Friday, November 13, 2015

Persiapan KKN 2014: Hari Keberangkatan

Kalau kemarin aku udah cerita gimana riweuhnya belanja KKN, kali ini aku mau cerita soal hari keberangkatan menuju pondokan KKN tercinta.

Soal packing... Waktu itu aku packingnya standar banget-nget. Ya pokoknya apa yang bisa aku angkut, angkut aja...

Pagi itu, Sabtu 20 Desember 2014, semua anak yang ikut KKN wajib ikut semacam upacara pelepasan dari kampus di Realino. Di jadwalnya tertulis semua anak harus siap jam 06.30 dan kalo enggak, bakal kena sanksi sekelompok. Kesimpulannya? JANGAN PERCAYA GAES. Logikanya sih, masa iya sekian ratus anak dengan segala bawaannya bisa siap jam 06.30 pagi? Dan kenyataannya upacaranya molor sampai jam 9. Dan nggak ada sanksi apapun buat yang dateng sekitaran jam 7 atau jam 8. Termasuk aku. Padahal sehari sebelumnya saking takutnya kena sanksi, aku sama temen-temen sekelompokku janjian mau datang jam 6 pagi. Janji itu tinggal kenangan...

Soal pengangkutan barang, kebetulan kampus menyediakan 2 buah truk, 1 truk untuk 1 desa, dan setiap anak boleh menaruh barangnya di truk tersebut. Oh iya balik lagi ke packing (yee... ujung ujungnya ngomongin masalah packing juga kan ya), aku saranin buat kalian untuk melabeli setiap tas, barang besar atau kontainer yang mau kalian masukin ke truk dengan nama, nomor HP, nomor kelompok, prodi dan lokasi dusun kalian. Gunanya? Ya bayangin aja, barang-barang ratusan anak tumplek brek di 1 truk. Bayangin aja. Belum nanti bongkarnya gimana. Pasti banyak yang tercecer atau ketuker atau parahnya nyasar ke desa tetangga.

Barang aku yang aku masukkin di truk adalah 1 kasur, 1 tas baju, 1 ember isinya logistik dan 1 tas isinya perintilan. Untuk magic com, aku titipin ke mobil mamanya temen sekelompokku, Oksa, yang dengan baik hatinya merelakan mobilnya dipakai untuk mengangkut barang-barang yang penting dan riskan kalau dimasukkan ke truk. Sedangkan untuk tas pribadi yang berisi barang penting dan sekiranya selalu dibutuhkan, aku bawa sendiri naik motor.

Soal angkut mengangkut barang, ada yang mau aku ceritain. Jadi kan dari rumah, karena aku berniat mau bawa motor ke lokasi KKN, barang-barang aku titipkan ke bapakku yang nyetir mobil sementara aku naik motor ke kampus. Entah gimana ceritanya, di kampus aku ga bisa menemukan mobil bapakku karena buanyak banget orang. Aku celingak-celinguk kesana kemari panik nyari bapakku karena barang-barang udah mulai diangkutin ke truk. Akhirnya aku nemu bapakku, jalan ke arahku dengan santainya. Pas aku tanya barang-barangku di mana, bapakku dengan santainya bilang kalau semuanya udah diangkut Alex, kormadusku (ketua kelompokku). Kemudian aku melayangkan pandangan ke arah truk. Orang yang ngangkutin barang-barang ke atas truk itu ternyata emang Alex, yang saking keringetannya kupikir adalah mas-mas yang punya truk. Kemudian bapakku dengan santainya nyeletuk, "Kayaknya karena Alex tadi tak suruh ngangkutin barang-barangmu, terus semua orang jadi nyuruh-nyuruh dia. Eh akhirnya dia ngangkutin semua barang..." Astaga. Aku cuma bisa menatap kormadusku yang berubah wujud jadi kuli panggul di atas truk dari kejauhan 

-semoga Alex ga baca blog ini-

Akhirnya setelah pengangkutan barang ke dalam truk kelar, dimulailah upacara pelepasan. Nggak ada yang menarik sih, yang paling menarik cuma pas nerbangin balon, udah itu aja. Kelompokku komplit sih ikut semua, kecuali Alex. Dia tepar di pinggir lapangan. Bentukannya udah nggak beda sama mas-mas gondes yang suka nyambi jadi kuli bangunan. Sadar itu kesalahan bapakku, akupun berinisiatif nawarin dia minum. Dia nolak sambil bingung sambil masang muka mikir. Mungkin dia mikir kenapa aku mendadak baik. Yah, semoga kamu nggak akan tau sampai akhir hayat ya.

Akhirnya keberangkatan di mulai. Aku bawa motor, tapi waktu itu belum berani naik motor jauh-jauh banget. Akhirnya aku minta tolong Ojan, temen sekelompokku buat naikin motorku dan aku tinggal bonceng aja. Ojan ini anaknya kurus, rambutnya kribo macam Edi Brokoli gitu. Ini pertama kalinya aku naik motor jauh banget dibonceng sama Ojan. Sempat terbersit kekhawatiran nanti sampai lokasi rambutku jadi kribo dan rambut Ojan jadi bob. Ga paham? Ya sudahlah...

Oh iya, kelak pas KKN, Ojan ini bakal merangkap jadi tukang ojekku lho. Tukang ojek terbaik hati sedunia #penting

Perjalanan sih lancar-lancar aja Puji Tuhan, walau sempat nyasar dikit. Soal gimana akhirnya kami tiba di desa Tegalrejo, tunggu cerita selanjutnya aja ya...



See you!
deapurie

Thursday, November 12, 2015

Doyan Belanja = Banyak Uang?

Hell no!

Siapa sinih yang suka bilang kalau orang yang doyan belanja itu punya banyak uang? Mau saya kelitikin pakai silet nih.

Ya jelas uangnya sedikit lah, lha kan uangnya sudah menjelma jadi barang-barang yang dibeli... Hehehe.

Enggak sih, bukan itu maksud saya. Orang yang doyan belanja macem menantu pejabat, atau artis papan atas, atau yang sekali dibooking short time 80 Juta itu ya pasti banyak duitnya. Nggak diragukan lagi lah berapa banyak pundi-pundi uang yang mereka tukar ke setiap butik dengan baju rancangan designer ternama.

Tapi ada juga lho, yang doyan belanja tapi budgetnya minim. Contohnya? Ya saya ini. #nggakusahjauhjauh

Saya doyan banget belanja. Banget. Tapi doyan di sini bukan dalam arti dikit-dikit ke butik atau beli tas Hermes atau jajan berlian atau inden mobil sport ya. Saya doyan belanja dalam arti saya menikmati setiap proses belanja yang saya lakukan. Dan percayalah, menikmati seluruh proses belanja yang dilakukan itu nggak makan banyak uang.

Karena saya nggak berlimpah harta, maka saya harus puter-puter otak kalau pengen beli sesuatu. Puter otak yang gimana?
  • Cari barang bagus dengan harga murah.
  • Kalau bisa beli yang nggak bermerk, beli yang nggak bermerk yang penting awet. Atau beli yang nggak awet tapi murah banget kemudian diperbaiki sendiri.
  • Cari barang bermerk, atau nggak juga nggak papa, yang diskon!


Cari barang bagus dengan harga murah - Ini sih nggak terlalu susah. Belanja make up misalnya. Produk lokal dengan kualitas bagus juga banyak kok, dibanding dengan make up impor yang kalau dollar naik sedikit aja harganya langsung naik gila-gilaan. Yang terpenting kita harus pintar-pintar cari review make up lokal lewat Blog atau Youtube biar kita tau kualitasnya. Kalau doyan belanja baju atau apapun online, coba cari yang satu kota dan bisa COD (Cash on Delivery), kan lumayan ngirit ongkir. Kalau bisa, belanja langsung di suppliernya, jangan di resellernya. Kan lumayan, barangnya sama, harganya jauh lebih murah. Jadi kalau nemu barang bagus di IG misalnya, saya pasti langsung nyari barang setipe, dengan hashtag yang sama biasanya, yang harganya paling murah dan terpercaya. Biasanya, si supplier ini malah lebih ngetop daripada resellernya. Kalau suka belanja langsung, carilah kawasan yang terkenal menjual barang tertentu. Misal, mau beli kain ya Jalan Solo, mau beli aksesoris ya Jalan Malioboro. Biasanya akan ada banyak toko atau pedagang di sana dan otomatis harganya juga pasti bersaing.

Kalau bisa beli yang nggak bermerk, beli yang nggak bermerk yang penting awet. Atau beli yang nggak awet tapi murah banget kemudian diperbaiki sendiri - Ini sering banget saya lakukan kalau lagi belanja tas atau sepatu. Tas dan sepatu, saya cuma punya masing-masing 1 atau 2 yang bermerk. Gunanya, sebagai 'investasi' kalau sewaktu-waktu menghadiri acara penting dan harus berpenampilan pantas. Sisanya? kalau cuma buat kuliah sama jalan-jalan aja sih saya biasa cari yang murah, yang penting nyaman buat saya. Tas nyaman, ya kalau buat saya sih yang penting warnanya kalem dan muat banyak barang. Sepatu atau sendal yang nyaman itu selain warnanya kalau saya sih cuma persoalan enak dipakai jalan atau enggak. Pernah ada sendal yang muraaaahh banget. Modelnya suka, warnanya oke, dipakai jalan agak ganjel dikit dan kelihatannya nggak awet. Dibeli nggak? Beli dong. Tapi setelahnya saya bawa ke tukang reparasi sepatu. Nambah ongkos 15 ribu sih, tapi jadi awet banget dan nyaman banget dipakai. Yang penting, kalau dibandingin sama sendal di mall, selisihnya lebih dari 15 ribu. Jauh.

Cari barang bermerk, atau nggak juga nggak papa, yang diskon! - Kalau nge-list riwayat dan daftar barang yang saya beli waktu diskon, 1 halaman folio yang buat ujian itu kayanya nggak akan muat. Saya pernah dapet selimut bulu 35 ribu aja, blus The Executive 50 ribu aja, jam dinding kece 8 ribu aja, ransel gede lucu 70 ribu aja, dll. Kuncinya? Rajinlah cari diskon. Selimut bulu murah itu saya dapat karena saya nelusur jalan Solo dengan berjalan kaki dan nemu toko nyempil yang jual selimut murah banget, kalau naik motor pasti nggak akan nemu. Blus The Executive itu saya nemu karena saya memberanikan diri nanya ke mbak SPG nya walau saya pertamanya keder karena The Executive itu biasanya mahal. Jam dinding itu sisa ekspor nggak laku, padahal udah saya pakai setahunan ini dan awet punya. Ransel itu saya dapet karena saya follow situs belanja yang terkenal sering ngasih diskon di media sosial. Jadi intinya, kalau mau dapet info soal diskon-diskon, janganlah malas mencari. Apalagi sekarang media sosial makin booming. Manfaatkanlah. Kalau misalnya nemu barang diskon dan diskonnya memang hanya pada saat itu, saya nggak pernah bilang "Ah lagi nggak butuh, nggak usah beli deh..." Biasanya kalau saya bisa beli, ya saya beli aja. Bukannya boros. Tapi itu investasi, biar nanti kalau saya pas butuh, barangnya sudah ada dan nggak usah rempong nyari kesana-kemari, dan biasanya kalau lagi butuh kemudian baru nyari, kecenderungannya adalah berapapun harganya akan dibeli. Malah makin boros kan? Jadi saya ini termasuk kaum yang percaya pada pernyataan "Mumpung diskon". Selain diskon-diskon dadakan yang saya ceritakan tadi, catatlah jadwal diskon tertentu yang selalu ada di saat-saat tertentu. Misalnya, swalayan Mirota Kampus tiap Jumat ada diskon make up 25%, Gramedia tiap awal atau akhir tahun biasanya ada cuci gudang, dll. Kalau ada merchant atau toko yang sering saya kunjungi tiba-tiba menawarkan pembuatan kartu member yang berbuah promo diskon atau menghasilkan poin yang menguntungkan, biasanya saya sih bikin juga.




Apakah ada yang merasa belanja itu ribet setelah baca cerita barusan? Buat saya sih enggak, karena saya merasakan kepuasan batin membeli sesuatu dengan harga terbaik yang bisa saya dapatkan, walau dengan ribet dan susah payah dan kadang capek juga sih. Tapi kalau kamu bisa menikmati semua proses belanja itu dan merasakan kepuasan batin setelahnya, selamat! Kamu layak mendapatkan predikat sebagai si doyan belanja :)



deapurie

Persiapan KKN 2014: Riweuhnya Belanja

Tahun 2015 sudah mendekati penghujungnya. Biasalah, kalau udah mau akhir tahun gini bawaannya biasanya pada suka flashback ke kejadian setahun belakangan ini.

Oh, cuma saya aja? Yaudah ngga papa.

Berawal dari cerita-cerita adek angkatan soal pendaftaran KKN tahun ini... Saya menjadi terkenang akan persiapan KKN saya sendiri tahun lalu :)

KKN di Universitas Sanata Dharma dilaksanakan setahun dua kali, biasanya di bulan Juli-Agustus atau Desember-Januari. Kebanyakan mahasiswa lebih memilih periode Desember-Januari karena nggak nabrak jadwal kuliah. Dan saya pun ikut arus memilih periode kedua.

Bulan November, mulai disibukkan dengan urusan pembayaran dan perdaftaran. Proses ini mau saya skip aja. Nggak berkesan soalnya.

Setelah pendaftaran... Terbitlah pengumuman maha penting yang kelak menjadi topik pembicaraan setiap insan yang mau KKN selama 2 minggu setelahnya: Pembagian kelompok dan lokasi.

Puji Tuhan saya dapet kelompok 2, Dusun Tengklik, Desa Tegalrejo, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunung Kidul. Rumornya, dan memang faktanya, makin kecil nomor kelompoknya, lokasinya makin 'di bawah' yang artinya saya nggak perlu khawatir masalah lokasi yang naik gunung dll. Oke, lokasi skip. Mari kita bahas pembagian kelompoknya.

Pembagian kelompok ini ditentukan kampus, dengan jumlah anggota 10 sampai 11 orang, mewakili tiap prodi yang ada secara proporsional. Yang bikin heboh, waktu itu saya sama temen-temen deket saya cewek-cewek rumpi dan rempong langsung studi banding. Apa aja yang distudi-in? Ooh banyak. Secara, di pengumuman itu terpampang pas foto masing-masing anak. Jadi ya mulailah kami menelusur dan meneliti ada yang ganteng enggak, ada yang mukanya jutek enggak, ada yang dari mukanya keliatan manja atau enggak, mana yang potensi cinlok dan lain sebagainya. Waktu itu temen saya, Maya, nyeletuk. "Eh ini ada yang ganteng di kelompokmu. Anak Sexen tapi cool gitu, aku pernah ketemu dia bla bla bla..." Tetapi saya ngerasa dia biasa aja. Jadilah sampai hari pembekalan tiba, 2 minggu kemudian, kami selalu berdebat perkara dia ganteng atau nggak.

Oke, nggak penting ya? Hahahaha.

Nah, yang paling pengen saya bahas di sini adalah soal... BELANJA PERSIAPAN KKN.

Pada waktu itu, saya nggak ada rencana mau belanja apa dan lain sebagainya. Pokoknya apa yang saya rasa butuh dan perlu dibeli, ya saya beli aja.

Ternyata setelah saya flashback ke masa genting ketika saya riweuh belanja buat persiapan KKN, saya rasa saya bisa membagi kegiatan belanja saya menjadi 2 kategori, yaitu... Belanja Penting dan Belanja Nggak Penting.

1. Belanja Penting

Belanja Penting yang dimaksud adalah belanja keperluan yang memang diperlukan waktu KKN. Pada waktu itu, kelompok saya kebetulan ditempatkan di sebuah rumah kosong yang penghuninya lagi merantau ke Jakarta dan hampir kesemua perabotannya dibawa pindahan.Otomatis, kami harus bawa perabotan sendiri seperti alat masak, perlengkapan tidur, dan lain-lainnya. Apa aja barang penting yang saya beli? Oh iya, yang saya beli di sini adalah barang yang nggak ada di rumah ya, kalau yang ada di rumah mah saya main angkut aja.
  • Kasur, karena di rumah saya emang nggak ada kasur lipat atau kasur apapun yang bisa dibawa kemana-mana.
  • Kabel extension. Ini maha penting saudara-saudara. Bayangkan. 1 rumah akan dihuni 10 orang. Dari 10 orang itu pasti ada lah yang HP nya lebih dari 1. Belum tablet, belum laptop, belum magic jar, belum water heater, belum TV lalala. Saya rasa sih, walau ada temen yang bawa, kita masing-masing tetep harus punya sendiri.
  • Sandal jepit. Waktu itu sih karena punya saya udah licin bawahnya.
  • Sepatu karet. Ini juga penting kalau hujan.
  • Logistik. Logistik yang saya beli waktu itu meliputi peralatan mandi pribadi, peralatan mencuci pribadi dan makanan cadangan pribadi. Walau ada dana kelompok, tetaplah membeli semuanya secara pribadi. Biar jelas ini punya siapa, milik siapa, mau dipakai kapan. Lagian kan enak nanti menggunakannya, nggak ada perasaan risih, sungkan atau rikuh. Yang dibeli secara berkelompok sebaiknya makanan  semacam beras, telur, dll. Oh iya, untuk peralatan mandi, yang biasa pakai sabun batang, beralihlah ke sabun cair botolan, karena jelas lebih praktis. Pakai shampoo dan detergen atau pewangi pakaian sachet sekali pakai juga lebih praktis.
  • Keranjang lipat bentuk jaring. Itu lho, keranjang yang biasanya harganya 12 ribuan yang bisa ditekuk jadi bentuk lingkaran. Anak kosan pasti paham deh. Berguna banget buat tempat barang-barang pribadi kita atau tempat pakaian kotor.
  • Jepitan jemuran. Pastikan kita punya hanger atau jepitan jemuran yang khas biar jemuran kita nggak ketuker sama jemuran anak lain.
Kayanya sih cuma itu yang saya beli... Sisanya sih ambil dari rumah aja. 

2. Belanja Nggak Penting

Belanja nggak penting ini adalah sesungguhnya segala pengeluaran atau pembelian barang yang nggak ada hubungannya sama KKN, tapi tetep saya beli dengan alasan 'mumpung masih di Jogja' atau 'mumpung belum berangkat KKN'.

Cetek ya? Iya saya emang cetek hehe.
  • Parfum. Waktu itu saya bahkan beli 2 parfum, sebelum KKN sama pas KKN. Ya emang sih waktu itu parfum saya lagi abis. Tapi kalo dipikir-pikir, KKN itu ga butuh penampilan yang wangi-wangi amat sih, toh orang di desa sana nggak ada yang wangi juga. Ehm, tapi kalau mau meningkatkan kepercayaan diri ketika bertemu sama anak KKN dusun tetangga yang ganteng, bolehlah.
  • Lipstik. Yha. Saya emang suka lipstik dan entah pikiran bodoh itu datang dari mana tapi saya ingat waktu itu saya beli beberapa biji lipstik karena saya butuh lipstik baru yang menyemangati saya KKN. Baiklah.
  • Novel diskon. Jadi ceritanya saya waktu itu lagi ke Galeria dan Togamas lagi ada sale akhir tahun. Karena saya mikirnya cetek, dipikirnya sale novel cuma ada di akhir tahun 2014, saya nggak pikir panjang langsung beli beberapa. Dan saya dengan bangganya merasa hebat bisa memanfaatkan diskon akhir tahun sebelum saya berangkat KKN. Padahal, tahun 2015 ini juga banyak diskon novel. Ya, intinya diskon itu bisa datang kapan aja, kalau memang nggak keburu beli, nggak usah maksain sih ya. *ini hikmahnya*
  • Sunblock. Saya sih ikutan euforia traveller-traveller bule yang sukanya bawa sunblock kemana-mana. Padahal si bule jalan-jalannya ke Bali dan mau berjemur. Sedangkan saya cuma mau ke Dusun Tengklik dan waktu itu musim hujan.
  • Pengeluaran ke mall. Saya nggak tau sih ini bisa dimasukin ke kategori belanja atau enggak. Tapi yang jelas antara akhir November sampai beberapa hari sebelum KKN saya menghabiskan waktu untuk melakukan kunjungan kenegaraan ke semua mall yang ada di Jogja. Alasannya sih mumpung belom tenggelam atau terisolir di desa KKN. Pada akhirnya saya menyesali keputusan ini karena... di tengah-tengah masa KKN pun ternyata saya masih bisa ngemall hehehe.
Ya, segitu aja sih yang bisa saya share soal belanja KKN saya tahun lalu. Next time, saya pengen cerita lebih banyak lagi soal pengalaman KKN saya. Bukan dari sisi seriusnya soal kerjaannya apa, program kerjanya apa lalala karena itu pasti udah banyak yang bahas. Yang bakal saya bahas adalah kejadian lucu dan konyol selama saya KKN, karena postingan ini dibuat untuk membuang jauh-jauh pikiran menakutkan soal KKN yang kerap bersarang di pikiran anak-anak yang mau KKN.



See you!
deapurie


Wednesday, November 11, 2015

Dandan vs Nggak Dandan

Akhir-akhir ini banyak berita yang entah kebenarannya valid atau enggak, beredar di Faebook. Salah satunya soal kejadian istri yang baru dinikahi suaminya kemudian di pukulin bahkan diceraikan karena dianggap nggak secantik pas dandan. Dengan kata lain, dianggap menipu suaminya dengan wajah cantik saat di make up.

Saya sih nggak terlalu mikirin keabsahan beritanya atau bagaimana nasib sang istri yang malang itu selanjutnya. Dari ceritanya aja nggak logis sih, masa iya suami baru lihat wajah istrinya tanpa make up pas abis nikah? Pas pacaran sama pas riweuh nyiapin nikahan kemana aja? Pake kacamata las jangan-jangan.

Yang bikin saya miris itu adalah... komentar-komentarnya. Banyak banget perempuan-perempuan yang nggak suka dandan nge-post komentar mereka semacam "Ah, untung aku nggak suka dandan." atau "Makanya, jadi cewek jangan kebanyakan dandan." atau "Tuh lihat, cewek yang suka dandan ati-ati nanti dicerai suaminya." Bahkan ada seorang pria yang komen "Untung aku nggak pernah beliin alat dandan buat istriku."

Pfft. Kalau nggak kuat beliin diem aja Mas, ngga usah dibanggain gitu.

Entahlah. Saya nggak paham aja sih, kenapa kok berita yang beredar di sosial media bisa menjadi lahan subur buat komentar-komentar maam itu. Lagipula, menurut saya, kalau memang benar ada kejadian seperti itu, saya rasa permasalahan atau bahkan kesalahannya bukan terletak pada kebiasaan perempuan berdandan atau megenakan make up. Menurut saya sih mungkin, pasangan tersebut kurang mengenal satu sama lain, menikah lewat online dating, atau kalau memang iya karena make up mungkin si istri pakai bedaknya merk Dulux atau Catylac.

Terus sebaiknya perempuan lebih baik pake make up atau enggak? Ya kembali ke kebiasaan, kenyamanan, dan selera masing-masing aja sih. Kalau memang merasa lebih segar, lebih pede dan lebih nyaman pakai make up, why not? Kalau memang lebih suka tampilan wajah yang polos, dalam kata lain nggak suka dandan ya monggo aja. Yang penting, jangan saling menyerang satu sama lain.

Saya tipe perempuan yang suka dandan. Buat saya, dandan bisa membuat saya lebih peraya diri dan nggak ngantuk. Bangun pagi kemudian mandi, kadang nggak ampuh buat ngilangin kantuk saya. Tapi giliran sibuk bikin alis, sibuk pakai lipstik, ngantuk saya hilang. Selain itu, saya nggak pengen dilihat orang sebagai pemilik wajah yang kusam, nggak seger atau bahkan kucel. Berdandan itu menurut saya juga sebagai bentuk 'penghargaan' terhadap orang yang kita temui hari itu. Kesannya, ini lho, saya mau ketemu anda, saya nggak mau menunjukkan wajah yang asal-asalan di depan mata anda.

Buat saya, berdandan artinya mempercantik, bukan mengubah rupa wajah. Selain itu, pakailah sesuai porsinya. Saya punya bibir pucat, alis nyaris botak dan kontur wajah yang tidak seimbang, maka saya jelas harus memakai lipstik, pensil alis dan bedak shading sesekali. Untuk urusan mata, puji Tuhan saya dianugerahi mata yang bentuknya proporsional maka saya tidak lagi perlu mengenakan eyeshadow, eyeliner dan maskara untuk dandanan sehari-hari. Puji Tuhan juga saya nggak punya bekas jerawat yang berarti sehingga saya nggak perlu ribet pakai concealer.

Buat yang bilang kalau perempuan yang suka dandan itu identik dengan perempuan yang nggak smart, perempuan yang nggak tangguh, perempuan yang lemah kemayu dll, hati-hati lho. Jaman sekarang, spesies wanita cantik yang suka dandan meningkat pesat jumlahnya. Saya pernah menyaksikan sendiri seorang pejabat bergelar Prof. -tidak perlu saya sebut namanya- menorehkan eyeliner di kelopak matanya ketika terjebak macet. Dokter gigi langganan saya, pipinya nggak pernah absen dari sapuan blush on, katanya wajahnya pucat kaya kurang gizi tanpa bantuan blush on.

Intinya, berdandan atau enggak itu pilihan. Nggak ada kaitannya dengan kualitas intelektual, dengan kemampuan daya juang atau bahkan baik-buruknya perilaku. It's just a matter of style. Siapapun di dunia ini boleh dandan kalau mau, dan boleh juga nggak dandan kalau memang nyamannya begitu. Selain itu, hargailah apa yang dipilih orang lain. Buat yang nggak dandan, nggak usahlah menyerang atau menghakimi yang suka dandan dengan segala rupa kata. Saya pun, walau suka dandan, tetap menghargai perempuan-perempuan yang nyaman dengan wajah polosnya sebagaimana adanya. Saya nggak pernah ngatain mereka kusam, kucel atau apapun.

Do whatever you want to do. You choose your style, don't let people out there do.



deapurie

Tuesday, November 10, 2015

Dea Purie's Social Media

Semua media sosial yang saya punya, namanya Dea Purie atau @deapurie. Ehm, saya bukan mau promosi sih, ya walaupun kalau kalian mau follow saya juga nggak nolak, hehehe.

Tahun 2015 ini, saya bertekad untuk mulai bersih-bersih dan berbenah media sosial. Saya ceritanya pengen menghapus kealayan saya jaman SMA dulu yang sempat 'merusak' media sosial saya, terutama Facebook dan Twitter. Ceritanya, saya pengen berubah wujud dari gadis alay menuju gadis dewasa yang cantik jelita dan layak dijadikan calon istri idaman.

Buat yang mau muntah saya persilahkan. Hehehe.

Dari semua media sosial yang saya punya, ternyata memberikan kesan yang berbeda soal saya. Dari segala proses berbenah itu, ada step dimana saya berpura-pura jadi orang lain yang lihat media sosial saya.

1. Facebook

Media sosial yang paling nggak keurus. Dulu sebelum kenal blog, saya suka banget bikin notes di situ. Dari celotehan saya soal Ashanty sampai curhatan ga penting nyindir selingkuhan mantan saya jaman SMA ada semua di situ. Foto alay saya jaman SMA pun, yang dicerah-cerahin gitu, juga masih ada. Temen-temen FB yang punya nama alay, yang sumpah demi apa saya nggak kenal pun ada. Pokoknya malu-maluin banget.

2. Twitter

Di saat banyak orang mulai meninggalkan Twitter, akhir-akhir ini saya malah makin rajin twitteran. Kenapa? Karena makin banyak selebtweet inspiratif yang makin asik buat dikepoin. Banyak topik-topik asik bahkan gosip artis underground berkeliaran di situ. Twitter saya isinya sih kebanyakan retweetan selebtweet, terus saya juga suka ikut kuis-kuis di Twitter, curhatan galau juga ada, mentionan belanja olshop juga ada, sindiran sama marah-marah ga jelas juga ada sih.

3. Path

Di antara semua media sosial yang saya punya, Path ini isinya mewakili kekonyolan hidup saya. Entah, saya lebih suka share hal-hal yang lucu sama pengalaman-pengalaman konyol saya di sini. Mungkin karena Path sifatnya private dan nggak semua orang bisa lihat. Jadi nggak akan banyak orang tau bahwa sebenernya saya suka jengkol, saya pernah mati gaya waktu halal-bihalalan RT, dan lain sebagainya.
Path adalah satu-satunya media sosial yang tetap akan saya pertahankan kekonyolannya.

4. Instagram
Kalau di Path saya kelihatan konyol, di IG pencitraan diri saya bangun begitu kuat. Hahaha, enggak sih, tapi kalau saya jadi orang lain, mungkin saya nggak akan ngeh kalau Dea Purie di Path sama @deapurie di IG itu orang yang sama. Ya secara di Path saya ngaku doyan jengkol, ngaku pernah kuliah nggak mandi tapi di IG saya banyak ngepost soal kecintaan saya sama lipstik, make up, novel, dan hal-hal indah lainnya. Di IG saya juga kadang-kadang jadi reviewer abal-abal untuk produk kosmetik atau bodycare atau makanan. Selain itu foto cantik saya juga bertebaran di IG. Berhubung saya punya IG di kedewasaan yang cukup matang, Puji Tuhan nggak ada hal alay di sana.

5. Google+
Ini juga termasuk media sosial yang saya abaikan. Setelah belakangan ini banyak yg nge-add saya, akhirnya saya memutuskan untuk memperbaikinya. Dan juga mengganti foto yang dari jaman baheula nggak ganti-ganti, foto jaman mukanya dicerah-cerahin ga jelas gitu.

Sadar nggak sadar sih, citra kita di media sosial itu penting banget. Aapalagi kalau memasuki usia 20-an dan mulai memasuki dunia kerja. Nggak lucu kan kalau HRD tempat kita kerja besok nemuin curhatan selingkuhannya mantan di medsos kita?

Semoga bersih-bersih medsos yang melelahkan ini cepat rampung...


deapurie


Berbenah Blog

Entah ide ini datang dari mana, tapi tiba-tiba saya rindu menulis. Lebih spesifiknya, nge-blog.

Kemudian saya teringat kalau saya masih punya blog. Ya, bertahun-tahun lamanya blog ini nggak pernah saya tengok. Penuh sarang laba-laba :(

Mulai hari ini saya bertekad untuk terus menulis secara teratur, dan berbenah blog adalah langkah awal yang saya lakukan.

Doakan saya ya...


deapurie