Thursday, April 18, 2013

Ibu Mertua Oh Ibu Mertua (How to Deal with Beliau :))

Pada tulisan saya sebelumnya, saya menjanjikan akan menulis beberapa cara yang kira-kira bisa dipakai untuk 'berdamai' dengan mertua. Sebenarnya nggak masalah sih, saya mau bikin tulisan ini minggu depan kek atau malah bulan depan sebenernya juga nggak papa. Tapi.. Karena pacar saya sudah membaca tulisan saya yang sebelumnya dan saya khawatir dia jadi agak berpikir ulang buat menjadikan saya menantu ibunya, makanya saya cepet cepet bikin tulisan ini :p. Sebenernya tulisan saya sebelumnya nggak ada maksud sama sekali untuk menunjukkan bahwa punya mertua itu tidak enak, tapi ya memang begitu adanya. Dan begitu adanya pula tulisan saya yang setelah saya baca sendiri kok kesannya jadi agak paranoid soal ibu mertua. To be honest, bukan maksud saya (terus maksud siapa? :p) Yasudahlah, daripada saya nelangsa gagal dipinang, lebih baik cepat-cepat saya utarakan gagasan baik saya tentang ibu mertua :)

Namanya kita punya suami, pasti akan punya mertua dan terkhususnya ibu mertua. Nggak mungkin lah ya, kalau misalnya kita mau anaknya aja tapi nggak mau berbakti dan sayang juga sama ibunya, atau singkat kata nggak mau punya mertua. Kecuali beliau sudah meninggal sebelumnya. Dan bukan karena kita kasih racun atau tusuk pake pisau dapur :p Sebenarnya, bukan nggak mungkin kita nggak cocok sama ibu mertua, atau mungkin calon ibu mertua kita. Kenapa? Ya wajar, namanya juga ketemu gede, nggak semua orang yang kita temui bisa cocok sama kita kan? Begitu pula ibu mertua.

Ketidakcocokan ini macem-macem. Bisa jadi, kita belum terlalu kenal sama beliau tapi berhubung pas kita ketemu, mood beliau lagi nggak bagus dan dalam kondisi cemberut, kita langsung nge-judge "Wah, jutek amat.." atau "Wah, auranya buruk, galak.." dan lalu serta merta kita langsung nggak suka gitu aja. Atau misalnya cuma lihat penampilannya aja yang agak kayak nyonya-nyonya parlente, kita langsung ngebatin "Pasti kayak mertua-mertua sinetron nih.." dan sebagainya. Kalau kasus yang terjadi seperti ini, cobalah untuk berpikir lebih netral. Kita juga nggak suka kan kalau orang lain menghakimi kita cuma sekali lirik saja? Cobalah kenali lebih dalam, sering-sering ngobrol, berkunjung ke rumahnya, atau mungkin sharing sama pasangan soal ini. Kalau kita punya penilaian tentang calon ibu mertua kita yang kita sendiri masih ragu, jangan ragu juga untuk membicarakannya dengan pasangan. Tentunya, dengan bahasa dan intonasi yang tidak menghakimi dan jangan langsung menjelek-jelekkan. Ingat, somehow someway, calon ibu mertua kita itu orangtua pasangan kita, yang harus kita hormati juga. Pasangan kita pasti kenal betul sosok ibunya seperti apa. Bisa jadi dugaan kita keliru. Atau kalaupun benar, pasangan kita siapa tau bisa kasih masukan buat kita, supaya kita bisa bersikap sesuai dengan tipe ibu mertua, bukan dalam arti menuruti segalanya, tapi lebih ke menyesuaikan diri. Mungkin, dari pasangan kita sendiri, kita malah bisa belajar banyak bagaimana cara-caranya supaya kita bisa menjalin hubungan dengan baik, dengan ibunya.

Tapi gimana, kalau kasusnya ternyata kita sudah mengenal calon ibu mertua kita luar-dalam, sudah bukan dalam taraf menduga-duga lagi dan ternyata kita bisa dibilang nggak ada kecocokan sama sekali atau bahkan bisa dibilang bertolak belakang sama calon ibu mertua kita?

Kalau nggak cocok sama sekali dengan ibu mertua? Misalnya bener-bener berbeda gaya hidup 180 derajat, atau kita bener-bener nggak suka sama sekali atau bener-bener... You know lah. Saran saya : stop sampai di sini dan jangan dilanjutkan. Jangan menikah. Menikah itu berbeda dengan pacaran. Menikah itu hidup berkeluarga dan mau nggak mau harus menyatu dengan keluarga dia juga. Nggak bisa lah, kita mau anaknya tapi nggak mau ibunya. Daripada suami pusing tujuh keliling gara-gara istri dan ibunya ibarat anjing dan kucing, lebih baik cari yang lain, yang ibunya masih bisa anda tolerir. Secinta-cintanya anda dengan pasangan anda kalau sudah begini ceritanya, jangan diteruskan. Sekian.

Kalau ketidakcocokannya hanya berupa hal-hal yang bisa ditoleransi seperti perbedaan selera atau perbedaan orientasi hidup dalam hal-hal kecil, okelah kalau mau lanjut ke jenjang pernikahan. Dengan catatan, ibu mertua kita (dan juga kita) adalah orang yang demokratis, menghargai privacy dan sama-sama berjiwa besar bin penuh toleransi. Kalau sifat-sifat yang saya sebutkan barusan ada dalam taraf yang cukup besar, maka bukan hal yang mengkhawatirkan kalau kita dan ibu mertua sering-sering berinteraksi bersama seperti misalnya belanja bareng, masak bareng atau mungkin mengurus anak. Tapi kalau tidak, dalam artian baik ibu mertua atau kita sama-sama agak 'dingin', ada baiknya kita tinggal jauh dari mertua, entah di daerah yang agak jauh tetapi masih dalam satu kota atau di luar kota sekalian. Bukannya nggak sayang atau nggak mau ngurusin atau gimana, tetapi lebih kepada meminimalisir gesekan dan konflik. Tentunya, hal-hal seperti ini harus dibicarakan dulu baik-baik dengan pasangan sebelum menikah. Tetapi tetap saja, jagalah hubungan baik dengan ibu mertua, yah, minimal setahun sekali tetap sungkem dong ya kalau Lebaran :) Lebih enak memang, kalau kita ketemu beberapa kali dalam beberapa kesempatan tapi dalam kondisi damai dan penuh rasa kangen daripada berinteraksi setiap hari yang malah akan memantik konflik.

Lalu bagaimana dengan suami dan anak-anak? Jangan sesekali memutuskan hubungan mereka dengan ibu mertua yang dalam hal ini sebagai ibu dan nenek. Berikan ibu mertua kita kesempatan untuk tetap menjadi ibu dan merasakan indahnya pengalaman sebagai nenek. Kita saja yang sebagai menantu tetap harus berinteraksi dengan ibu mertua kita (siapa tau beliau juga ingin merasakan rasanya punya anak perempuan). Kadangkala, kita perlu memberikan semacam 'me time' untuk suami kita dan ibunya. Sesekali, biarkanlah suami kita pulang ke rumah ibunya (tanpa kita dan anak-anak) untuk sekedar melepas kangen dan bermanja-manja layaknya ibu dan anak. Biarkan suami kita menikmati saat-saat kebersamaannya dengan ibunya tanpa ada kita. Karena terkadang, kehadiran kita membuat suami dan ibu mertua kita tidak bisa mengekspresikan rasa kangennya dengan leluasa. Dengan anak-anak kita pun begitu. Sesekali di akhir pekan, biarkan anak-anak menginap di rumah kakek-neneknya tanpa kehadiran kita dan suami. Biarkan anak-anak beradaptasi dengan suasana rumah kakek dan neneknya. Walaupun, untuk kebersamaan anak-anak dengan kakek neneknya tidak boleh diberikan porsi yang terlalu banyak. Kenapa? Karena pola asuh orangtua dan kakek nenek yang pasti akan jauh berbeda. (Later we'll discuss it)

Yang jelas, bisa dikatakan, jangan bersikap posessif terhadap anak dan suami, walaupun kita tinggal berjauhan dari mertua. Karena dengan memisahkan mereka dari ibu mertua kita, itu namanya membuat ibu merta (dan juga mereka) menderita.

Dibutuhkan juga kebesaran hati kita sebagai menantu. Seperti yang sudah saya tulis di tulisan sebelumnya, ibu mertua kadangkala punya niat baik (yang tidak lagi jadi baik di mata menantu) untuk mengajari kita segala sesuatu hal (yang kadang sebenarnya kita juga sudah bisa walaupun dengan cara berbeda) dan mengintervensi segala urusan rumah tangga kita, termasuk mungkin soal mendidik anak. Kalau kita menanggapi semuanya dengan pikiran negatif, percayalah, kita yang capek sendiri. Sesekali, cobalah dengarkan baik-baik, siapa tau kata ibu mertua itu benar dan justru kita malah jadi terbantu. Kalau misalnya berbeda, coba dicoba dulu, siapa tau bisa kita terapkan juga. Tapi kalau ternyata apa yang ibu mertua kita katakan itu salah dan sudah kita buktikan dengan referensi yang meyakinkan seperti informasi dari artikel, majalah atau buku-buku, jangan langsung menyalahkan atau bahkan menghakimi ibu mertua. Atau bahkan salah-salah kita malah terang-terangan mengajari ibu mertua. Jangan lakukan itu. Ibu mertua memang suka mengajari, tetapi beliau paling tidak suka diajari, apalagi sama menantunya. Karena somehow, beliau akan merasa lebih berpengalaman, walaupun jaman sudah berganti dan berkembang.Kalau misalnya kita nggak mau menuruti saran ibu mertua yang kita anggap tidak sesuai, coba, alih-alih mengajari yang sebaliknya pada beliau, ajak beliau untuk membaca artikel atau majalah yang kita baca. Siapa tau kalau beliau ikut membaca, beliau bisa lebih terbuka pikirannya dan mau menerima pendapat kita. Alih-alih bilang "Itu nggak boleh Ma, yang bener itu......." coba bilang "Ma, coba deh liat ada artikel tentang cupfeeder Ma, liat deh, masa ternyata katanya lebih sehat pake cupfeeder daripada dot.." Tapi, caranya harus pelan-pelan, tidak boleh memaksa dan intinya harus tetap menghargai dan menghormati beliau.

Bagaimana dengan tinggal serumah? Perlu saya tegaskan (menurut saya), kita boleh tinggal di Pondok Mertua Indah hanya kalau kita bisa akuuuurr sekali dengan mertua dan kita sejalan sehati sepikiran sepaham dengan beliau. Kalau ada perbedaan sedikit saja? Lebih baik jangan. Dengan suami yang kita anggap orang yang bisa kita ajak berbagi kehidupan, yang pastinya (kita mencarinya yang) punya sedikit perbedaan dengan kita saja pasti kalau sudah serumah akan banyak gesekan dan benturan, bagaimana dengan ibu mertua? Ibu mertua nggak bisa milih kan? :) Kalau kita saja sebagai nyonya rumah kerap berkonflik, gimana kita mau membangun suasana rumah yang tenang dan kondusif? Lagipula, kita sebagai nyonya rumah juga perlu otoritas tersendiri sebagai istri dan ibu rumah tangga. Percayalah, rumah tangga dengan dua wanita yang sama-sama (dan pernah) berperan sebagai istri dan ibu, pasti tidak akan baik situasinya. Situasi yang tidak baik seperti apa? Pokoknya banyak, complicated dan bermacam-macam. Dengarkan saja curhatan para istri yang tinggal dengan ibu mertua. Belum sampai 5 menit, anda akan paham.


Masih banyak yang akan saya tuliskan tentang ibu mertua. Lagi-lagi, just wait :)

No comments:

Post a Comment