanjutan dari serial yang berjudul sama, yang tayang di era akhir 90an hingga awal 2000an. Saya menemukan serial tersebut diputar ulang di channel SET setiap hari jam 9 pagi dan 1 siang. Karena saya adalah mahasiswi yang jarang ada di rumah pada jam-jam itu, maka saya juga jarang dapat menikmati serial tersebut. Bahkan saya pernah bela-belain bolos kuliah demi menonton serial Sex and the City, karena setelah menonton beberapa episode saja, saya jadi kecanduan parah.


Awal tahun 2013, berbekal info dari seorang sahabat yang juga pecinta Sex and the City, ternyata serial tersebut dapat diperoleh secara cuma-cuma di beberapa warnet yang ada di Jogja. Berbekal beberapa biji flashdisk dan semangat 45, akhirnya saya membawa pulang serial kesukaan saya tersebut, lengkap dari season 1 hingga 6. Hampir setiap hari setelah itu saya dengan rajinnya mengikuti serial tersebut hingga tamat.
Sex and the City bukan hanya sebuah film atau cerita cemen yang berbicara soal sex yang biasa diterjemahkan orang Indonesia kebanyakan sebagai hubungan seks. Sex and the City adalah potret kehidupan 4 perempuan metropolitan (kalau istilah bahasa Indonesianya mungkin seperti itu) berbeda karakter yang bersahabat yaitu Carrie Bradshaw, Miranda Hobbes, Samantha Jones dan Charlotte York. Karena tokoh utamanya adalah perempuan, maka masalah yang sering dijadikan topik dalam Sex and the City selalu berkaitan dengan kehidupan perempuan. Entah masalah hubungan percintaan, hubungan pertemanan, gender dan lain sebagainya, termasuk di dalamnya hubungan seks.

Sex and the City seolah-olah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan saya. Ketika ada masalah atau cobaan hidup menimpa kita, biasanya kita akan meminta pertolongan Tuhan. Tapi, setelah saya menambatkan hati dan pikiran saya dengan serial keramat tersebut, saya lebih banyak mencari quote atau rujukan secara tidak langsung dari Carrie, Miranda, Samantha atau Charlotte.

Setiap kali saya merasa mendapatkan masalah atau sedang memikirkan sesuatu tentang hidup saya, saya selalu mencari episode mana yang cocok dengan saya. Saya selalu mencari kapan Carrie mengalami hal yang sama dengan saya pada saat itu. Saya selalu mencari komentar Samantha yang mana yang cocok dengan situasi yang saya alami. Memang, Sex and the City banyak mengupas masalah-masalah kehidupan, terutama yang berkaitan dengan cinta, relationship dan tentu saja masalah yang biasa dialami oleh perempuan.

Sex and the City menghadirkan semua masalah-masalah tersebut secara manusiawi dan sesuai dengan kenyataan tanpa ada maksud menggurui sedikitpun. Sex and the City tidak pernah menampilkan satu karakter-pun yang flawless alias tanpa cacat. Semua digambarkan dengan persoalannya masing-masing. Tetapi, tidak semua masalah dapat terselesaikan dengan baik. Selalu ada saja masalah-masalah yang pada akhirnya menjadi sesuatu yang harus diterima sebagai kekurangan. Sex and the City tidak pernah memberikan cap ‘salah’ ataupun ‘buruk’ bagi setiap tindakan yang dilakukan para karakternya yang mungkin melawan arus. Sex and the City seolah-olah menampilkan bagaimana hidup itu sebenarnya secara sangat-sangat realistis dan tidak munafik. Pesan yang mungkin tersirat dalam Sex and the City adalah : kita tidak sendirian di dunia ini. Ada juga orang-orang yang pernah menghadapi masalah seperti kita. Bagi saya, Sex and the City seolah-olah memberikan semangat pada kehidupan saya dan kebesaran hati untuk menerima jati diri saya seutuhnya sehingga saya bisa merasa bangga menjadi diri saya sendiri.

Kadang saya panikan dan emosional seperti Carrie, sinis seperti Miranda, naif seperti Charlotte dan memungkiri kenyataan seperti Samantha. Tapi saya bisa dengan berbesar hati menerima keadaan saya yang memang kenyataannya penuh kekurangan. Walau begitu, kadang saya pengen punya sense of fashion seperti Carrie, otak encer seperti Miranda, wajah cantik dan kebaikan hati seperti Charlotte tetapi menikmati indahnya hidup layaknya Samantha. See? Walaupun mereka semua tidak ada yang flawless, ketika hidup mereka digabungkan menjadi satu semuanya akan menjadi sempurna.

Terlepas dari betapa glamour dan bebasnya hidup mereka, betapa updatenya mereka soal fashion, betapa nikmatnya menjalani hidup dengan brunch bersama para sahabat dan dinner bersama pria-pria tampan dan betapa menyenangkannya bisa menikmati kehidupan di sebuah apartemen di jantung kota New York, Sex and the City sesungguhnya mencoba menunjukkan pada kita bahwa kehidupan seindah dan senikmat apapun, tidak ada yang sempurna di dalamnya. Setiap orang di kehidupan ini, tidak peduli siapapun dia, pasti memiliki problem kehidupannya masing-masing. Intinya, jika Sex and the City adalah manusia, dia pasti akan sangat membenci kata flawless.

No comments:

Post a Comment