Saya sudah 4 tahun belakangan ini menggandrungi Sex and the City.
Perkenalan saya dengan serial TV dan film fenomenal tersebut terbilang
cukup aneh. Berawal di pertengahan tahun 2010, ketika saya secara tidak sengaja
menonton sebuah film yang saat itu sedang in di bioskop, Sex and the City 2. Sejujurnya
saya menonton film tersebut secara tidak sengaja dan tanpa gambaran apapun.
Malah pada awalnya saya mengira film tersebut adalah film semi porno, mengingat
judulnya diawali dengan kata Sex. Seketika setelah menonton Sex and the City 2,
saya jatuh cinta. Entah kenapa, walaupun saya menyukai film tersebut, saya
tidak berusaha mencari prequelnya atau bahkan serial TVnya –mencari tahu apakah
Sex and the City punya serial TV pun tidak. Mungkin karena pada saat itu saya
hanya jatuh cinta dengan fashion dan gaya hidupnya saja. Bukan dengan tema
ataupun issue yang dibahas.
Malam valentine tahun 2011, secara tidak sengaja (lagi-lagi) saya menonton
film Sex and the City, kali ini yang pertama, di sebuah stasiun televisi
swasta. Setelah menonton film tersebut, saya mulai agak paham dengan jalan
cerita dan tema yang diangkat oleh kedua film itu.
Tahun 2012, saya baru tahu jika ternyata film Sex and the City merupakan
lanjutan dari serial yang berjudul sama, yang tayang di era akhir 90an hingga
awal 2000an. Saya menemukan serial tersebut diputar ulang di channel SET setiap
hari jam 9 pagi dan 1 siang. Karena saya adalah mahasiswi yang jarang ada di
rumah pada jam-jam itu, maka saya juga jarang dapat menikmati serial tersebut. Bahkan
saya pernah bela-belain bolos kuliah demi menonton serial Sex and the City,
karena setelah menonton beberapa episode saja, saya jadi kecanduan parah.
Awal tahun 2013, berbekal info dari seorang sahabat yang juga pecinta Sex
and the City, ternyata serial tersebut dapat diperoleh secara cuma-cuma di
beberapa warnet yang ada di Jogja. Berbekal beberapa biji flashdisk dan
semangat 45, akhirnya saya membawa pulang serial kesukaan saya tersebut,
lengkap dari season 1 hingga 6. Hampir setiap hari setelah itu saya dengan
rajinnya mengikuti serial tersebut hingga tamat.
Sex and the City bukan hanya sebuah film atau cerita cemen yang berbicara
soal sex yang biasa diterjemahkan orang Indonesia kebanyakan sebagai hubungan
seks. Sex and the City adalah potret kehidupan 4 perempuan metropolitan (kalau
istilah bahasa Indonesianya mungkin seperti itu) berbeda karakter yang
bersahabat yaitu Carrie Bradshaw, Miranda Hobbes, Samantha Jones dan Charlotte
York. Karena tokoh utamanya adalah perempuan, maka masalah yang sering
dijadikan topik dalam Sex and the City selalu berkaitan dengan kehidupan
perempuan. Entah masalah hubungan percintaan, hubungan pertemanan, gender dan
lain sebagainya, termasuk di dalamnya hubungan seks.
Sex and the City seolah-olah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan
saya. Ketika ada masalah atau cobaan hidup menimpa kita, biasanya kita akan
meminta pertolongan Tuhan. Tapi, setelah saya menambatkan hati dan pikiran saya
dengan serial keramat tersebut, saya lebih banyak mencari quote atau rujukan
secara tidak langsung dari Carrie, Miranda, Samantha atau Charlotte.
Setiap kali saya merasa mendapatkan masalah atau sedang memikirkan sesuatu
tentang hidup saya, saya selalu mencari episode mana yang cocok dengan saya.
Saya selalu mencari kapan Carrie mengalami hal yang sama dengan saya pada saat
itu. Saya selalu mencari komentar Samantha yang mana yang cocok dengan situasi
yang saya alami. Memang, Sex and the City banyak mengupas masalah-masalah
kehidupan, terutama yang berkaitan dengan cinta, relationship dan tentu saja
masalah yang biasa dialami oleh perempuan.
Sex and the City menghadirkan semua masalah-masalah tersebut secara
manusiawi dan sesuai dengan kenyataan tanpa ada maksud menggurui sedikitpun.
Sex and the City tidak pernah menampilkan satu karakter-pun yang flawless alias
tanpa cacat. Semua digambarkan dengan persoalannya masing-masing. Tetapi, tidak
semua masalah dapat terselesaikan dengan baik. Selalu ada saja masalah-masalah
yang pada akhirnya menjadi sesuatu yang harus diterima sebagai kekurangan. Sex
and the City tidak pernah memberikan cap ‘salah’ ataupun ‘buruk’ bagi setiap
tindakan yang dilakukan para karakternya yang mungkin melawan arus. Sex and the
City seolah-olah menampilkan bagaimana hidup itu sebenarnya secara
sangat-sangat realistis dan tidak munafik. Pesan yang mungkin tersirat dalam
Sex and the City adalah : kita tidak sendirian di dunia ini. Ada juga
orang-orang yang pernah menghadapi masalah seperti kita. Bagi saya, Sex and the
City seolah-olah memberikan semangat pada kehidupan saya dan kebesaran hati
untuk menerima jati diri saya seutuhnya sehingga saya bisa merasa bangga
menjadi diri saya sendiri.
Kadang saya panikan dan emosional seperti Carrie, sinis seperti Miranda, naif
seperti Charlotte dan memungkiri kenyataan seperti Samantha. Tapi saya bisa
dengan berbesar hati menerima keadaan saya yang memang kenyataannya penuh
kekurangan. Walau begitu, kadang saya pengen punya sense of fashion seperti
Carrie, otak encer seperti Miranda, wajah cantik dan kebaikan hati seperti
Charlotte tetapi menikmati indahnya hidup layaknya Samantha. See? Walaupun
mereka semua tidak ada yang flawless, ketika hidup mereka digabungkan menjadi
satu semuanya akan menjadi sempurna.
Terlepas dari betapa glamour dan bebasnya hidup mereka, betapa updatenya
mereka soal fashion, betapa nikmatnya menjalani hidup dengan brunch bersama
para sahabat dan dinner bersama pria-pria tampan dan betapa menyenangkannya
bisa menikmati kehidupan di sebuah apartemen di jantung kota New York, Sex and
the City sesungguhnya mencoba menunjukkan pada kita bahwa kehidupan seindah dan
senikmat apapun, tidak ada yang sempurna di dalamnya. Setiap orang di kehidupan
ini, tidak peduli siapapun dia, pasti memiliki problem kehidupannya
masing-masing. Intinya, jika Sex and the City adalah manusia, dia pasti akan
sangat membenci kata flawless.
No comments:
Post a Comment