Thursday, January 16, 2014

Kelas Karawitan Tercinta

Seumur hidup saya nggak pernah sukses belajar musik. Mungkin otak kanan saya ini macet atau apa, tapi yang jelas, dari main seruling sampe kursus gitar klasik pun saya nggak pernah sukses. Tapi kelas karawitan mengubah segalanya.

Semester 3 kemarin, setiap mahasiswa FIB diwajibkan mengambil mata kuliah SBI alias Seni Budaya Indonesia. Kelas SBI ini terbagi menjadi 3, yaitu batik, tari dan karawitan. Setiap mahasiswa berhak memilih mau ambil kelas yang mana. Berhubung saya nggak bakat membatik dan badan saya kaku-kaku kalau disuruh nari, maka saya mengambil kelas karawitan.

Saya nggak punya harapan apa-apa sama kelas karawitan. Saya nggak membayangkan saya akan jago main gamelan atau apa. Yang jelas harapan saya cuma mau lulus aja.

Pada awalnya saya malahan mau revisi segala. Pasalnya, saya terdampar di kelas jurusan lain dan saya nggak kenal siapapun di kelas itu. Saya takut nggak betah karena nggak punya temen. Tapi ternyata, penghuni kelas tersebut anaknya baik-baik dan menyenangkan. Jadilah saya betah sampai akhir semester. Kebaikan hati dan keramahan anak-anak di kelas tersebut adalah awal yang baik buat saya.

Pertemuan-pertemuan awal, saya sudah dapat predikat : trouble maker. Saya dan seorang anak di kelas itu, namanya Dina, sering banget bikin kesalahan. Namanya juga karawitan, mainnya berkelompok, nggak bisa sendiri-sendiri. Jadi kalau ada satu orang saja yang bikin kesalahan, pasti dosen akan meminta permainan diulangi dari awal. Saya dan Dina termasuk anak yang sering banget bikin kesalahan, di tengah-tengah anak-anak yang mulai jago main gamelan. Berawal dari gong keramat di pojok ruangan, saya sama Dina terdampar di kekeliruan-kekeliruan instrumen-instrumen comlplicated lainnya macem kempul, kenong, kendang dan bonang.

Tapi anehnya, saya nggak merasa rendah diri. Bukan saya muka badak alias nggak tau malu, bukan. Yang membuat saya tetap enjoy di tengah predikat trouble maker adalah dosen yang nggak pernah marah. Dosen kami, Pak Joko Suwito, malah menjadikan kami-kami yang trouble maker ini bahan bercandaan. Bukan ngeledekin, tapi lebih ke arah bikin suasana jadi santai karena biasanya yang sering salah-salah itu nggak rileks nabuh gamelannya. Bahkan Pak Joko ini pernah bilang : “Nek salah, ngguyuo wae. Ojo spaneng,” –kalau salah (nabuhnya), ketawalah saja, jangan tegang.



Lama-kelamaan, saya jadi suka karawitan. Ketika mulai mempelajari lancaran Suwe Ora Jamu, saya mulai merasakan adanya chemistry antara saya dan irama lagu tersebut. Saya mulai mengerti kalau kuncinya nabuh gamelan itu adalah rasa, perasaan kita sendiri. Kalau kita bisa merasakan alunan iramanya, bisa merasakan temponya, bisa merasakan bebunyian dari instrumen lain yang dimainkan teman kita, pasti kita bisa menabuh dengan benar. Lama-kelamaan saya jadi tau nikmatnya bermain gamelan.
*Saya yang pake baju pink di tengah

Bukan berarti saya jadi jago, bukan. At least, saya nggak lagi jadi trouble maker. Nama saya jadi jarang disebut tiap akhir permainan. Walaupun begitu, saya tetep jadi mahasiswa yang biasa-biasa saja. Maksudnya, walaupun ada peningkatan yang cukup siginifikan dalam diri saya, teman-teman saya yang lain sudah banyak yang jauuuhhhh lebih jago dari saya. Bagi saya, saya bisa menikmati menabuh gamelan, dengan latar belakang pengalaman saya yang nol besar dan setelah berminggu-minggu mendapat predikat trouble maker, sudah merupakan suatu hadiah terindah buat saya.

Tapi bukan berarti setelah itu perjalanan saya di kelas karawitan mulus-mulus saja bak jalan tol. Saya ingat, saya juga pernah nyaris menangis karena seharian saya salah terus. Dari mulai kendhang, bonang, saron, demung, peking, gong, kempul, kenong, kethuk saya salah semua. Ada saja salahnya. Entah salah mukul, salah baca kode, mukulnya kekencengan, sampai salah cara duduknya. Seharian nama saya disebut terus sama Pak Joko. Bahkan sampai beliau sepertinya gemes sama saya. Dulu aja, jaman saya masih trouble maker, kesalahan saya nggak segitunya. Sampai akhirnya mata saya mulai merah saking jengkelnya. Jengkel sama apa, saya nggak tau. Pokoknya saya mulai berkaca-kaca. Sampai akhirnya, seorang teman di kelas itu yang bernama Yusuf alias Ucup, ngepukpukin saya sambil bilang “Udah, nggak usah nangis.. Jangan sedih, pasti nanti bisa kok”. Seketika saya malah pengen nangis, terharu maksudnya.

Walau ada kejadian begitu, saya tetap menikmati berkarawitan ria. Setiap minggunya, saya selalu menunggu-nunggu hadirnya hari Jumat. Jumat siang jam 1 di Margono 405, kelas Karawitan O yang isinya mostly anak Sastra Arab dan sebagian Pariwisata (saya satu-satunya anak Antropologi). Bagi saya, kelas karawitan adalah kelas yang paling ‘segar’ di tengah-tengah kelas-kelas yang lain, yang mostly cuma duduk dan dengerin dosen ceramah. Saya bahkan nggak pernah bolos karawitan. Pernah sih, sekali ketika pacar saya datang ke Jogja. Tapi bandingkan dengan mata kuliah lain di UGM, yang saya biasa bolos (baca : titip absen) 5 sampai 7 kali berhubung jadwal kuliah dobel saya yang ampun-ampunan. Dan saya biasanya paling males kalo harus berangkat kuliah siang-siang dari Sadhar ke UGM. Giliran kelas karawitan, saya rajin luar biasa.

Gara-gara kelas karawitanpun, saya jadi suka lagu campursari. Sungguh. Saya sampe download mp3 lagu Gugur Gunung. Gara-gara kelas karawitan juga, saya akhirnya menonton pertunjukkan Ramayana untuk pertama kalinya dalam hidup saya. Saya baru tau kalau ternyata pertunjukkan Ramayana itu luar biasa bagusnya. Saya jadi suka nyanyi lagu-lagu Jawa, juga karena di kelas karawitan diajarin nyinden. Pernah suatu ketika, sambil mandi saya nyanyi Suwe Ora Jamu. Saya juga pernah beberapa kali mampir ke gelanggang mahasiswa karena saya ngidam lihat orang main gamelan. Waktu itu hari Selasa, jadwalnya UKM UKJGS latihan karawitan. Berhubung saya pengen denger suara gamelan dan hari Jumat itu masih lama, saya bela-belain mampir ke gelanggang.

Ujian akhir semester karawitan menjadi saat-saat yang paling sentimentil buat saya. Saya mendadak tersadar kalau hari itu, 3 Januari 2014 akan menjadi saat-saat terakhir saya menabuh gamelan. Rasanya saya pengen nangis, tapi kalah sama perasaan grogi saya.

Saya berhasil melewati ujian tersebut dengan cukup baik (menurut saya, hehehe) di setiap instrumen. Bahkan hari itu saya dengan lancarnya memainkan kendhang, yang selama ini menjadi momok saya. Saya nggak pernah lancar main kendhang. Tapi hari itu, saya berbicara sama kendhang dalam hati, penuh haru, “Kendhang, hari ini hari terakhir kita, please, yang akur ya sama aku..” Dan saya berhasil.
*Foto setelah ujian, bersama kelas yang akan sangat saya rindukan. Saya pake baju kuning.

Belum ada sebulan saya berpisah dengan kelas karawitan, saya sudah kangen berat. Kangen sama gamelannya, kangen sama anak-anak kelasnya yang ramah-ramah dan baik sama saya. Saya kangen lempengan-lempengan logam berselimutkan kain biru. Saya kangen tabuh-tabuhnya yang warnanya merah dan beberapa sering copot. Saya kangen... semuanya.

Kalau saya ditanya, alat musik apa yang bisa saya mainkan saya akan menjawab, saya pernah belajar karawitan, saya bisa memainkan instrumen-instrumennya dan karawitan adalah satu-satunya seni musik yang saya bisa mainkan sekaligus saya nikmati.

No comments:

Post a Comment