Thursday, January 30, 2014

Undangan Pernikahan (Bukan Sekedar Undangan)

Suatu pagi, saya dan ayah saya duduk di meja makan dan membicarakan soal undangan pernikahan. Bukan saya mau pesen undangan, bukan itu. Melainkan membicarakan seorang kerabat yang mengundang keluarga kami untuk datang ke pernikahan anaknya dengan cara yang tidak proper alias tidak pantas. 

Jadi yang mau menikahkan anaknya ini adalah saudara jauh, bisa dibilang bukan satu darah karena berkerabat melalui hubungan ipar-iparan (tidak perlu saya sebutkan secara rinci). Sebut saja mereka ini pasangan Bapak dan Ibu Umar. Mereka tinggal berbeda kota dengan kami, tapi masih salam satu kawasan. Nah, putri mereka akan menikah dalam waktu dekat (pada saat itu) dan mereka bermaksud mengundang kami, nenek saya dan keluarga saya. Jadilah mereka mengantarkan 2 buah undangan ke rumah nenek saya. Undangan untuk orang tua saya, dititipkan di rumah nenek saya. 

Kelihatannya biasa saja. Kelihatannya seperti tidak ada masalah. Tapi ayah dan ibu saya sudah keukeuh tidak mau hadir apalagi nyumbang. Masalahnya, mereka kok kayak nggak niat ngundang. Undangan kok dititipkan. Undangan itu, harusnya diantarkan langsung ke yang diundang. Kalau jauh atau repot, kirim via pos kan juga bisa. Lagian, sesungguhnya walaupun berbeda kota, kediaman Bapak dan Ibu Umar juga sesungguhnya tidak terlalu jauh. Mungkin sekitar 45 menit menggunakan kendaraan bermotor. Begitulah komentar ayah saya. Kelihatannya sepele, tapi fatal. 

Ayah saya membandingkan dengan orang-orang di desa nenek saya (iya, nenek saya masih tinggal di desa) yang kalau mau mantu pasti datang berkunjung jauh-jauh ke rumah kami. Hal itu dikarenakan mereka tidak mampu atau tidak memiliki kebiasaan mencetak undangan. Walau begitu, mereka tetap menghormati kami selaku tamu undangan. Datang jauh-jauh dan biasanya membawa buah tangan. Padahal rumah nenek saya itu lumayan jauh, bisa 30 menit naik motor. Bukan buah tangannya yang dipentingkan, tapi unggah-ungguh dan sopan santunnya, serta usaha untuk menghormati kami. Kalaupun mereka tidak punya ongkos untuk pergi ke rumah kami, pasti mereka menelepon secara pribadi. 

Sedangkan Keluarga Umar ini bisa dikatakan keluarga yang berada dan tinggal di perkotaan. Kok bisa ya, kalah sopan sama orang desa? Kok bisa ya, nggak punya etika? Mendadak saya kepikiran, apa ya komentar ayah saya tentang trend mengirim undangan pernikahan lewat Facebook atau bahkan sekedar lewat SMS atau BBM? 

Saya teringat seorang kenalan, sebut saja Joe. Joe ini orang Jawa tapi lahir dan besar di Jakarta. Suatu ketika, dia bercerita bahwa dia akan menghadiri pernikahan temannya. Sembari dia bercerita, saya tau kalau ternyata dia hanya diundang lewat BBM. Biarpun begitu, dia tetap datang. Ngamplop pula. Saya katakan berkali-kali kalau dia sedang diperlakukan secara tidak sopan. Ngundang kok nggak niat, begitu kata saya, berkali-kali. Belakangan, dia bercerita kalau mertua temannya ini bersyukur, amplop yang didapat nyaris mencapai biaya yang dikeluarkan untuk resepsi. Yaiyalah, nyetak undangan aja enggak, udah gitu yang diundang dengan tidak proper ini pada ngamplop pula, ngundang kok nggak modal, batin saya gondok. Kuat beli BB kok nggak tau sopan santun. Duh. 

Masih soal Joe, belum lama ini mantan teman kuliahnya menikah. Sebut saja mereka Abdul dan Ijah. Abdul dan Ijah ini mengirim undangan lewat Facebook. Jangan bayangkan mereka scan undangan mereka lalu ditag ke teman-teman mereka. Cara yang mereka lakukan jauh lebih tidak sopan dari cara yang saya sebut barusan, yang sebetulnya sudah masuk kategori tidak pantas. Mereka kirim undangan lewat message FB, di grup pula, yang artinya bukan person per person tapi massal. Duh. Saya liatnya aja mual lhooo. 

Mereka nulis “Dengan tanpa mengurangi rasa hormat...” Beuh. Cara kalian ngundang aja udah nggak ada rasa hormat sama sekali. Apa coba yang mau dikurangi? Padahal saya tau kalau Abdul dan Ijah nih bukan dari kalangan kelas ekonomi bawah. Nyetak undangan aja kok nggak mampu. Padahal ada lho, undangan yang per eksemplar nggak sampai Rp. 5000,00. FYI, tukang becak dekat rumah saya ketika mengkhitankan anaknya saja mencetak undangan lho. Itu khitanan lho, bukan pernikahan. 

Sudah begitu, di undangan message FB mereka, hanya tertulis tempat dan waktu resepsi. Betul-betul mirip undangan arisan warga di RT saya. Bahkan, undangan pernikahan mereka kalah oke. 

Selain Abdul dan Ijah, trend undangan pernikahan melalui Facebook juga marak dilakukan oleh pasangan-pasangan pengantin abad ini. Biasanya mereka meng-upload hasil scan kartu undangan mereka atau foto pre-wedding mereka dan menge-tag-nya ke teman-teman atau kerabat yang akan diundang. Bukan apa-apa, cara yang terlihat simpel dan praktis ini sesungguhnya sangat tak pantas dilakukan. Walaupun kita hidup di jaman teknologi yang segalanya serba mudah, bukan berarti sah-sah saja untuk mengabaikan etika dan sopan santun. 

Kartu undangan sesungguhnya bukan hanya berperan sebagai announcer atau pengingat bagi tamu undangan mengenai lokasi dan waktu dilaksanakannya pernikahan. Lebih dari itu, undangan pernikahan sesungguhnya adalah bagian dari etika dan sopan santun pergaulan. Dengan mengirimkan undangan secara khusus bagi seseorang, itu artinya kita menghormati betul tamu undangan kita. Kita memberikan undangan khusus hanya untuk yang kita tuju. Bukan main asal tag atau membuat message massal ala Abdul dan Ijah. Bagi saya, memberikan undangan pernikahan secara khusus menunjukkan bahwa kita juga memperlakukan tamu undangan kita secara khusus dan tidak sembarangan. Istilah Jawa-nya nguwongke, atau memperlakukan orang lain secara miyayi. 

Bukan berarti jika ada kartu undangan lalu masalah langsung beres. Ada cerita dari kerabat saya, Tante Elsa yang suatu ketika gondok abis dan curhat dengan saya tentang undangan pernikahan. Jadi, saudara dari kakak iparnya Tante Elsa, sebut saja Tante Dewi, akan menikahkan anaknya. Tante Dewi lalu menelepon Tante Elsa dan meminta kesediannya untuk hadir di resepsi pernikahan keponakannya tersebut. Lalu, Tante Elsa menanyakan perihal undangan pernikahannya. Serta merta Tante Dewi nyeletuk dengan enteng kalau undangan Tante Elsa jadi satu dengan Tante Dira. Tante Dira ini adalah adik dari Tante Elsa. 

Tante Elsa merasa tersinggung dan ngomel-ngomel (tidak di depan Tante Dewi tentunya), kira-kira begini omelannya : “Masa iya satu undangan kok buat dua keluarga. Emangnya tante ini anak kecil? Enak aja. Lagian yang mantu itu siapa, sodara juga bukan. Kalo bukan karena Tante Dewi nikah sama pakdemu itu, ya nggak akan sodaraan sama yang mantu. Lagian kalau emang jatah undangan nggak cukup, ngapain ngundang-undang? Mau minta sumbangan? Nggak, nggak akan tante dateng ke sana, sakit hati tante. Jadi orang kok nggak sopan...”. Begitulah kira-kira kekesalan hati Tante Elsa. Saya mengerti, dan saya setuju dengan apa yang dikatakan Tante Elsa. Undangan kok dibagi dua, kesannya seperti nggak menghargai atau nguwongke (menganggap keberadaan) Tante Elsa. 

Ada lagi cerita dari Joe, tentang kebiasaan alumni-alumni di kampusnya (salah satu kampus ternama di Indonesia boo), yang jika menikah hanya memberikan masing-masing 1 eksemplar undangan kepada tiap-tiap ketua angkatan. Jadi, mereka mengundang anak seangkatan untuk hadir, tetapi hanya bermodalkan 1 undangan saja. Jadi dengan modal 1 undangan, bisa mendapatkan belasan amplop. Jika saya adalah bagian dari angkatan yang diundang, saya akan memilih tidak hadir, karena rasa-rasanya kok tidak ada ikatan personal dengan yang mengundang. Jadi nggak berasa diundang gitu. 

Fenomena trend undangan pernikahan dengan cara-cara yang unik dan bin ajaib ini telah menyadarkan kita betapa etika, sopan santun dan tata krama yang sesungguhnya sangat penting dalam kehidupan kita seringkali terabaikan dan menjadi sesuatu yang biasa saja. Perlakuan kita yang terkadang kurang proper terhadap orang lain terasa sangat biasa. Sebaliknya, ketika kita diperlakukan dengan tidak pantas oleh orang lain, kita diam saja. 

Ketika saya bertanya kepada Joe, yang sering mendapatkan undangan pernikahan dengan cara-cara yang ajaib, bagaimana perasaannya mengenai hal ini, jawabannya adalah : dilema. Di satu sisi Joe sesungguhnya tau bahwa cara-cara seperti itu sungguh tidak sopan. Tapi di sisi lain Joe merasa tidak enak hati, karena toh yang menikah adalah teman bahkan sahabatnya sendiri. Akhirnya Joe memilih untuk tidak ambil pusing dan menganggap hal itu biasa-biasa saja. 

Tapi, bukan berarti jaman sekarang undangan pernikahan serba ngawur. Masih banyak kok, pasangan-pasangan pengantin yang sopan dan tau bagaimana cara memperlakukan tamu undangannya dengan pantas. Teman-teman ibu saya, yang sebagian dari kalangan akademisi, sungguh sangat sopan jika mengundang kerabat atau koleganya ke acara pernikahan anaknya. Sedekat apapun hubungannya, undangan selalu dikirim ke rumah atau minimal ke ruang kerja ibu saya. Walaupun ibu saya panitia pernikahan, tetap saja undangan tidak boleh terlupa. 

Bukan hanya itu, undangan yang dikirimkan pun cantik-cantik dan bagus-bagus. Saya nyaris tidak pernah melihat ada yang memberikan undangan yang harganya seribuan. Undangannya biasanya hardcover, ada emboss inisial pengantinnya, ada foto pre-weddingnya, bahkan saya pernah menemukan undangan yang covernya berlapiskan beludru dan ada lempengan peraknya. Undangan yang diberikan pun biasanya lengkap dari bidston, siraman, pemberkatan/ijab sampai resepsi. Bahkan ada yang dilengkapi dengan kartu pengganti buku tamu dan bahkan kartu parkir. Sungguh, mereka sangat tahu bagaimana caranya membuat tamu undangan merasa tersanjung. 

Hal ini berlawanan dengan komentar seorang teman saya (yang saya sungguh lupa siapa namanya). Dia pernah berkomentar, buat apa undangan mahal-mahal, toh hanya disebarkan ke orang-orang. Duh, gitu amat ya. Bukan berarti kita harus menghamburkan budget untuk undangan, tapi kalau memang ada budgetnya, kenapa juga kita masih mencetak undangan asal-asalan? Toh itu kan bagian dari menyenangkan tamu undangan, apa salahnya? Namanya juga jadi raja dan ratu sehari, kalau begitu tamunya pasti kerabat kerajaan juga kan? 

Yah, urusan undangan ini memang nggak bisa dipandang sebelah mata. Lebih dari sekedar memberi tahu orang-orang, undangan merupakan bagian dari etika dan sopan santun kita sebagai yang punya acara.

SATC Season 1 Episode 3 : Bay of Married Pigs

Siapa sih yang tidak ingin menikah? 
Jangan harap kita mendengar pepatah seperti itu dari geng SATC kecuali Charlotte. 
Di mata 3 perempuan single macam Carrie, Miranda dan Samantha, pernikahan bukanlah sebuah keharusan dalam hidup. Pernikahan adalah pilihan dan bukan sebuah tujuan. Dan, mereka bertiga bisa dikatakan ‘not marrying kind’.

Bisa gitu ya? Saya rasa kalau di Indonesia masih jarang nih yang begini. Saya yakin menikah masih ada dalam daftar impian setiap gadis di Indonesia (termasuk saya). Tapi saya setuju-setuju saja dengan mereka. Kalau memang tidak ingin menikah, kenapa tidak? Walaupun resikonya mungkin dicap anak durhaka, atau bahkan dianggap lesbian seperti Miranda, toh kalau memang itu yang kita inginkan, gimana? Daripada menikah karena terpaksa atau hanya demi pencitraan kan ya..

Poin yang paling saya suka dari episode ini adalah keberanian geng SATC untuk menjadi single. Jarang lho, ada orang yang berani menetapkan pilihan hidupnya sendiri yang bisa dibilang beresiko. 

Ya, single memang banyak resikonya. Apalagi jika sudah berada pada area usia 30-an. Resiko terbesar adalah ‘dimusuhi’ oleh pasangan-pasangan yang sudah menikah. Really? Yes. Gimana sih, rasanya jadi wanita single, cantik dan berkeliaran diantara pasangan-pasangan yang sudah menikah? Pasti akan mengundang rasa cemburu dan dicurigai oleh para istri.

Selain dimusuhi para married couples, status single juga kadang membuat seseorang sulit diterima di kelas sosial tertentu. Seperti yang dialami Miranda. Atasan Miranda di sebuah firma hukum, dan juga istrinya, hanya memberikan promosi jabatan kepada anak buahnya yang sering diundang dinner dan makan-makan di rumahnya. Istilahnya, orang-orang yang bisa diundang seperti itu sudah masuk ‘social link’nya si bos dan istrinya. Untuk bisa diundang dinner, masing-masing anak buah harus membawa pasangan masing-masing. Any couple, lesbian boleh, gay juga oke. Akhirnya Miranda memutuskan untuk berpura-pura menjadi lesbian, hanya supaya kariernya selama ini di firma hukum tersebut ‘dilihat’ oleh bosnya. Oh.

Selain sulit memasuki kelas sosial tertentu, hal yang lebih parah dialami oleh Carrie. Suatu ketika, Carrie bertemu dengan teman prianya yang baru saja menikah dengan seorang gay. Teman Carrie dan partnernya ini berencana untuk memiliki anak. Mereka sudah mendapatkan surrogate mothernya, tapi belum mendapatkan sel telurnya. Ketika mereka mengetahui bahwa Carrie single dan tidak berencana untuk menikah, langsunglah mereka menawarkan Carrie untuk mendonorkan sel telur buat mereka. Carrie kaget dong, apa iya being single itu sama dengan menjadi egg farm?

Yah begitulah, tapi walaupun beresiko, menjalani hidup seperti apa yang kita inginkan, tanpa harus mengikuti stereotype yang beredar di masyarakat luas, adalah hal yang paling nyaman yang pernah ada. Nggak ada yang bisa membeli jati diri otentik dan kemerdekaan. Really. Ada satu quote yang saya suka dari episode ini. Sebenernya nggak ada hubungannya sama tema yang diangkat, hanya saja saya suka kata-kata Carrie Bradshaw ketika ditanya mengenai siapa pria yang sedang PDKT dengannya.

He’s just somebody I’m trying on..” Itulah enaknya jadi single, bisa try sana-sini, hahaha...

SATC Season 1 Episode 2 : Models and Mortals

Model itu identik dengan cantik. Karena memang model-model itu biasanya cantik-cantik. Kalo nggak cantik, nggak bisa jadi model. Dan model-model cantik itu pasti akan jadi pembicaraan paling hot di kalangan wanita-wanita ordinary yang pada akhirnya pasti akan sirik (hahahaha).

Ketika Miranda mengetahui bahwa Nick, pria yang sedang dikencaninya, ternyata dulunya sering ngedate sama model-model, paniklah dia. Apalagi setelah mengetahui bahwa Nick diultimatum sama keluarganya untuk nggak lagi lagi bawa pacar model ke rumah karena mereka berpikir kalo model itu nggak asik buat diajak ngobrol. Maka Miranda berpikir bahwa dia cuma jadi ‘intelectual bread’ selingannya Nick. Oh.

Apalagi, Nick ini bukan hanya pernah mengencani model. Tapi dia selalu sama model. Pria macem ini nih, kalo menurut SATC, namanya modelizers.

Pernahkah kalian berpikir sama seperti Miranda? I did. Suatu ketika, saya sedang dekat dengan seorang pria tampan yang naga-naganya bakal jadi pacar saya. Dalam masa PDKT itulah saya banyak-banyak mencari tau tentang dia lewat media sosial, karena saya takut ada hal yang terlewatkan atau disembunyikan. Maklum, masa-masa PDKT itu sama aja kaya masa-masa pencitraan. Dari situlah saya tau kalau dia punya mantan seorang model kece nan cantik banget. Walaupun hanya model tingkat lokal, tapi saya mengakui kalau dia cantik, fashionable dan oke punya. Cantiknya itu, bener-bener ala-ala model asli, putih, tinggi, langsing, rambut hitam panjang belah tengah, pake behel, dan keliatan banget kalo baju-bajunya branded. Sungguh sempurna.

Mendadak saya keder. Setiap kali saya inget kalo si doi punya mantan model, rasanya seperti diri saya ini meaningless. Saya takut jangan-jangan dia deketin saya karena dia sekarang rabun atau hopeless ditinggalin si model. Saya takut jangan-jangan saya bakal cuma dijadiin pelarian sampai si model ngajak dia balikan lagi.

Mendadak wajah cantik si model itu membayangi romantisnya masa-masa PDKT, kapanpun dan dimanapun. Walaupun si model itu mantannya, masa lalunya, bagi saya tetep si model itu saingan saya. Saingan itu maksudnya, saya berusaha lebih oke dari si model. Supaya terlihat kalau selera si doi itu nggak menurun. Jadi, tetep aja saya merasa harus diperbandingkan dengan si model itu.

Dan diperbandingkan (lebih tepatnya membanding-bandingkan diri sendiri) dengan model itu membuat diri sendiri merasa nothing (*hanya berlaku untuk cewek biasa dengan kecantikan rata-rata). Mendadak saya merasa kurang langsing. Tiba-tiba jerawat yang tadinya invisible, jadi kelihatan segede kacang polong. Kulit kuning saya mendadak terlihat seperti tahu bacem. Pokoknya model itu diciptakan untuk membuat gadis-gadis biasa merasa tersaingi dan tidak cantik. Betul?

Model seolah-olah sudah menjadi parameter alias standar kecantikan bagi setiap wanita. Pokoknya, namanya cantik itu ya kaya model, tinggi-putih-langsing.

Standards of beauty. Istilah ini sebetulnya cukup melukai harga diri wanita. Emangnya wanita apaan, kok dikasih standar segala? Apakah kita ini benda yang bisa diukur? Nah. Apalagi, kalo ngomongin standar yang putih-tinggi-langsing itu tadi kan nyaris semuanya given alias bawaan lahir. Bisa sih kita mengusahakan diri kita jadi putih, tapi ya kalo udah terlahir item gimana? Bukan berarti nggak cantik kan?

Bicara soal beauty, bisa dikatakan bahwa dalam issue ini, issue tentang model ini, beauty menjadi sebuah ‘kekuatan’ tersendiri bagi kaum wanita. Kekuatan yang dimaksud itu bisa macem-macem. Bisa jadi merupakan kekuatan untuk merasa lebih unggul dari wanita yang lainnya atau kekuatan untuk terlihat lebih ‘visible’ di mata lawan jenis. Bisa jadi kecantikan juga membawa ‘kekuatan’ bagi karier seseorang. Atau sebagai contoh kecil, kecantikan bisa membuat seseorang lebih dihargai dan diterima dalam kelas sosial tertentu.

Bodoh, nggak smart atau bahkan nggak punya otak menjadi sangkalan dari predikat cantik. Orang yang cantik, sering dikatakan bodoh, nggak intelek dan lain sebagainya. Kenapa? Ya itu tadi, karena kebanyakan orang cantik nggak perlu susah-susah bekerja keras menggunakan akal mereka untuk mendapatkan apa yang mereka mau. Hanya bermodalkan wajah rupawan, segalanya jadi beres. Sedikit banyak, saya setuju sih, toh contohnya banyak, apalagi artis-artis jaman sekarang. Walaupun mereka menyangkal, terbukti dengan trend berkomentar di infotainment behwa cantik itu smart, tetep aja mereka kalah dengan stigma yang terlanjur mendarah daging di masyarakat kita.

Apakah cantik itu segalanya? NO WAY. Lagi-lagi Mr. Big nongol di akhir cerita. Ceritanya, Carrie bertemu dengan Big di sebuah acara fashion show. Saat itu Carrie sedang sendrian, ditinggalkan oleh Samantha yang mengincar calon teman kencannya yang seorang modelizers. Tiba-tiba Big muncul dengan menggandeng teman kencannya, seorang model bernama Misha. Keesokan harinya, ketika Big menemui Carrie di kedai kopi, Carrie menanyakan kepada Big apa rasanya mengencani seorang model. Jawabannya?
See? :)

Thursday, January 16, 2014

Kelas Karawitan Tercinta

Seumur hidup saya nggak pernah sukses belajar musik. Mungkin otak kanan saya ini macet atau apa, tapi yang jelas, dari main seruling sampe kursus gitar klasik pun saya nggak pernah sukses. Tapi kelas karawitan mengubah segalanya.

Semester 3 kemarin, setiap mahasiswa FIB diwajibkan mengambil mata kuliah SBI alias Seni Budaya Indonesia. Kelas SBI ini terbagi menjadi 3, yaitu batik, tari dan karawitan. Setiap mahasiswa berhak memilih mau ambil kelas yang mana. Berhubung saya nggak bakat membatik dan badan saya kaku-kaku kalau disuruh nari, maka saya mengambil kelas karawitan.

Saya nggak punya harapan apa-apa sama kelas karawitan. Saya nggak membayangkan saya akan jago main gamelan atau apa. Yang jelas harapan saya cuma mau lulus aja.

Pada awalnya saya malahan mau revisi segala. Pasalnya, saya terdampar di kelas jurusan lain dan saya nggak kenal siapapun di kelas itu. Saya takut nggak betah karena nggak punya temen. Tapi ternyata, penghuni kelas tersebut anaknya baik-baik dan menyenangkan. Jadilah saya betah sampai akhir semester. Kebaikan hati dan keramahan anak-anak di kelas tersebut adalah awal yang baik buat saya.

Pertemuan-pertemuan awal, saya sudah dapat predikat : trouble maker. Saya dan seorang anak di kelas itu, namanya Dina, sering banget bikin kesalahan. Namanya juga karawitan, mainnya berkelompok, nggak bisa sendiri-sendiri. Jadi kalau ada satu orang saja yang bikin kesalahan, pasti dosen akan meminta permainan diulangi dari awal. Saya dan Dina termasuk anak yang sering banget bikin kesalahan, di tengah-tengah anak-anak yang mulai jago main gamelan. Berawal dari gong keramat di pojok ruangan, saya sama Dina terdampar di kekeliruan-kekeliruan instrumen-instrumen comlplicated lainnya macem kempul, kenong, kendang dan bonang.

Tapi anehnya, saya nggak merasa rendah diri. Bukan saya muka badak alias nggak tau malu, bukan. Yang membuat saya tetap enjoy di tengah predikat trouble maker adalah dosen yang nggak pernah marah. Dosen kami, Pak Joko Suwito, malah menjadikan kami-kami yang trouble maker ini bahan bercandaan. Bukan ngeledekin, tapi lebih ke arah bikin suasana jadi santai karena biasanya yang sering salah-salah itu nggak rileks nabuh gamelannya. Bahkan Pak Joko ini pernah bilang : “Nek salah, ngguyuo wae. Ojo spaneng,” –kalau salah (nabuhnya), ketawalah saja, jangan tegang.



Lama-kelamaan, saya jadi suka karawitan. Ketika mulai mempelajari lancaran Suwe Ora Jamu, saya mulai merasakan adanya chemistry antara saya dan irama lagu tersebut. Saya mulai mengerti kalau kuncinya nabuh gamelan itu adalah rasa, perasaan kita sendiri. Kalau kita bisa merasakan alunan iramanya, bisa merasakan temponya, bisa merasakan bebunyian dari instrumen lain yang dimainkan teman kita, pasti kita bisa menabuh dengan benar. Lama-kelamaan saya jadi tau nikmatnya bermain gamelan.
*Saya yang pake baju pink di tengah

Bukan berarti saya jadi jago, bukan. At least, saya nggak lagi jadi trouble maker. Nama saya jadi jarang disebut tiap akhir permainan. Walaupun begitu, saya tetep jadi mahasiswa yang biasa-biasa saja. Maksudnya, walaupun ada peningkatan yang cukup siginifikan dalam diri saya, teman-teman saya yang lain sudah banyak yang jauuuhhhh lebih jago dari saya. Bagi saya, saya bisa menikmati menabuh gamelan, dengan latar belakang pengalaman saya yang nol besar dan setelah berminggu-minggu mendapat predikat trouble maker, sudah merupakan suatu hadiah terindah buat saya.

Tapi bukan berarti setelah itu perjalanan saya di kelas karawitan mulus-mulus saja bak jalan tol. Saya ingat, saya juga pernah nyaris menangis karena seharian saya salah terus. Dari mulai kendhang, bonang, saron, demung, peking, gong, kempul, kenong, kethuk saya salah semua. Ada saja salahnya. Entah salah mukul, salah baca kode, mukulnya kekencengan, sampai salah cara duduknya. Seharian nama saya disebut terus sama Pak Joko. Bahkan sampai beliau sepertinya gemes sama saya. Dulu aja, jaman saya masih trouble maker, kesalahan saya nggak segitunya. Sampai akhirnya mata saya mulai merah saking jengkelnya. Jengkel sama apa, saya nggak tau. Pokoknya saya mulai berkaca-kaca. Sampai akhirnya, seorang teman di kelas itu yang bernama Yusuf alias Ucup, ngepukpukin saya sambil bilang “Udah, nggak usah nangis.. Jangan sedih, pasti nanti bisa kok”. Seketika saya malah pengen nangis, terharu maksudnya.

Walau ada kejadian begitu, saya tetap menikmati berkarawitan ria. Setiap minggunya, saya selalu menunggu-nunggu hadirnya hari Jumat. Jumat siang jam 1 di Margono 405, kelas Karawitan O yang isinya mostly anak Sastra Arab dan sebagian Pariwisata (saya satu-satunya anak Antropologi). Bagi saya, kelas karawitan adalah kelas yang paling ‘segar’ di tengah-tengah kelas-kelas yang lain, yang mostly cuma duduk dan dengerin dosen ceramah. Saya bahkan nggak pernah bolos karawitan. Pernah sih, sekali ketika pacar saya datang ke Jogja. Tapi bandingkan dengan mata kuliah lain di UGM, yang saya biasa bolos (baca : titip absen) 5 sampai 7 kali berhubung jadwal kuliah dobel saya yang ampun-ampunan. Dan saya biasanya paling males kalo harus berangkat kuliah siang-siang dari Sadhar ke UGM. Giliran kelas karawitan, saya rajin luar biasa.

Gara-gara kelas karawitanpun, saya jadi suka lagu campursari. Sungguh. Saya sampe download mp3 lagu Gugur Gunung. Gara-gara kelas karawitan juga, saya akhirnya menonton pertunjukkan Ramayana untuk pertama kalinya dalam hidup saya. Saya baru tau kalau ternyata pertunjukkan Ramayana itu luar biasa bagusnya. Saya jadi suka nyanyi lagu-lagu Jawa, juga karena di kelas karawitan diajarin nyinden. Pernah suatu ketika, sambil mandi saya nyanyi Suwe Ora Jamu. Saya juga pernah beberapa kali mampir ke gelanggang mahasiswa karena saya ngidam lihat orang main gamelan. Waktu itu hari Selasa, jadwalnya UKM UKJGS latihan karawitan. Berhubung saya pengen denger suara gamelan dan hari Jumat itu masih lama, saya bela-belain mampir ke gelanggang.

Ujian akhir semester karawitan menjadi saat-saat yang paling sentimentil buat saya. Saya mendadak tersadar kalau hari itu, 3 Januari 2014 akan menjadi saat-saat terakhir saya menabuh gamelan. Rasanya saya pengen nangis, tapi kalah sama perasaan grogi saya.

Saya berhasil melewati ujian tersebut dengan cukup baik (menurut saya, hehehe) di setiap instrumen. Bahkan hari itu saya dengan lancarnya memainkan kendhang, yang selama ini menjadi momok saya. Saya nggak pernah lancar main kendhang. Tapi hari itu, saya berbicara sama kendhang dalam hati, penuh haru, “Kendhang, hari ini hari terakhir kita, please, yang akur ya sama aku..” Dan saya berhasil.
*Foto setelah ujian, bersama kelas yang akan sangat saya rindukan. Saya pake baju kuning.

Belum ada sebulan saya berpisah dengan kelas karawitan, saya sudah kangen berat. Kangen sama gamelannya, kangen sama anak-anak kelasnya yang ramah-ramah dan baik sama saya. Saya kangen lempengan-lempengan logam berselimutkan kain biru. Saya kangen tabuh-tabuhnya yang warnanya merah dan beberapa sering copot. Saya kangen... semuanya.

Kalau saya ditanya, alat musik apa yang bisa saya mainkan saya akan menjawab, saya pernah belajar karawitan, saya bisa memainkan instrumen-instrumennya dan karawitan adalah satu-satunya seni musik yang saya bisa mainkan sekaligus saya nikmati.

Wednesday, January 8, 2014

SATC Season 1 Episode 1 : Sex and the City

Episode pertama di season pertama ini diberi judul sama dengan serial TVnya, Sex and the City. Episode ini seperti memperkenalkan pada kita karakter-karakter yang terlibat dan yang paling penting, konsep dunia percintaan ala-ala New York dan kaitan antara Sex dan City (kota). FYI, serial ini berlatarkan akhir 90’an di New York.

Hubungan percintaan dalam serial ini digambarkan sebagai sesuatu yang ‘uninnocence’ yang artinya bukan sesuatu yang ‘tanpa dosa’ atau pure. Bukan selayaknya konsep kenal-pacaran-menikah, tapi lebih kepada sesuatu yang sifatnya tidak pasti. Sesuatu yang bebas dan tidak terikat. Sesuatu yang ‘just for fun’. Memang ada, dan banyak, pasangan-pasangan yang menikah. Tapi saya rasa, di serial ini akan banyak lebih diekspos orang-orang yang mengalami ‘uninnocencerelationship itu tadi.

Di perkenalan awal serial ini, saya rasa sudah ada satu pesan tersirat yang disampaikan Carrie Bradshaw, tokoh utama yang memiliki sebuah kolom mingguan di koran, yang berjudul Sex and the City. Intinya, protect yourself dan jangan terlalu libatkan perasaan dalam sebuah hubungan. Apa saja bisa terjadi dalam sebuah hubungan tersebut, termasuk kemungkinan untuk tidak berjalan kemanapun.

Ada satu frasa yang terngiang-ngiang di kepala saya setelah menonton episode ini, yaitu ‘having sex like a man’ atau bisa diterjemahkan ‘(perempuan yang) berhubungan seks seperti laki-laki’.

Bukan berarti ada seorang perempuan yang lesbian, berganti kelamin atau kata Charlotte ‘... with a dildo’, tetapi seorang perempuan yang memiliki kekuasaan, kepuasan dan posisi yang sama dengan laki-laki ketika, dalam hal ini, having sex.

Hal ini diutarakan Samantha, ketika merayakan ulang tahun Miranda di sebuah bar. 


Perkataan Samantha pada dialog di atas menyiratkan bahwa selama ini pria menjadikan wanita sebagai objek seksual mereka instead of partner seksual. Maka, bagi Samantha, ‘having sex like a man’ berarti memperlakukan partner seks kita sebagai objek kepuasan semata. Is that true?

Carrie kemudian bertemu dengan Kurt Harrington, pria yang pernah menjadi kekasihnya selama 3 kali, dan 3 kali pula kisah cinta mereka berakhir dengan menyakitkan. Di mata Carrie, Kurt adalah sosok yang egois dan tak berperasaan. Singkat cerita, in the name of reserach, Carrie membuat janji untuk menemui Kurt di apartemennya, walaupun sahabat Carrie, Stanford Blatch sudah melarangnya.

Akhirnya, Carrie dan Kurt bertemu di apartemen Kurt dan, as you’ve guessed, they had sex. Tetapi, Carrie hanya menjadikan Kurt sebagai ‘pemuas’nya semata. Ketika Kurt menagih ‘giliran’nya, Carrie segera berpakaian dan meninggalkan Kurt dengan dalih “I should get back to work,”

Carrie merasa berhasil menjalankan misinya untuk tahu seperti apa rasanya ‘having sex like a man’. Dan ternyata rasanya...



Ternyata, bukan hanya kepuasan saja yang didapatkan oleh Carrie, melainkan juga kekuasaan. Dalam hal ini mungkin kekuasaan untuk memperlakukan Kurt sebagai objek seksualnya, in general. Atau mungkin kekuasaan yang didapatkannya setelah ‘membalas dendam pada Kurt yang berkali-kali menyakitinya, kalau kita melihat ini sebagai masalah pribadi.

Issue yang diangkat, dalam hal ini ‘having sex like a man’ atau presepsi para wanita mengenai predikat dan stereotype seorang pria dalam berhubungan seks sesungguhnya merupakan cap buruk bagi para pria. Tetapi, hal itu nyata-nyatanya memang ada. Entah sesungguhnya memang ada, atau hanya ada di pikiran para wanita. Yang jelas, menurut common sense yang ada, atau at least dalam episode ini, pria having sex hanya demi kepuasan sesaat semata dan tanpa adanya komitmen dengan partner seksualnya. Jangankan komitmen, perasaan ataupun kesadaran untuk memperlakukan wanita sebagai subjek instead of objek saja tidak ada.

Apakah 2 kalimat tersebut terlalu judgemental? Apakah semua pria sejahat itu?

Malamnya, Carrie, Samantha dan Miranda menghadiri pembukaan sebuah klub malam bernama Chaos, sementara Charlotte having a date bersama Capote Duncan. Di klub tersebut, secara tidak sengaja Carrie bertemu dengan Kurt. Alih-alih complain, Kurt malah memuji Carrie dengan berkata bahwa ia senang bahwa Carrie sekarang mengerti apa yang ia inginkan, yaitu having sex without commitment.




Carrie jelas merasa aneh dengan perkataan Kurt. Carrie berpikir apakah semua pria di dunia ini seperti Kurt, mendambakan sebuah kehidupan promisuitas tanpa adanya tanggung jawab, komitmen atau ikatan?



Dugaan Carrie terpatahkan ketika bertemu dengan seorang pria tampan (dan seksi) bernama Mr. Big (namanya memang disamarkan dan di akhir season 6 baru akan dimunculkan). Carrie pertamakali bertemu Mr. Big ketika keluar dari apartemen Kurt dan Big membantunya mengambil barang-barang Carrie yang tidak sengaja terjatuh. Lalu keduanya bertemu lagi di Chaos dan Big menawari Carrie tumpangan untuk pulang.

Ketika Carrie menceritakan research untuk tulisannya yang bercerita tentang ‘having sex like a man’, Big menyangkalnya. Bagi Big, dia bukanlah tipe seperti itu karena menurutnya, orang yang mempercayai bahwa having sex tanpa perasaan adalah sesuatu yang menyenangkan apalagi memberikan kepuasan adalah orang yang tidak pernah jatuh cinta. Nah!



Saya suka cara serial ini menguak issuehaving sex like a man’. Dalam cerita ini, tidak hanya dimunculkan pria brengsek seperti Kurt, tetapi juga a kind of sweet guy seperti Mr. Big. Ingat saat Big digoda Samantha untuk ‘mencoba’ private room di Chaos? Caranya menolak sungguh classy dan mencerminkan bahwa ia adalah sungguh-sungguh pria baik-baik. Selain itu, ‘having sex like a man’ bukan lagi menjadi milik kaum pria, tetapi kaum wanita juga. Samantha dan Miranda, dua wanita yang tidak lagi percaya romance dan berkata “Let’s not even go there” pada sebuah komitmen. Walapun ada kata ‘man’ dalam frasa ‘having sex like a man’, bukan berarti wanita tidak terlibat sama sekali. Itu berarti, frasa tersebut bukan untuk menyerang pria, tetapi untuk menggambarkan sebuah fenomena secara tepat sesuai dengan stereotypenya.


Ada bagian yang secara personal saya suka, yaitu,


Ketika Big menanyai pekerjaan Carrie sesungguhnya, Carrie menjawab bahwa ia adalah seorang ‘sexual anthropologist’. Saya sebagai mahasiswi antroplogi merasa sangat tersanjung, tokoh fiksi yang paling saya kagumi, seorang Carrie Bradshaw ternyata adalah (atau lebih tepatnya menganggap dirinya) antropolog. Great! Berarti saya juga bisa seperti Carrie, hahahaha.


But, saya akui itu benar. Dalam serial ini, di episode-episode selanjutnya kita akan menemukan Carrie berkutat dengan eksplorasinya mengenai fenomena-fenomena yang berkaitan dengan cinta, relationship dan perempuan. Seperti halnya antropolog, Carrie tidak hanya menganggap hal-hal tersebut sebagai sesuatu yang biasa, tetapi sebagai sesuatu yang bisa dikupas tuntas dalam ‘penelitian’ dan ‘karya ilmiah’nya yang dalam hal ini kolom Sex and the Citynya. Gara-gara Carrie, saya bangga jadi mahasiswi antropologi, hahaha :D