Siapapun yang melihat gambar di atas ini pasti tahu dong, mana yang East dan mana yang West. Mana yang budaya/kebiasaan kita dan mana yang identik dengan orang Barat. Pertama kali saya melihat gambar inipun saya nggak usah lagi pikir panjang, saya tahu kemana arahnya.
Bayangkan kita sedang ada di sebuah kafe atau perpustakaan umum, misalnya. Kita duduk di satu meja dan kita sendirian. Lalu tiba-tiba dari arah berlawanan muncullah beberapa teman atau kenalan kita yang kebetulan mungkin baru saja datang atau sedang mencari meja. Dan mereka melihat kita. Tebak, apa pertanyaan pertama yang mereka lontarkan sesaat setelah (dengan tulus atau sekedar basa-basi) menyapa kita : “Kok sendirian?” atau “Sendirian aja nih?”
Well, jujur saya lumayan risih dengan pertanyaan semacam itu. Seakan-akan kesendirian adalah sebuah hal yang aneh yang patut dipertanyakan. Dan seakan harus diberi jawaban dan kemudian dipertimbangkan alasannya. Seakan ‘sendirian’ adalah sebuah penyakit yang harus didiagnosa. Oke, to the point, kadangkala dianggap sebagai suatu gejala keanehan atau bahkan kegilaan.
“Memang kenapa kalau saya memilih sendirian? Urusan andakah itu? Apakah saya terlihat aneh jika saya sendirian?” itu biasanya jawaban (lebih tepatnya pertanyaan balik) yang saya lontarkan ketika menghadapi pertanyaan semacam itu, dalam hati. Selebihnya mulut saya hanya melontarkan kata “Iya..” penuh senyum ramah. Lalu biasanya mereka akan membalasnya dengan “Oooh..” dibarengi dengan tatapan oh-so-kasihan-sekali-orang-ini-sendirian. Padahal saya nyaman-nyaman saja dan tidak sedikit pun merasa perlu dikasihani.
Bahkan terkadang kebanyakan orang melihat orang yang sendirian di beberapa kesempatan (atau bahkan sebenarnya hanya satu) langsung berasumsi atau kasarnya, menghakimi bahwa kesendirian adalah simbol dari kesepian, perasaan insecure alias tidak aman, tidak punya teman, unfriendly, tidak bisa bersosialisasi, atau bahkan itu tadi, stress alias gila. Tapi pernahkah kita berfikir bahwa ada orang yang saking hidupnya terlalu ‘ramai’ atau terlalu banyak orang yang get involved dalam hidupnya, sampai-sampai dia memerlukan waktu untuk sendirian saja alias leave me alone? Atau ada juga orang yang saking amannya, saking securenya dan saking mandirinya sampai berani kemana-mana sendiri dan bahkan menempati apartemennya sendirian?
Budaya yang berkembang di area ketimuran, yang salah satunya adalah negara kita, seringkali dapat kita rasakan sangat menjunjung tinggi yang namanya kehidupan sosial alias group oriented. Ada suatu cerita, ketika kakak sepupu saya baru saja melahirkan anak pertamanya. Banyak anggota keluarga dan kerabat yang berbondong-bondong menengok keponakan saya yang baru lahir tersebut. Seketika rumah kakak saya tersebut langsung penuh dengan tamu. Apa pasal? Jadi, para kerabat yang hadir menengok ini kebanyakan datang dengan membawa pasukan alias berrombongan. Jadi misalnya, Oom dan Tante R datang membawa 2 anak, 2 menantu berikut cucu-cucunya. Lalu ada lagi Bapak dan Ibu Y juga datang dengan 4 anak, 2 menantu dan cucu-cucunya yang masih kecil-kecil dan suka berlarian kesana-kemari. See? Baru 2 keluarga saja yang datang sudah seperti transmigrasi bedol desa. Belum lagi kerabat-kerabat yang datang dengan kerabat lainnya yang kebetulan rumahnya berdekatan, hingga penamaannya menjadi Rombongan + Nama Daerah. Misalnya Rombongan Cilacap, Rombongan Kebon Jeruk, Rombongan Kelurahan Sukamakmur, etc. Nah, bahkan saking ramainya, suasana menjadi tidak kondusif. Keponakan saya tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti yang diharapkan, tetapi seakan tenggelam di tengah-tengah hiruk pikuk orang-orang yang datang.
Kalau saya ada di posisi seorang anak yang sudah berumah tangga, punya suami dan anak-anak lalu tiba-tiba orangtua atau mertua saya mengajak untuk pergi bersama-sama menengok kerabat yang sedang sakit, habis melahirkan atau apapun itu, saya akan lebih memilih menolaknya dan berangkat berdua bersama suami saja atau kalau anak-anak sudah cukup besar dan tidak lagi rewel dan merepotkan, ya bersama anak-anak.
Saya tidak ingin datang, lalu dikenali oleh tuan rumah atau kerabat yang sedang sakit sebagai menantu Bapak dan Ibu X atau salah satu anggota Rombongan Jogja, misalnya. Hey, I don’t even have a name. I do really have a name to be mentioned and recognized, as well. Buat saya, apa artinya kemandirian setelah berumah tangga jika dalam hal-hal remeh temeh begini istilahnya kita masih nebeng dibawah mertua atau orangtua kita?
Lagipula, masa iya, menengok orang sakit saja kok musti keroyokan semacam mau perang begitu? Jika saya jadi yang sakit, alih-alih terhibur dengan kedatangan orang-orang yang peduli dengan saya, saya mungkin malahan akan stress jika didatangi pasukan perang macam itu. Kok rasa-rasanya seperti tidak tahu etika a.k.a kurang sopan kan ya? Kalau saya harus menengok orang sakit, terutama di rumah sakit, saya akan lebih memilih untuk datang berdua (atau bahkan sendiri), berjalan elegan sambil membawa parcel buah. Selain lebih elegan dan sopan, buat saya kesendirian dalam hal ini lebih menunjukkan kemandirian, rasa hormat dan juga ikatan emosional yang lebih mendalam dengan yang ditengok. Kenapa lebih mendalam? Karena orang yang saya tengok akan melihat saya sebagai saya sendiri, sebagai saya yang betul-betul peduli dengan keadaannya. Bukan berarti orang yang versi rombongan tadi tidak betul-betul peduli ya, tapi nggak salah juga kan kalau saya bilang saking ramainya situasi malah seringkali tujuan menengok tersebut jadi terlupakan dan tergantikan dengan acara yang seakan terasa seperti kumpul-kumpul. Tanyakan saja kepada orang-orang yang menengok keponakan saya tersebut. Berapa orang dari mereka yang betul-betul tau nama lengkap keponakan saya, arti namanya, kondisinya ketika dilahirkan, cerita dibalik kelahirannya, atau bahkan yang sudah mencoba menggendongnya atau at least melihat dengan jelas wajah keponakan saya? Lama-lama saya jadi kasihan sama keponakan saya yang seperti terabaikan di tengah orang-orang yang seolah peduli.
See? Belajar dari kasus tersebut, kesendirian bukan melulu sesuatu yang harus dikasihani atau bahkan diratapi. Dari cerita kelahiran keponakan saya diatas, saya justru belajar bahwa dalam beberapa kasus, kesendirian bisa dimaknai sebagai sesuatu yang lebih elegan dan lebih personal. Lebih mandiri, jelas iya.
Tapi permasalahannya, tidak semua orang memiliki keberanian atau kepercayaan diri untuk melakukan apa-apa sendiri, terutama hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas publik alias yang kita lakukan di depan umum. Misalnya, makan di rumah makan, kantin atau restoran, berpergian, jalan-jalan, bahkan belanja. Ada teman saya yang kelaparan nyaris seharian hanya gara-gara tidak ada teman yang bisa diajak makan siang. Ada juga teman kuliah saya, yang nyaris setiap kali di kampus dia ingin pergi ke toilet, minta ditemani. Pacar saya, walaupun kami berbeda kota, seringkali ketika dia ingin membeli sesuatu selalu meminta pendapat saya. Dan kalau saya ketiduran ketika dia sedang berbelanja dan butuh rekomendasi segera, sayalah yang akan merasa bersalah karena membiarkannya kebingungan. Sejenis dengan pacar saya, ada teman saya yang tidak bisa berbelanja kalau tidak ditemani. Pernah suatu ketika dia ingin membeli sesuatu, dia menunggu berhari-hari demi ada yang bisa menemani dan memilihkan. Lain lagi dengan teman saya yang tidak bisa pergi ke acara-acara undangan sendirian. Bahkan Ibu saya pun akan merasa sedih jika tidak ada yang menemaninya ke gereja.
Lagi-lagi, saya cuma bisa berkata, see? Hal-hal berlandaskan group oriented tersebut sudah merasuki bagian-bagian terkecil dari hidup kita. Saya tidak mengatakan hal tersebut sebagai sesuatu yang buruk, tetapi lebih kepada sesuatu yang sifatnya bergantung alias nggak flexible. Masa iya, saking kita terbiasanya ditemani, kita sampai membuat diri kita tidak bebas menentukan kapan kita akan makan, jalan-jalan atau berbelanja? Too much to be pity, dear.
Kalau saya ditanya, saya lebih condong ke gambar merah atau biru, saya akan menjawab dengan mantap : biru. Selain karena saya memang suka warna biru, pada kenyataannya gambar tersebutlah yang mencerminkan diri saya.
I do love to be alone. Being alone is something that easier for me. Independent, free dan tidak bergantung pada siapapun. Ketika orang lain merasa nothing ketika sendirian, saya justru terkadang merasa aneh jika ditemani. Saya menikmati berpergian sendiri, jalan-jalan sendiri dan bahkan ketika berbelanja pun saya tidak bisa ditemani orang lain. Pernah suatu ketika saya berencana ingin berbelanja sesuatu dan teman saya menawarkan diri untuk menemani. Karena dia memaksa dan sepertinya betul-betul ingin menemani saya, maka saya ijinkan dia ikut. Itupun karena saya tidak enak hati. Tapi apa yang terjadi kemudian? Saya justru bingung menentukan mana yang akan dibeli karena dia selalu mencoba mengusulkan ini dan itu (yang membuat saya bingung). Selain itu, parahnya lagi, setiap barang yang saya pilih selalu ada saja cacatnya di mata dia, dan, to be honest, I felt distracted. Sejak saat itu saya selalu memutuskan untuk berbelanja sendiri.
idak hanya berbelanja, dalam segala hal saya akan selalu mengambil keputusan sendiri. Entah, saya selalu merasa bebas, nyaman dan cepat jika tidak melibatkan orang lain. Jika saya terpaksa harus bekerja dalam tim pun saya akan dengan sukarela membagi-bagi tugas kepada semua anggota dan bekerja masing-masing lalu menyatukannya kembali setelah selesai. Parahnya lagi, ketika jam makan tiba, saya juga dengan ikhlas hati menunggu anggota keluarga yang lain selesai makan supaya saya bisa makan belakangan. Dan sendirian.
Kenapa begitu? Kalau ditanya kenapa, saya juga tidak tahu alasan pastinya. I just enjoy it, no matter what. Dan sifat saya ini seringkali membuat orang di sekitar saya bertanya-tanya atau bahkan jengkel. Jengkel karena mungkin dengan sifat saya yang individual ini, pembawaan saya jadi terlihat seperti orang yang egois dan bahkan sombong. To be honest, saya sangat nyaman dengan diri saya, tetapi saya juga tidak ingin sifat saya ini menjadi bad impression buat saya. Cuma ya itu tadi, saking individualnya saya, terkadang saya tidak peduli dan ambil pusing terhadap apa yang orang katakan. Satu hal yang saya pikirkan adalah, saya tidak salah, hanya saja saya berada di lingkungan yang didominasi oleh budaya sosial.
Do you even have a friend? Yes I do! I do make friendssss. Bukan berarti orang yang individual itu sebatangkara alias nggak bisa berteman ya.. Hanya saja mungkin tipe pertemanannya yang berbeda. Orang-orang yang individual ini, biasanya jumlah temannya lebih sedikit, tetapi ikatan personalnya lebih kuat.
Satu hal yang sebenarnya ingin saya katakan di sini adalah bahwa tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk between being social or individual. Klise, tapi memang benar segala hal pasti ada positif dan negatifnya. One important tips, don’t be too extreme. Saya bukanlah contoh yang baik untuk ini. I’m extremely individual. Saya seringkali merasa canggung dan sulit beradaptasi dengan orang-orang baru. Terkadang saya menyakiti hati orang lain yang peduli dengan saya dengan cara menolak mereka masuk dalam lingkaran kehidupan saya, walaupun saya tahu niat mereka baik. Saya pun masih dan selalu akan terus belajar untuk mengatasi ini.
But, hey, no matter social or individual, being yourself will be the best thing, I guess. Yes, trust me..
Bayangkan kita sedang ada di sebuah kafe atau perpustakaan umum, misalnya. Kita duduk di satu meja dan kita sendirian. Lalu tiba-tiba dari arah berlawanan muncullah beberapa teman atau kenalan kita yang kebetulan mungkin baru saja datang atau sedang mencari meja. Dan mereka melihat kita. Tebak, apa pertanyaan pertama yang mereka lontarkan sesaat setelah (dengan tulus atau sekedar basa-basi) menyapa kita : “Kok sendirian?” atau “Sendirian aja nih?”
Well, jujur saya lumayan risih dengan pertanyaan semacam itu. Seakan-akan kesendirian adalah sebuah hal yang aneh yang patut dipertanyakan. Dan seakan harus diberi jawaban dan kemudian dipertimbangkan alasannya. Seakan ‘sendirian’ adalah sebuah penyakit yang harus didiagnosa. Oke, to the point, kadangkala dianggap sebagai suatu gejala keanehan atau bahkan kegilaan.
“Memang kenapa kalau saya memilih sendirian? Urusan andakah itu? Apakah saya terlihat aneh jika saya sendirian?” itu biasanya jawaban (lebih tepatnya pertanyaan balik) yang saya lontarkan ketika menghadapi pertanyaan semacam itu, dalam hati. Selebihnya mulut saya hanya melontarkan kata “Iya..” penuh senyum ramah. Lalu biasanya mereka akan membalasnya dengan “Oooh..” dibarengi dengan tatapan oh-so-kasihan-sekali-orang-ini-sendirian. Padahal saya nyaman-nyaman saja dan tidak sedikit pun merasa perlu dikasihani.
Bahkan terkadang kebanyakan orang melihat orang yang sendirian di beberapa kesempatan (atau bahkan sebenarnya hanya satu) langsung berasumsi atau kasarnya, menghakimi bahwa kesendirian adalah simbol dari kesepian, perasaan insecure alias tidak aman, tidak punya teman, unfriendly, tidak bisa bersosialisasi, atau bahkan itu tadi, stress alias gila. Tapi pernahkah kita berfikir bahwa ada orang yang saking hidupnya terlalu ‘ramai’ atau terlalu banyak orang yang get involved dalam hidupnya, sampai-sampai dia memerlukan waktu untuk sendirian saja alias leave me alone? Atau ada juga orang yang saking amannya, saking securenya dan saking mandirinya sampai berani kemana-mana sendiri dan bahkan menempati apartemennya sendirian?
Budaya yang berkembang di area ketimuran, yang salah satunya adalah negara kita, seringkali dapat kita rasakan sangat menjunjung tinggi yang namanya kehidupan sosial alias group oriented. Ada suatu cerita, ketika kakak sepupu saya baru saja melahirkan anak pertamanya. Banyak anggota keluarga dan kerabat yang berbondong-bondong menengok keponakan saya yang baru lahir tersebut. Seketika rumah kakak saya tersebut langsung penuh dengan tamu. Apa pasal? Jadi, para kerabat yang hadir menengok ini kebanyakan datang dengan membawa pasukan alias berrombongan. Jadi misalnya, Oom dan Tante R datang membawa 2 anak, 2 menantu berikut cucu-cucunya. Lalu ada lagi Bapak dan Ibu Y juga datang dengan 4 anak, 2 menantu dan cucu-cucunya yang masih kecil-kecil dan suka berlarian kesana-kemari. See? Baru 2 keluarga saja yang datang sudah seperti transmigrasi bedol desa. Belum lagi kerabat-kerabat yang datang dengan kerabat lainnya yang kebetulan rumahnya berdekatan, hingga penamaannya menjadi Rombongan + Nama Daerah. Misalnya Rombongan Cilacap, Rombongan Kebon Jeruk, Rombongan Kelurahan Sukamakmur, etc. Nah, bahkan saking ramainya, suasana menjadi tidak kondusif. Keponakan saya tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti yang diharapkan, tetapi seakan tenggelam di tengah-tengah hiruk pikuk orang-orang yang datang.
Kalau saya ada di posisi seorang anak yang sudah berumah tangga, punya suami dan anak-anak lalu tiba-tiba orangtua atau mertua saya mengajak untuk pergi bersama-sama menengok kerabat yang sedang sakit, habis melahirkan atau apapun itu, saya akan lebih memilih menolaknya dan berangkat berdua bersama suami saja atau kalau anak-anak sudah cukup besar dan tidak lagi rewel dan merepotkan, ya bersama anak-anak.
Saya tidak ingin datang, lalu dikenali oleh tuan rumah atau kerabat yang sedang sakit sebagai menantu Bapak dan Ibu X atau salah satu anggota Rombongan Jogja, misalnya. Hey, I don’t even have a name. I do really have a name to be mentioned and recognized, as well. Buat saya, apa artinya kemandirian setelah berumah tangga jika dalam hal-hal remeh temeh begini istilahnya kita masih nebeng dibawah mertua atau orangtua kita?
Lagipula, masa iya, menengok orang sakit saja kok musti keroyokan semacam mau perang begitu? Jika saya jadi yang sakit, alih-alih terhibur dengan kedatangan orang-orang yang peduli dengan saya, saya mungkin malahan akan stress jika didatangi pasukan perang macam itu. Kok rasa-rasanya seperti tidak tahu etika a.k.a kurang sopan kan ya? Kalau saya harus menengok orang sakit, terutama di rumah sakit, saya akan lebih memilih untuk datang berdua (atau bahkan sendiri), berjalan elegan sambil membawa parcel buah. Selain lebih elegan dan sopan, buat saya kesendirian dalam hal ini lebih menunjukkan kemandirian, rasa hormat dan juga ikatan emosional yang lebih mendalam dengan yang ditengok. Kenapa lebih mendalam? Karena orang yang saya tengok akan melihat saya sebagai saya sendiri, sebagai saya yang betul-betul peduli dengan keadaannya. Bukan berarti orang yang versi rombongan tadi tidak betul-betul peduli ya, tapi nggak salah juga kan kalau saya bilang saking ramainya situasi malah seringkali tujuan menengok tersebut jadi terlupakan dan tergantikan dengan acara yang seakan terasa seperti kumpul-kumpul. Tanyakan saja kepada orang-orang yang menengok keponakan saya tersebut. Berapa orang dari mereka yang betul-betul tau nama lengkap keponakan saya, arti namanya, kondisinya ketika dilahirkan, cerita dibalik kelahirannya, atau bahkan yang sudah mencoba menggendongnya atau at least melihat dengan jelas wajah keponakan saya? Lama-lama saya jadi kasihan sama keponakan saya yang seperti terabaikan di tengah orang-orang yang seolah peduli.
See? Belajar dari kasus tersebut, kesendirian bukan melulu sesuatu yang harus dikasihani atau bahkan diratapi. Dari cerita kelahiran keponakan saya diatas, saya justru belajar bahwa dalam beberapa kasus, kesendirian bisa dimaknai sebagai sesuatu yang lebih elegan dan lebih personal. Lebih mandiri, jelas iya.
Tapi permasalahannya, tidak semua orang memiliki keberanian atau kepercayaan diri untuk melakukan apa-apa sendiri, terutama hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas publik alias yang kita lakukan di depan umum. Misalnya, makan di rumah makan, kantin atau restoran, berpergian, jalan-jalan, bahkan belanja. Ada teman saya yang kelaparan nyaris seharian hanya gara-gara tidak ada teman yang bisa diajak makan siang. Ada juga teman kuliah saya, yang nyaris setiap kali di kampus dia ingin pergi ke toilet, minta ditemani. Pacar saya, walaupun kami berbeda kota, seringkali ketika dia ingin membeli sesuatu selalu meminta pendapat saya. Dan kalau saya ketiduran ketika dia sedang berbelanja dan butuh rekomendasi segera, sayalah yang akan merasa bersalah karena membiarkannya kebingungan. Sejenis dengan pacar saya, ada teman saya yang tidak bisa berbelanja kalau tidak ditemani. Pernah suatu ketika dia ingin membeli sesuatu, dia menunggu berhari-hari demi ada yang bisa menemani dan memilihkan. Lain lagi dengan teman saya yang tidak bisa pergi ke acara-acara undangan sendirian. Bahkan Ibu saya pun akan merasa sedih jika tidak ada yang menemaninya ke gereja.
Lagi-lagi, saya cuma bisa berkata, see? Hal-hal berlandaskan group oriented tersebut sudah merasuki bagian-bagian terkecil dari hidup kita. Saya tidak mengatakan hal tersebut sebagai sesuatu yang buruk, tetapi lebih kepada sesuatu yang sifatnya bergantung alias nggak flexible. Masa iya, saking kita terbiasanya ditemani, kita sampai membuat diri kita tidak bebas menentukan kapan kita akan makan, jalan-jalan atau berbelanja? Too much to be pity, dear.
Kalau saya ditanya, saya lebih condong ke gambar merah atau biru, saya akan menjawab dengan mantap : biru. Selain karena saya memang suka warna biru, pada kenyataannya gambar tersebutlah yang mencerminkan diri saya.
I do love to be alone. Being alone is something that easier for me. Independent, free dan tidak bergantung pada siapapun. Ketika orang lain merasa nothing ketika sendirian, saya justru terkadang merasa aneh jika ditemani. Saya menikmati berpergian sendiri, jalan-jalan sendiri dan bahkan ketika berbelanja pun saya tidak bisa ditemani orang lain. Pernah suatu ketika saya berencana ingin berbelanja sesuatu dan teman saya menawarkan diri untuk menemani. Karena dia memaksa dan sepertinya betul-betul ingin menemani saya, maka saya ijinkan dia ikut. Itupun karena saya tidak enak hati. Tapi apa yang terjadi kemudian? Saya justru bingung menentukan mana yang akan dibeli karena dia selalu mencoba mengusulkan ini dan itu (yang membuat saya bingung). Selain itu, parahnya lagi, setiap barang yang saya pilih selalu ada saja cacatnya di mata dia, dan, to be honest, I felt distracted. Sejak saat itu saya selalu memutuskan untuk berbelanja sendiri.
idak hanya berbelanja, dalam segala hal saya akan selalu mengambil keputusan sendiri. Entah, saya selalu merasa bebas, nyaman dan cepat jika tidak melibatkan orang lain. Jika saya terpaksa harus bekerja dalam tim pun saya akan dengan sukarela membagi-bagi tugas kepada semua anggota dan bekerja masing-masing lalu menyatukannya kembali setelah selesai. Parahnya lagi, ketika jam makan tiba, saya juga dengan ikhlas hati menunggu anggota keluarga yang lain selesai makan supaya saya bisa makan belakangan. Dan sendirian.
Kenapa begitu? Kalau ditanya kenapa, saya juga tidak tahu alasan pastinya. I just enjoy it, no matter what. Dan sifat saya ini seringkali membuat orang di sekitar saya bertanya-tanya atau bahkan jengkel. Jengkel karena mungkin dengan sifat saya yang individual ini, pembawaan saya jadi terlihat seperti orang yang egois dan bahkan sombong. To be honest, saya sangat nyaman dengan diri saya, tetapi saya juga tidak ingin sifat saya ini menjadi bad impression buat saya. Cuma ya itu tadi, saking individualnya saya, terkadang saya tidak peduli dan ambil pusing terhadap apa yang orang katakan. Satu hal yang saya pikirkan adalah, saya tidak salah, hanya saja saya berada di lingkungan yang didominasi oleh budaya sosial.
Do you even have a friend? Yes I do! I do make friendssss. Bukan berarti orang yang individual itu sebatangkara alias nggak bisa berteman ya.. Hanya saja mungkin tipe pertemanannya yang berbeda. Orang-orang yang individual ini, biasanya jumlah temannya lebih sedikit, tetapi ikatan personalnya lebih kuat.
Satu hal yang sebenarnya ingin saya katakan di sini adalah bahwa tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk between being social or individual. Klise, tapi memang benar segala hal pasti ada positif dan negatifnya. One important tips, don’t be too extreme. Saya bukanlah contoh yang baik untuk ini. I’m extremely individual. Saya seringkali merasa canggung dan sulit beradaptasi dengan orang-orang baru. Terkadang saya menyakiti hati orang lain yang peduli dengan saya dengan cara menolak mereka masuk dalam lingkaran kehidupan saya, walaupun saya tahu niat mereka baik. Saya pun masih dan selalu akan terus belajar untuk mengatasi ini.
But, hey, no matter social or individual, being yourself will be the best thing, I guess. Yes, trust me..
No comments:
Post a Comment