Tuesday, April 16, 2013

Ibu Mertua Oh Ibu Mertua (Ibu Mertua vs Menantu Perempuan)

Perlu dijelaskan sebelumnya bahwa saya, penulis, bukanlah seseorang yang sudah berpengalaman dalam hal pernikahan, bukan istri orang (belum sih, belum dipinang :p), bukan pula janda. Ini hanya curcol-curcol singkat mengenai ibu mertua dari pandangan seorang gadis -yang belum menikah-.

Ibu mertua ini, kalo boleh saya ibaratkan dalam cerita, mungkin akan digambarkan sebagai tokoh yang susah diklasifikasikan apakah beliau ini pemeran utama dalam sebuah kehidupan pernikahan (pernikahan anaknya) atau sekedar figurannya. Mau dibilang pemeran utama, rasa-rasanya kok nggak pas begitu, namanya juga pernikahan, pasti pemeran utamanya ya suami dan istri. Anak-anak buah pernikahan saja kadang dianggap bukan bagian dari pemeran utama, masa iya ibu mertua masuk? Tapi, kalau cuma figuran, kadang kala (bilang aja seringkali gitu ya) campur tangan ibu mertua masuk ke dalam ranah domestik rumah tangga. Nah?
Kehadiran ibu mertua di dalam kehidupan rumah tangga seringkali menimbulkan banyak konflik dan 'cerita' bagi para pasangan yang menjalaninya, khususnya, kali ini yang akan saya bahas adalah hubungannya dengan menantu perempuan.
Dalam budaya Indonesia, namanya pasangan baru menikah (atau bahkan sudah lama menikah), pasti nggak akan pernah bisa lepas dari bayang-bayang mertua. Bayang-bayang mertua dalam hal ini bukan hanya masalah finansial saja, tapi juga masalah pertalian keluarga. Namanya orang Indonesia, yang namanya pernikahan itu ekuivalen dengan persatuan dua keluarga. Keluarga suami akan jadi keluarga istri juga dan begitu pula sebaliknya. Nggak mungkin lah ya kita bisa lepas begitu aja, langsung hidup bahagia berdua selamanya. Bisa-bisa kita dicap sebagai anak durhaka nggak tau balas budi. Gawat kan?
Nah, itu berarti setelah menikah, kita akan punya orang tua baru. Berbakti sama sepasang orang tua aja udah susah, gimana ceritanya kita punya sepasang lagi ya kan? Padahal, kita bukan lagi dalam posisi layaknya anak kecil yang setiap menit dan detiknya membutuhkan orangtua. Namanya masa-masa kedewasaan adalah saatnya kita menjalani kehidupan dengan otoritas semaksimal yang kita punya. Masa-masanya kita mewujudkan impian masa kecil dan berbagai hal yang mungkin berbenturan dengan idealisme orangtua kita. Nah ini malah ditambah orangtua satu pasang lagi?
Inilah yang kadang-kadang menjadi gesekan antara menantu dan mertua. Ketika sang menantu berusaha membangun kehidupan rumah tangga sesuai dengan mindset dan keinginannya, muncullah sang mertua (yang mungkin sebenarnya bermaksud baik) dengan segala petuah dan nasehatnya. Petuah dan nasehatnya inilah yang kadang membuat sang menantu tersinggung. Mending kalo sekedar petuah, saran atau nasehat. Kadang-kadang ibu mertua ini terlalu ikhlas untuk menyumbangkan kontribusinya dalam hal tenaga, ide, waktu atau bahkan uangnya yang membuat para menantu-menantu ini terpaksa bertekuk lutut. Kalau kita menolak dengan halus misalnya, mungkin dalam kesempatan berikutnya ibu mertua ini tidak lagi datang bersama kontribusinya, tapi bersama segala macam kritik yang siap dilontarkan kepada cara kita berumah tangga. Wajar sih, namanya orang baru membangun rumah tangga, pasti ingin agar rumah tangganya berjalan sesuai caranya sendiri. Rasanya kalau orangtua atau mertua masih campur tangan, kesannya seperti kita dianggap tidak becus (atau tidak sehebat beliau). Betul tidak? Sedangkan para mertua, mungkin dengan power yang setelah berpuluh-puluh tahun mereka miliki sebagai orangtua (yang berkuasa atas anak) rasanya agak kurang ikhlas menyerahkan kehidupan anak mereka, yang mereka sayang-sayang, yang mereka besarkan dengan susah payah, kepada orang lain alias menantu, khususnya menantu perempuan. Makanya, dua wanita yang kerap kali membuat para suami ini galau kerapkali susah akurnya.
Wait. Kalau masalah ikut campur, rasa-rasanya orangtua kita sendiri juga sering ikut mencelupkan tangannya ke rumah tangga kita? Well, jujur atau tidak, rasanya pasti beda. Orangtua ya tetap orangtua. Pertalian darah tidak bisa diingkari, pasti ada perasaan maklum yang ada dan timbul dalam hati kita kalau orangtua kita sendiri yang ikut campur. Kalau mertua? Ibaratnya, orangtua bukan, baru kenal kapan hari, ketemu gede, kok ngatur-ngatur sih? Hayo, iya kan? :) *senyum pengertian*
Back to topic, kenapa para ibu mertua ini seringkali nggak bisa akur dengan para menantu perempuan? Bahkan, pernah dalam suatu kuliah kebudayaan, seorang dosen yang merupakan wanita-Jawa-totok ini mengatakan bahwa namanya ibu mertua sama menantu perempuan, sampai kiamat pun nggak akan pernah akur. Katanya, kalau akur pun pasti masih ada ganjalan berupa badai-badai kecil di dalam hati. Akur aja masih pakai badai lho, gimana nggak akur coba. Sebenernya ketidakakuran para ibu mertua berikut menantu cantiknya ini bukan karena mitos, budaya atau bahkan konstruksi sosial. Ketidakakuran ini bisa dijelaskan menggunakan akal sehat kok, karena ada faktor psikologis yang mempengaruhinya.
Well, namanya anak laki-laki, dalam sebuah keluarga pasti memiliki nilai tersendiri. Pasti namanya anak laki-laki, akan jadi penerus keturunan, akan jadi kebanggaan tersendiri, mungkin nantinya akan jadi tulang punggung keluarga, jadi citra nama baik keluarga (pengangkat derajat) dsb. Kasarannya sih, dalam beberapa budaya (apalagi budaya kita masih banyak yang partriarkhial), anak laki-laki ini ibarat 'aset' kebanggaan keluarga. Anak perempuan juga sih, tapi somehow pemegang porsi terbesar adalah anak laki-laki. Wajar kan, kalau namanya anak kebanggaan keluarga ini disayang-sayang banget sama ibunda tercinta. Apalagi, namanya anak laki-laki dan ibunya punya satu relasi batin tersendiri, yang berbeda dengan relasi ibu dan anak perempuannya yang biasanya ditandai dengan aktivitas-aktivitas yang dilakukan bersama, seperti memasak, belanja, bergosip dll. Nah, karena ibu dan anak laki-laki jarang punya aktivitas yang bisa dilakukan bersama, bukan berarti hubungan mereka jadi lebih rengggang. Malah, bawah sadar mereka masing-masing justru berusaha mencari ikatan emosional yang kuat. Sering kan kita dengar, anak laki-laki biasanya lebih manja atau punya ketergantungan khusus sama ibunya, entah kalau sakit, atau kecanduan masakan mama dll. Sebaliknya, sang ibu yang biasanya mewanti-wanti anak perempuannya untuk bisa hidup mandiri (mengerjakan pekerjaan rumah sendiri misalnya) justru akan dengan tanpa berat hati menanjakan anak laki-lakinya. Itulah ciri dari ikatan batin ibu dan anak laki-lakinya.
Ketika anak laki-laki ini mulai punya pacar atau bahkan calon istri, seringkali para ibu ini dilanda rasa khawatir. Khawatir anaknya tidak lagi membutuhkan (baca : bermanja-manja) peranannya sebagai seorang ibu lagi, karena sudah ada istri yang seolah menggantikannya. Ada benarnya sih, karena namanya setelah menikah, segala urusan sang suami pasti menjadi kewajiban istri. Namanya istri, harus melayani suami, itu pasti. Kalau dulu yang menyiapkan sarapan pasti ibunya, sekarang sudah menjadi kewajiban istri.
Kekhawatiran ini, kalau dosisnya berlebihan, bisa berubah dengan cepat menjadi kecemburuan. Seringkali ibu mertua justru memandang calon menantunya ini sebagai calon saingannya as well.
Masa sih? Iya. Beneran. Coba kita pikir, wajar nggak kalau ibu mertua kepikiran, bisa nggak ya menantuku ini ngurusin anakku (lebih baik dari aku)? bisa nggak ya menantuku ini ngurus rumah? bahkan sampai yang paling sensitif, menantuku ini bakalan ngabisin gaji anakku nggak ya? -kalo ini sih biasanya buat yang anak laki-lakinya jadi tulang punggung keluarga-
Walaupun saya belum jadi mertua (wong jadi menantu saja belum :p) saya bisa membayangkan perasaan beliau. Pasti mereka takut calon menantunya ini akan menguasai hidup anaknya atau bahkan merenggut anaknya dari kehidupannya. Ketakutan berikutnya adalah ketika mereka merasa tidak lagi berguna atau memiliki peranan (semacam post power syndrom) terhadap kehidupan anaknya. Asal tau saja, hal yang paling dianggap menakutkan bagi orangtua adalah menjadi tua dan tidak berguna. Sehingga, ketakutan-ketakutan macam tadi adalah hal yang wajar.
Kekhawatiran ibu mertua ini menjadikan hati dan mata mereka berubah menjadi 'scanner' yang luar biasa. Baik masih calon menantu ataupun sudah jadi menantu, wanita yang dianggap saingannya ini tidak pernah luput dari perhatiannya. Entah gerak-geriknya, cara berpakaian, perkataan, tindak tanduk dan lain-lain. Kalau sudah jadi istri, masakan kita, cara kita mendekor rumah, cara kita meladeni suami, atau kalau kita sudah punya anak ya cara kita mengurus anak, pasti tidak akan pernah luput dari 'scanner'nya.
Keadaan inilah yang jadi dilema bagi para menantu perempuan. Kalau kita termasuk dalam jajaran istri pemalas yang misalnya lebih mementingkan urusan karier daripada berkutat di rumah sehingga rumah terbengkalai atau suami jadi nggak betah di rumah, pasti ibu mertua akan ngomel-ngomel, mengecap kita sebagai istri nggak becus dan (mungkin) menganggap kita menantu durhaka. Kalau kita adalah gadis belia yang menikah muda misalnya, atau kalau dulu di rumah jarang mengerjakan pekerjaan rumah sehingga ketika berumah tangga kita tergagap-gagap dan tidak tau apa-apa, ibu mertua pasti akan dengan senang hati mengambil alih semua urusan rumah tangga sambil mengajari kita (yang di mata menantu berubah menjadi menggurui aka mendikte) yang kadang diwarnai dengan sindir menyindir. Kalau kita sebenarnya punya konsep berrumah tangga yang berbeda dengan ibu mertua (lebih modern misalnya), yang sebenarnya juga bagus, pasti ibu mertua akan melakukan intervensi dan koreksi disana-sini (yang akan ditanggapi dengan muka cemberut oleh para menantu) karena merasa beliau lah nyonya rumah paling handal untuk akan laki-lakinya. Kalau kita pinter masak, telaten ngurusin suami, piawai menimang bayi, lemah lembut ayu bak bidadari -pokoknya sebagai istri sempurna bahkan di mata mertua-, tak jarang bukan pujian yang kita dapat, tetapi justru kritikan ibu mertua (yang dibuat-buat) karena beliau takut anak laki-lakinya ini akan sangat betah di rumah bersama istrinya dan tidak lagi pulang ke rumah masa kecilnya.
Rumit? Amat sangat. Saya saja kadang takut lho punya mertua. Bukan apa-apa, kadang saya bingung menetukan sikap harus seperti apa.
Satu hal yang harus kita ingat, ketika kita mencintai anaknya, cintailah juga ibunya (ngetik aja gampang, praktek? Saya saja yang baru sampai di level pacaran sudah bisa membayangkan kalau susahnya setengah mati).
Susah bukan berarti tidak bisa. Di tulisan saya berikutnya, akan ada semacam cara-cara yang bisa kita lakukan untuk tetap akur dengan ibu mertua. Just wait :)

No comments:

Post a Comment