Suatu pagi, saya dan ayah saya duduk di meja makan dan membicarakan soal undangan pernikahan. Bukan saya mau pesen undangan, bukan itu. Melainkan membicarakan seorang kerabat yang mengundang keluarga kami untuk datang ke pernikahan anaknya dengan cara yang tidak proper alias tidak pantas.
Jadi yang mau menikahkan anaknya ini adalah saudara jauh, bisa dibilang bukan satu darah karena berkerabat melalui hubungan ipar-iparan (tidak perlu saya sebutkan secara rinci). Sebut saja mereka ini pasangan Bapak dan Ibu Umar. Mereka tinggal berbeda kota dengan kami, tapi masih salam satu kawasan. Nah, putri mereka akan menikah dalam waktu dekat (pada saat itu) dan mereka bermaksud mengundang kami, nenek saya dan keluarga saya. Jadilah mereka mengantarkan 2 buah undangan ke rumah nenek saya. Undangan untuk orang tua saya, dititipkan di rumah nenek saya.
Kelihatannya biasa saja. Kelihatannya seperti tidak ada masalah. Tapi ayah dan ibu saya sudah keukeuh tidak mau hadir apalagi nyumbang. Masalahnya, mereka kok kayak nggak niat ngundang. Undangan kok dititipkan. Undangan itu, harusnya diantarkan langsung ke yang diundang. Kalau jauh atau repot, kirim via pos kan juga bisa. Lagian, sesungguhnya walaupun berbeda kota, kediaman Bapak dan Ibu Umar juga sesungguhnya tidak terlalu jauh. Mungkin sekitar 45 menit menggunakan kendaraan bermotor. Begitulah komentar ayah saya. Kelihatannya sepele, tapi fatal.
Ayah saya membandingkan dengan orang-orang di desa nenek saya (iya, nenek saya masih tinggal di desa) yang kalau mau mantu pasti datang berkunjung jauh-jauh ke rumah kami. Hal itu dikarenakan mereka tidak mampu atau tidak memiliki kebiasaan mencetak undangan. Walau begitu, mereka tetap menghormati kami selaku tamu undangan. Datang jauh-jauh dan biasanya membawa buah tangan. Padahal rumah nenek saya itu lumayan jauh, bisa 30 menit naik motor. Bukan buah tangannya yang dipentingkan, tapi unggah-ungguh dan sopan santunnya, serta usaha untuk menghormati kami. Kalaupun mereka tidak punya ongkos untuk pergi ke rumah kami, pasti mereka menelepon secara pribadi.
Sedangkan Keluarga Umar ini bisa dikatakan keluarga yang berada dan tinggal di perkotaan. Kok bisa ya, kalah sopan sama orang desa? Kok bisa ya, nggak punya etika? Mendadak saya kepikiran, apa ya komentar ayah saya tentang trend mengirim undangan pernikahan lewat Facebook atau bahkan sekedar lewat SMS atau BBM?
Saya teringat seorang kenalan, sebut saja Joe. Joe ini orang Jawa tapi lahir dan besar di Jakarta. Suatu ketika, dia bercerita bahwa dia akan menghadiri pernikahan temannya. Sembari dia bercerita, saya tau kalau ternyata dia hanya diundang lewat BBM. Biarpun begitu, dia tetap datang. Ngamplop pula. Saya katakan berkali-kali kalau dia sedang diperlakukan secara tidak sopan. Ngundang kok nggak niat, begitu kata saya, berkali-kali. Belakangan, dia bercerita kalau mertua temannya ini bersyukur, amplop yang didapat nyaris mencapai biaya yang dikeluarkan untuk resepsi. Yaiyalah, nyetak undangan aja enggak, udah gitu yang diundang dengan tidak proper ini pada ngamplop pula, ngundang kok nggak modal, batin saya gondok. Kuat beli BB kok nggak tau sopan santun. Duh.
Masih soal Joe, belum lama ini mantan teman kuliahnya menikah. Sebut saja mereka Abdul dan Ijah. Abdul dan Ijah ini mengirim undangan lewat Facebook. Jangan bayangkan mereka scan undangan mereka lalu ditag ke teman-teman mereka. Cara yang mereka lakukan jauh lebih tidak sopan dari cara yang saya sebut barusan, yang sebetulnya sudah masuk kategori tidak pantas. Mereka kirim undangan lewat message FB, di grup pula, yang artinya bukan person per person tapi massal. Duh. Saya liatnya aja mual lhooo.
Mereka nulis “Dengan tanpa mengurangi rasa hormat...” Beuh. Cara kalian ngundang aja udah nggak ada rasa hormat sama sekali. Apa coba yang mau dikurangi? Padahal saya tau kalau Abdul dan Ijah nih bukan dari kalangan kelas ekonomi bawah. Nyetak undangan aja kok nggak mampu. Padahal ada lho, undangan yang per eksemplar nggak sampai Rp. 5000,00. FYI, tukang becak dekat rumah saya ketika mengkhitankan anaknya saja mencetak undangan lho. Itu khitanan lho, bukan pernikahan.
Sudah begitu, di undangan message FB mereka, hanya tertulis tempat dan waktu resepsi. Betul-betul mirip undangan arisan warga di RT saya. Bahkan, undangan pernikahan mereka kalah oke.
Selain Abdul dan Ijah, trend undangan pernikahan melalui Facebook juga marak dilakukan oleh pasangan-pasangan pengantin abad ini. Biasanya mereka meng-upload hasil scan kartu undangan mereka atau foto pre-wedding mereka dan menge-tag-nya ke teman-teman atau kerabat yang akan diundang. Bukan apa-apa, cara yang terlihat simpel dan praktis ini sesungguhnya sangat tak pantas dilakukan. Walaupun kita hidup di jaman teknologi yang segalanya serba mudah, bukan berarti sah-sah saja untuk mengabaikan etika dan sopan santun.
Kartu undangan sesungguhnya bukan hanya berperan sebagai announcer atau pengingat bagi tamu undangan mengenai lokasi dan waktu dilaksanakannya pernikahan. Lebih dari itu, undangan pernikahan sesungguhnya adalah bagian dari etika dan sopan santun pergaulan. Dengan mengirimkan undangan secara khusus bagi seseorang, itu artinya kita menghormati betul tamu undangan kita. Kita memberikan undangan khusus hanya untuk yang kita tuju. Bukan main asal tag atau membuat message massal ala Abdul dan Ijah. Bagi saya, memberikan undangan pernikahan secara khusus menunjukkan bahwa kita juga memperlakukan tamu undangan kita secara khusus dan tidak sembarangan. Istilah Jawa-nya nguwongke, atau memperlakukan orang lain secara miyayi.
Bukan berarti jika ada kartu undangan lalu masalah langsung beres. Ada cerita dari kerabat saya, Tante Elsa yang suatu ketika gondok abis dan curhat dengan saya tentang undangan pernikahan. Jadi, saudara dari kakak iparnya Tante Elsa, sebut saja Tante Dewi, akan menikahkan anaknya. Tante Dewi lalu menelepon Tante Elsa dan meminta kesediannya untuk hadir di resepsi pernikahan keponakannya tersebut. Lalu, Tante Elsa menanyakan perihal undangan pernikahannya. Serta merta Tante Dewi nyeletuk dengan enteng kalau undangan Tante Elsa jadi satu dengan Tante Dira. Tante Dira ini adalah adik dari Tante Elsa.
Tante Elsa merasa tersinggung dan ngomel-ngomel (tidak di depan Tante Dewi tentunya), kira-kira begini omelannya : “Masa iya satu undangan kok buat dua keluarga. Emangnya tante ini anak kecil? Enak aja. Lagian yang mantu itu siapa, sodara juga bukan. Kalo bukan karena Tante Dewi nikah sama pakdemu itu, ya nggak akan sodaraan sama yang mantu. Lagian kalau emang jatah undangan nggak cukup, ngapain ngundang-undang? Mau minta sumbangan? Nggak, nggak akan tante dateng ke sana, sakit hati tante. Jadi orang kok nggak sopan...”. Begitulah kira-kira kekesalan hati Tante Elsa. Saya mengerti, dan saya setuju dengan apa yang dikatakan Tante Elsa. Undangan kok dibagi dua, kesannya seperti nggak menghargai atau nguwongke (menganggap keberadaan) Tante Elsa.
Ada lagi cerita dari Joe, tentang kebiasaan alumni-alumni di kampusnya (salah satu kampus ternama di Indonesia boo), yang jika menikah hanya memberikan masing-masing 1 eksemplar undangan kepada tiap-tiap ketua angkatan. Jadi, mereka mengundang anak seangkatan untuk hadir, tetapi hanya bermodalkan 1 undangan saja. Jadi dengan modal 1 undangan, bisa mendapatkan belasan amplop. Jika saya adalah bagian dari angkatan yang diundang, saya akan memilih tidak hadir, karena rasa-rasanya kok tidak ada ikatan personal dengan yang mengundang. Jadi nggak berasa diundang gitu.
Fenomena trend undangan pernikahan dengan cara-cara yang unik dan bin ajaib ini telah menyadarkan kita betapa etika, sopan santun dan tata krama yang sesungguhnya sangat penting dalam kehidupan kita seringkali terabaikan dan menjadi sesuatu yang biasa saja. Perlakuan kita yang terkadang kurang proper terhadap orang lain terasa sangat biasa. Sebaliknya, ketika kita diperlakukan dengan tidak pantas oleh orang lain, kita diam saja.
Ketika saya bertanya kepada Joe, yang sering mendapatkan undangan pernikahan dengan cara-cara yang ajaib, bagaimana perasaannya mengenai hal ini, jawabannya adalah : dilema. Di satu sisi Joe sesungguhnya tau bahwa cara-cara seperti itu sungguh tidak sopan. Tapi di sisi lain Joe merasa tidak enak hati, karena toh yang menikah adalah teman bahkan sahabatnya sendiri. Akhirnya Joe memilih untuk tidak ambil pusing dan menganggap hal itu biasa-biasa saja.
Tapi, bukan berarti jaman sekarang undangan pernikahan serba ngawur. Masih banyak kok, pasangan-pasangan pengantin yang sopan dan tau bagaimana cara memperlakukan tamu undangannya dengan pantas. Teman-teman ibu saya, yang sebagian dari kalangan akademisi, sungguh sangat sopan jika mengundang kerabat atau koleganya ke acara pernikahan anaknya. Sedekat apapun hubungannya, undangan selalu dikirim ke rumah atau minimal ke ruang kerja ibu saya. Walaupun ibu saya panitia pernikahan, tetap saja undangan tidak boleh terlupa.
Bukan hanya itu, undangan yang dikirimkan pun cantik-cantik dan bagus-bagus. Saya nyaris tidak pernah melihat ada yang memberikan undangan yang harganya seribuan. Undangannya biasanya hardcover, ada emboss inisial pengantinnya, ada foto pre-weddingnya, bahkan saya pernah menemukan undangan yang covernya berlapiskan beludru dan ada lempengan peraknya. Undangan yang diberikan pun biasanya lengkap dari bidston, siraman, pemberkatan/ijab sampai resepsi. Bahkan ada yang dilengkapi dengan kartu pengganti buku tamu dan bahkan kartu parkir. Sungguh, mereka sangat tahu bagaimana caranya membuat tamu undangan merasa tersanjung.
Hal ini berlawanan dengan komentar seorang teman saya (yang saya sungguh lupa siapa namanya). Dia pernah berkomentar, buat apa undangan mahal-mahal, toh hanya disebarkan ke orang-orang. Duh, gitu amat ya. Bukan berarti kita harus menghamburkan budget untuk undangan, tapi kalau memang ada budgetnya, kenapa juga kita masih mencetak undangan asal-asalan? Toh itu kan bagian dari menyenangkan tamu undangan, apa salahnya? Namanya juga jadi raja dan ratu sehari, kalau begitu tamunya pasti kerabat kerajaan juga kan?
Yah, urusan undangan ini memang nggak bisa dipandang sebelah mata. Lebih dari sekedar memberi tahu orang-orang, undangan merupakan bagian dari etika dan sopan santun kita sebagai yang punya acara.