Friday, August 16, 2013

East vs West : Sosial versus Individual




Siapapun yang melihat gambar di atas ini pasti tahu dong, mana yang East dan mana yang West. Mana yang budaya/kebiasaan kita dan mana yang identik dengan orang Barat. Pertama kali saya melihat gambar inipun saya nggak usah lagi pikir panjang, saya tahu kemana arahnya.

Bayangkan kita sedang ada di sebuah kafe atau perpustakaan umum, misalnya. Kita duduk di satu meja dan kita sendirian. Lalu tiba-tiba dari arah berlawanan muncullah beberapa teman atau kenalan kita yang kebetulan mungkin baru saja datang atau sedang mencari meja. Dan mereka melihat kita. Tebak, apa pertanyaan pertama yang mereka lontarkan sesaat setelah (dengan tulus atau sekedar basa-basi) menyapa kita : “Kok sendirian?” atau “Sendirian aja nih?”

Well, jujur saya lumayan risih dengan pertanyaan semacam itu. Seakan-akan kesendirian adalah sebuah hal yang aneh yang patut dipertanyakan. Dan seakan harus diberi jawaban dan kemudian dipertimbangkan alasannya. Seakan ‘sendirian’ adalah sebuah penyakit yang harus didiagnosa. Oke, to the point, kadangkala dianggap sebagai suatu gejala keanehan atau bahkan kegilaan.

“Memang kenapa kalau saya memilih sendirian? Urusan andakah itu? Apakah saya terlihat aneh jika saya sendirian?” itu biasanya jawaban (lebih tepatnya pertanyaan balik) yang saya lontarkan ketika menghadapi pertanyaan semacam itu, dalam hati. Selebihnya mulut saya hanya melontarkan kata “Iya..” penuh senyum ramah. Lalu biasanya mereka akan membalasnya dengan “Oooh..” dibarengi dengan tatapan oh-so-kasihan-sekali-orang-ini-sendirian. Padahal saya nyaman-nyaman saja dan tidak sedikit pun merasa perlu dikasihani.

Bahkan terkadang kebanyakan orang melihat orang yang sendirian di beberapa kesempatan (atau bahkan sebenarnya hanya satu) langsung berasumsi atau kasarnya, menghakimi bahwa kesendirian adalah simbol dari kesepian, perasaan insecure alias tidak aman, tidak punya teman, unfriendly, tidak bisa bersosialisasi, atau bahkan itu tadi, stress alias gila. Tapi pernahkah kita berfikir bahwa ada orang yang saking hidupnya terlalu ‘ramai’ atau terlalu banyak orang yang get involved dalam hidupnya, sampai-sampai dia memerlukan waktu untuk sendirian saja alias leave me alone? Atau ada juga orang yang saking amannya, saking securenya dan saking mandirinya sampai berani kemana-mana sendiri dan bahkan menempati apartemennya sendirian?

Budaya yang berkembang di area ketimuran, yang salah satunya adalah negara kita, seringkali dapat kita rasakan sangat menjunjung tinggi yang namanya kehidupan sosial alias group oriented. Ada suatu cerita, ketika kakak sepupu saya baru saja melahirkan anak pertamanya. Banyak anggota keluarga dan kerabat yang berbondong-bondong menengok keponakan saya yang baru lahir tersebut. Seketika rumah kakak saya tersebut langsung penuh dengan tamu. Apa pasal? Jadi, para kerabat yang hadir menengok ini kebanyakan datang dengan membawa pasukan alias berrombongan. Jadi misalnya, Oom dan Tante R datang membawa 2 anak, 2 menantu berikut cucu-cucunya. Lalu ada lagi Bapak dan Ibu Y juga datang dengan 4 anak, 2 menantu dan cucu-cucunya yang masih kecil-kecil dan suka berlarian kesana-kemari. See? Baru 2 keluarga saja yang datang sudah seperti transmigrasi bedol desa. Belum lagi kerabat-kerabat yang datang dengan kerabat lainnya yang kebetulan rumahnya berdekatan, hingga penamaannya menjadi Rombongan + Nama Daerah. Misalnya Rombongan Cilacap, Rombongan Kebon Jeruk, Rombongan Kelurahan Sukamakmur, etc. Nah, bahkan saking ramainya, suasana menjadi tidak kondusif. Keponakan saya tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti yang diharapkan, tetapi seakan tenggelam di tengah-tengah hiruk pikuk orang-orang yang datang.

Kalau saya ada di posisi seorang anak yang sudah berumah tangga, punya suami dan anak-anak lalu tiba-tiba orangtua atau mertua saya mengajak untuk pergi bersama-sama menengok kerabat yang sedang sakit, habis melahirkan atau apapun itu, saya akan lebih memilih menolaknya dan berangkat berdua bersama suami saja atau kalau anak-anak sudah cukup besar dan tidak lagi rewel dan merepotkan, ya bersama anak-anak.

Saya tidak ingin datang, lalu dikenali oleh tuan rumah atau kerabat yang sedang sakit sebagai menantu Bapak dan Ibu X atau salah satu anggota Rombongan Jogja, misalnya. Hey, I don’t even have a name. I do really have a name to be mentioned and recognized, as well. Buat saya, apa artinya kemandirian setelah berumah tangga jika dalam hal-hal remeh temeh begini istilahnya kita masih nebeng dibawah mertua atau orangtua kita?

Lagipula, masa iya, menengok orang sakit saja kok musti keroyokan semacam mau perang begitu? Jika saya jadi yang sakit, alih-alih terhibur dengan kedatangan orang-orang yang peduli dengan saya, saya mungkin malahan akan stress jika didatangi pasukan perang macam itu. Kok rasa-rasanya seperti tidak tahu etika a.k.a kurang sopan kan ya? Kalau saya harus menengok orang sakit, terutama di rumah sakit, saya akan lebih memilih untuk datang berdua (atau bahkan sendiri), berjalan elegan sambil membawa parcel buah. Selain lebih elegan dan sopan, buat saya kesendirian dalam hal ini lebih menunjukkan kemandirian, rasa hormat dan juga ikatan emosional yang lebih mendalam dengan yang ditengok. Kenapa lebih mendalam? Karena orang yang saya tengok akan melihat saya sebagai saya sendiri, sebagai saya yang betul-betul peduli dengan keadaannya. Bukan berarti orang yang versi rombongan tadi tidak betul-betul peduli ya, tapi nggak salah juga kan kalau saya bilang saking ramainya situasi malah seringkali tujuan menengok tersebut jadi terlupakan dan tergantikan dengan acara yang seakan terasa seperti kumpul-kumpul. Tanyakan saja kepada orang-orang yang menengok keponakan saya tersebut. Berapa orang dari mereka yang betul-betul tau nama lengkap keponakan saya, arti namanya, kondisinya ketika dilahirkan, cerita dibalik kelahirannya, atau bahkan yang sudah mencoba menggendongnya atau at least melihat dengan jelas wajah keponakan saya? Lama-lama saya jadi kasihan sama keponakan saya yang seperti terabaikan di tengah orang-orang yang seolah peduli.

See? Belajar dari kasus tersebut, kesendirian bukan melulu sesuatu yang harus dikasihani atau bahkan diratapi. Dari cerita kelahiran keponakan saya diatas, saya justru belajar bahwa dalam beberapa kasus, kesendirian bisa dimaknai sebagai sesuatu yang lebih elegan dan lebih personal. Lebih mandiri, jelas iya.

Tapi permasalahannya, tidak semua orang memiliki keberanian atau kepercayaan diri untuk melakukan apa-apa sendiri, terutama hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas publik alias yang kita lakukan di depan umum. Misalnya, makan di rumah makan, kantin atau restoran, berpergian, jalan-jalan, bahkan belanja. Ada teman saya yang kelaparan nyaris seharian hanya gara-gara tidak ada teman yang bisa diajak makan siang. Ada juga teman kuliah saya, yang nyaris setiap kali di kampus dia ingin pergi ke toilet, minta ditemani. Pacar saya, walaupun kami berbeda kota, seringkali ketika dia ingin membeli sesuatu selalu meminta pendapat saya. Dan kalau saya ketiduran ketika dia sedang berbelanja dan butuh rekomendasi segera, sayalah yang akan merasa bersalah karena membiarkannya kebingungan. Sejenis dengan pacar saya, ada teman saya yang tidak bisa berbelanja kalau tidak ditemani. Pernah suatu ketika dia ingin membeli sesuatu, dia menunggu berhari-hari demi ada yang bisa menemani dan memilihkan. Lain lagi dengan teman saya yang tidak bisa pergi ke acara-acara undangan sendirian. Bahkan Ibu saya pun akan merasa sedih jika tidak ada yang menemaninya ke gereja.

Lagi-lagi, saya cuma bisa berkata, see? Hal-hal berlandaskan group oriented tersebut sudah merasuki bagian-bagian terkecil dari hidup kita. Saya tidak mengatakan hal tersebut sebagai sesuatu yang buruk, tetapi lebih kepada sesuatu yang sifatnya bergantung alias nggak flexible. Masa iya, saking kita terbiasanya ditemani, kita sampai membuat diri kita tidak bebas menentukan kapan kita akan makan, jalan-jalan atau berbelanja? Too much to be pity, dear.

Kalau saya ditanya, saya lebih condong ke gambar merah atau biru, saya akan menjawab dengan mantap : biru. Selain karena saya memang suka warna biru, pada kenyataannya gambar tersebutlah yang mencerminkan diri saya.

I do love to be alone. Being alone is something that easier for me. Independent, free dan tidak bergantung pada siapapun. Ketika orang lain merasa nothing ketika sendirian, saya justru terkadang merasa aneh jika ditemani. Saya menikmati berpergian sendiri, jalan-jalan sendiri dan bahkan ketika berbelanja pun saya tidak bisa ditemani orang lain. Pernah suatu ketika saya berencana ingin berbelanja sesuatu dan teman saya menawarkan diri untuk menemani. Karena dia memaksa dan sepertinya betul-betul ingin menemani saya, maka saya ijinkan dia ikut. Itupun karena saya tidak enak hati. Tapi apa yang terjadi kemudian? Saya justru bingung menentukan mana yang akan dibeli karena dia selalu mencoba mengusulkan ini dan itu (yang membuat saya bingung). Selain itu, parahnya lagi, setiap barang yang saya pilih selalu ada saja cacatnya di mata dia, dan, to be honest, I felt distracted. Sejak saat itu saya selalu memutuskan untuk berbelanja sendiri.
idak hanya berbelanja, dalam segala hal saya akan selalu mengambil keputusan sendiri. Entah, saya selalu merasa bebas, nyaman dan cepat jika tidak melibatkan orang lain. Jika saya terpaksa harus bekerja dalam tim pun saya akan dengan sukarela membagi-bagi tugas kepada semua anggota dan bekerja masing-masing lalu menyatukannya kembali setelah selesai. Parahnya lagi, ketika jam makan tiba, saya juga dengan ikhlas hati menunggu anggota keluarga yang lain selesai makan supaya saya bisa makan belakangan. Dan sendirian.

Kenapa begitu? Kalau ditanya kenapa, saya juga tidak tahu alasan pastinya. I just enjoy it, no matter what. Dan sifat saya ini seringkali membuat orang di sekitar saya bertanya-tanya atau bahkan jengkel. Jengkel karena mungkin dengan sifat saya yang individual ini, pembawaan saya jadi terlihat seperti orang yang egois dan bahkan sombong. To be honest, saya sangat nyaman dengan diri saya, tetapi saya juga tidak ingin sifat saya ini menjadi bad impression buat saya. Cuma ya itu tadi, saking individualnya saya, terkadang saya tidak peduli dan ambil pusing terhadap apa yang orang katakan. Satu hal yang saya pikirkan adalah, saya tidak salah, hanya saja saya berada di lingkungan yang didominasi oleh budaya sosial.

Do you even have a friend? Yes I do! I do make friendssss. Bukan berarti orang yang individual itu sebatangkara alias nggak bisa berteman ya.. Hanya saja mungkin tipe pertemanannya yang berbeda. Orang-orang yang individual ini, biasanya jumlah temannya lebih sedikit, tetapi ikatan personalnya lebih kuat.

Satu hal yang sebenarnya ingin saya katakan di sini adalah bahwa tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk between being social or individual. Klise, tapi memang benar segala hal pasti ada positif dan negatifnya. One important tips, don’t be too extreme. Saya bukanlah contoh yang baik untuk ini. I’m extremely individual. Saya seringkali merasa canggung dan sulit beradaptasi dengan orang-orang baru. Terkadang saya menyakiti hati orang lain yang peduli dengan saya dengan cara menolak mereka masuk dalam lingkaran kehidupan saya, walaupun saya tahu niat mereka baik. Saya pun masih dan selalu akan terus belajar untuk mengatasi ini.

But, hey, no matter social or individual, being yourself will be the best thing, I guess. Yes, trust me..

Thursday, April 18, 2013

Ibu Mertua Oh Ibu Mertua (How to Deal with Beliau :))

Pada tulisan saya sebelumnya, saya menjanjikan akan menulis beberapa cara yang kira-kira bisa dipakai untuk 'berdamai' dengan mertua. Sebenarnya nggak masalah sih, saya mau bikin tulisan ini minggu depan kek atau malah bulan depan sebenernya juga nggak papa. Tapi.. Karena pacar saya sudah membaca tulisan saya yang sebelumnya dan saya khawatir dia jadi agak berpikir ulang buat menjadikan saya menantu ibunya, makanya saya cepet cepet bikin tulisan ini :p. Sebenernya tulisan saya sebelumnya nggak ada maksud sama sekali untuk menunjukkan bahwa punya mertua itu tidak enak, tapi ya memang begitu adanya. Dan begitu adanya pula tulisan saya yang setelah saya baca sendiri kok kesannya jadi agak paranoid soal ibu mertua. To be honest, bukan maksud saya (terus maksud siapa? :p) Yasudahlah, daripada saya nelangsa gagal dipinang, lebih baik cepat-cepat saya utarakan gagasan baik saya tentang ibu mertua :)

Namanya kita punya suami, pasti akan punya mertua dan terkhususnya ibu mertua. Nggak mungkin lah ya, kalau misalnya kita mau anaknya aja tapi nggak mau berbakti dan sayang juga sama ibunya, atau singkat kata nggak mau punya mertua. Kecuali beliau sudah meninggal sebelumnya. Dan bukan karena kita kasih racun atau tusuk pake pisau dapur :p Sebenarnya, bukan nggak mungkin kita nggak cocok sama ibu mertua, atau mungkin calon ibu mertua kita. Kenapa? Ya wajar, namanya juga ketemu gede, nggak semua orang yang kita temui bisa cocok sama kita kan? Begitu pula ibu mertua.

Ketidakcocokan ini macem-macem. Bisa jadi, kita belum terlalu kenal sama beliau tapi berhubung pas kita ketemu, mood beliau lagi nggak bagus dan dalam kondisi cemberut, kita langsung nge-judge "Wah, jutek amat.." atau "Wah, auranya buruk, galak.." dan lalu serta merta kita langsung nggak suka gitu aja. Atau misalnya cuma lihat penampilannya aja yang agak kayak nyonya-nyonya parlente, kita langsung ngebatin "Pasti kayak mertua-mertua sinetron nih.." dan sebagainya. Kalau kasus yang terjadi seperti ini, cobalah untuk berpikir lebih netral. Kita juga nggak suka kan kalau orang lain menghakimi kita cuma sekali lirik saja? Cobalah kenali lebih dalam, sering-sering ngobrol, berkunjung ke rumahnya, atau mungkin sharing sama pasangan soal ini. Kalau kita punya penilaian tentang calon ibu mertua kita yang kita sendiri masih ragu, jangan ragu juga untuk membicarakannya dengan pasangan. Tentunya, dengan bahasa dan intonasi yang tidak menghakimi dan jangan langsung menjelek-jelekkan. Ingat, somehow someway, calon ibu mertua kita itu orangtua pasangan kita, yang harus kita hormati juga. Pasangan kita pasti kenal betul sosok ibunya seperti apa. Bisa jadi dugaan kita keliru. Atau kalaupun benar, pasangan kita siapa tau bisa kasih masukan buat kita, supaya kita bisa bersikap sesuai dengan tipe ibu mertua, bukan dalam arti menuruti segalanya, tapi lebih ke menyesuaikan diri. Mungkin, dari pasangan kita sendiri, kita malah bisa belajar banyak bagaimana cara-caranya supaya kita bisa menjalin hubungan dengan baik, dengan ibunya.

Tapi gimana, kalau kasusnya ternyata kita sudah mengenal calon ibu mertua kita luar-dalam, sudah bukan dalam taraf menduga-duga lagi dan ternyata kita bisa dibilang nggak ada kecocokan sama sekali atau bahkan bisa dibilang bertolak belakang sama calon ibu mertua kita?

Kalau nggak cocok sama sekali dengan ibu mertua? Misalnya bener-bener berbeda gaya hidup 180 derajat, atau kita bener-bener nggak suka sama sekali atau bener-bener... You know lah. Saran saya : stop sampai di sini dan jangan dilanjutkan. Jangan menikah. Menikah itu berbeda dengan pacaran. Menikah itu hidup berkeluarga dan mau nggak mau harus menyatu dengan keluarga dia juga. Nggak bisa lah, kita mau anaknya tapi nggak mau ibunya. Daripada suami pusing tujuh keliling gara-gara istri dan ibunya ibarat anjing dan kucing, lebih baik cari yang lain, yang ibunya masih bisa anda tolerir. Secinta-cintanya anda dengan pasangan anda kalau sudah begini ceritanya, jangan diteruskan. Sekian.

Kalau ketidakcocokannya hanya berupa hal-hal yang bisa ditoleransi seperti perbedaan selera atau perbedaan orientasi hidup dalam hal-hal kecil, okelah kalau mau lanjut ke jenjang pernikahan. Dengan catatan, ibu mertua kita (dan juga kita) adalah orang yang demokratis, menghargai privacy dan sama-sama berjiwa besar bin penuh toleransi. Kalau sifat-sifat yang saya sebutkan barusan ada dalam taraf yang cukup besar, maka bukan hal yang mengkhawatirkan kalau kita dan ibu mertua sering-sering berinteraksi bersama seperti misalnya belanja bareng, masak bareng atau mungkin mengurus anak. Tapi kalau tidak, dalam artian baik ibu mertua atau kita sama-sama agak 'dingin', ada baiknya kita tinggal jauh dari mertua, entah di daerah yang agak jauh tetapi masih dalam satu kota atau di luar kota sekalian. Bukannya nggak sayang atau nggak mau ngurusin atau gimana, tetapi lebih kepada meminimalisir gesekan dan konflik. Tentunya, hal-hal seperti ini harus dibicarakan dulu baik-baik dengan pasangan sebelum menikah. Tetapi tetap saja, jagalah hubungan baik dengan ibu mertua, yah, minimal setahun sekali tetap sungkem dong ya kalau Lebaran :) Lebih enak memang, kalau kita ketemu beberapa kali dalam beberapa kesempatan tapi dalam kondisi damai dan penuh rasa kangen daripada berinteraksi setiap hari yang malah akan memantik konflik.

Lalu bagaimana dengan suami dan anak-anak? Jangan sesekali memutuskan hubungan mereka dengan ibu mertua yang dalam hal ini sebagai ibu dan nenek. Berikan ibu mertua kita kesempatan untuk tetap menjadi ibu dan merasakan indahnya pengalaman sebagai nenek. Kita saja yang sebagai menantu tetap harus berinteraksi dengan ibu mertua kita (siapa tau beliau juga ingin merasakan rasanya punya anak perempuan). Kadangkala, kita perlu memberikan semacam 'me time' untuk suami kita dan ibunya. Sesekali, biarkanlah suami kita pulang ke rumah ibunya (tanpa kita dan anak-anak) untuk sekedar melepas kangen dan bermanja-manja layaknya ibu dan anak. Biarkan suami kita menikmati saat-saat kebersamaannya dengan ibunya tanpa ada kita. Karena terkadang, kehadiran kita membuat suami dan ibu mertua kita tidak bisa mengekspresikan rasa kangennya dengan leluasa. Dengan anak-anak kita pun begitu. Sesekali di akhir pekan, biarkan anak-anak menginap di rumah kakek-neneknya tanpa kehadiran kita dan suami. Biarkan anak-anak beradaptasi dengan suasana rumah kakek dan neneknya. Walaupun, untuk kebersamaan anak-anak dengan kakek neneknya tidak boleh diberikan porsi yang terlalu banyak. Kenapa? Karena pola asuh orangtua dan kakek nenek yang pasti akan jauh berbeda. (Later we'll discuss it)

Yang jelas, bisa dikatakan, jangan bersikap posessif terhadap anak dan suami, walaupun kita tinggal berjauhan dari mertua. Karena dengan memisahkan mereka dari ibu mertua kita, itu namanya membuat ibu merta (dan juga mereka) menderita.

Dibutuhkan juga kebesaran hati kita sebagai menantu. Seperti yang sudah saya tulis di tulisan sebelumnya, ibu mertua kadangkala punya niat baik (yang tidak lagi jadi baik di mata menantu) untuk mengajari kita segala sesuatu hal (yang kadang sebenarnya kita juga sudah bisa walaupun dengan cara berbeda) dan mengintervensi segala urusan rumah tangga kita, termasuk mungkin soal mendidik anak. Kalau kita menanggapi semuanya dengan pikiran negatif, percayalah, kita yang capek sendiri. Sesekali, cobalah dengarkan baik-baik, siapa tau kata ibu mertua itu benar dan justru kita malah jadi terbantu. Kalau misalnya berbeda, coba dicoba dulu, siapa tau bisa kita terapkan juga. Tapi kalau ternyata apa yang ibu mertua kita katakan itu salah dan sudah kita buktikan dengan referensi yang meyakinkan seperti informasi dari artikel, majalah atau buku-buku, jangan langsung menyalahkan atau bahkan menghakimi ibu mertua. Atau bahkan salah-salah kita malah terang-terangan mengajari ibu mertua. Jangan lakukan itu. Ibu mertua memang suka mengajari, tetapi beliau paling tidak suka diajari, apalagi sama menantunya. Karena somehow, beliau akan merasa lebih berpengalaman, walaupun jaman sudah berganti dan berkembang.Kalau misalnya kita nggak mau menuruti saran ibu mertua yang kita anggap tidak sesuai, coba, alih-alih mengajari yang sebaliknya pada beliau, ajak beliau untuk membaca artikel atau majalah yang kita baca. Siapa tau kalau beliau ikut membaca, beliau bisa lebih terbuka pikirannya dan mau menerima pendapat kita. Alih-alih bilang "Itu nggak boleh Ma, yang bener itu......." coba bilang "Ma, coba deh liat ada artikel tentang cupfeeder Ma, liat deh, masa ternyata katanya lebih sehat pake cupfeeder daripada dot.." Tapi, caranya harus pelan-pelan, tidak boleh memaksa dan intinya harus tetap menghargai dan menghormati beliau.

Bagaimana dengan tinggal serumah? Perlu saya tegaskan (menurut saya), kita boleh tinggal di Pondok Mertua Indah hanya kalau kita bisa akuuuurr sekali dengan mertua dan kita sejalan sehati sepikiran sepaham dengan beliau. Kalau ada perbedaan sedikit saja? Lebih baik jangan. Dengan suami yang kita anggap orang yang bisa kita ajak berbagi kehidupan, yang pastinya (kita mencarinya yang) punya sedikit perbedaan dengan kita saja pasti kalau sudah serumah akan banyak gesekan dan benturan, bagaimana dengan ibu mertua? Ibu mertua nggak bisa milih kan? :) Kalau kita saja sebagai nyonya rumah kerap berkonflik, gimana kita mau membangun suasana rumah yang tenang dan kondusif? Lagipula, kita sebagai nyonya rumah juga perlu otoritas tersendiri sebagai istri dan ibu rumah tangga. Percayalah, rumah tangga dengan dua wanita yang sama-sama (dan pernah) berperan sebagai istri dan ibu, pasti tidak akan baik situasinya. Situasi yang tidak baik seperti apa? Pokoknya banyak, complicated dan bermacam-macam. Dengarkan saja curhatan para istri yang tinggal dengan ibu mertua. Belum sampai 5 menit, anda akan paham.


Masih banyak yang akan saya tuliskan tentang ibu mertua. Lagi-lagi, just wait :)

Tuesday, April 16, 2013

Ibu Mertua Oh Ibu Mertua (Ibu Mertua vs Menantu Perempuan)

Perlu dijelaskan sebelumnya bahwa saya, penulis, bukanlah seseorang yang sudah berpengalaman dalam hal pernikahan, bukan istri orang (belum sih, belum dipinang :p), bukan pula janda. Ini hanya curcol-curcol singkat mengenai ibu mertua dari pandangan seorang gadis -yang belum menikah-.

Ibu mertua ini, kalo boleh saya ibaratkan dalam cerita, mungkin akan digambarkan sebagai tokoh yang susah diklasifikasikan apakah beliau ini pemeran utama dalam sebuah kehidupan pernikahan (pernikahan anaknya) atau sekedar figurannya. Mau dibilang pemeran utama, rasa-rasanya kok nggak pas begitu, namanya juga pernikahan, pasti pemeran utamanya ya suami dan istri. Anak-anak buah pernikahan saja kadang dianggap bukan bagian dari pemeran utama, masa iya ibu mertua masuk? Tapi, kalau cuma figuran, kadang kala (bilang aja seringkali gitu ya) campur tangan ibu mertua masuk ke dalam ranah domestik rumah tangga. Nah?
Kehadiran ibu mertua di dalam kehidupan rumah tangga seringkali menimbulkan banyak konflik dan 'cerita' bagi para pasangan yang menjalaninya, khususnya, kali ini yang akan saya bahas adalah hubungannya dengan menantu perempuan.
Dalam budaya Indonesia, namanya pasangan baru menikah (atau bahkan sudah lama menikah), pasti nggak akan pernah bisa lepas dari bayang-bayang mertua. Bayang-bayang mertua dalam hal ini bukan hanya masalah finansial saja, tapi juga masalah pertalian keluarga. Namanya orang Indonesia, yang namanya pernikahan itu ekuivalen dengan persatuan dua keluarga. Keluarga suami akan jadi keluarga istri juga dan begitu pula sebaliknya. Nggak mungkin lah ya kita bisa lepas begitu aja, langsung hidup bahagia berdua selamanya. Bisa-bisa kita dicap sebagai anak durhaka nggak tau balas budi. Gawat kan?
Nah, itu berarti setelah menikah, kita akan punya orang tua baru. Berbakti sama sepasang orang tua aja udah susah, gimana ceritanya kita punya sepasang lagi ya kan? Padahal, kita bukan lagi dalam posisi layaknya anak kecil yang setiap menit dan detiknya membutuhkan orangtua. Namanya masa-masa kedewasaan adalah saatnya kita menjalani kehidupan dengan otoritas semaksimal yang kita punya. Masa-masanya kita mewujudkan impian masa kecil dan berbagai hal yang mungkin berbenturan dengan idealisme orangtua kita. Nah ini malah ditambah orangtua satu pasang lagi?
Inilah yang kadang-kadang menjadi gesekan antara menantu dan mertua. Ketika sang menantu berusaha membangun kehidupan rumah tangga sesuai dengan mindset dan keinginannya, muncullah sang mertua (yang mungkin sebenarnya bermaksud baik) dengan segala petuah dan nasehatnya. Petuah dan nasehatnya inilah yang kadang membuat sang menantu tersinggung. Mending kalo sekedar petuah, saran atau nasehat. Kadang-kadang ibu mertua ini terlalu ikhlas untuk menyumbangkan kontribusinya dalam hal tenaga, ide, waktu atau bahkan uangnya yang membuat para menantu-menantu ini terpaksa bertekuk lutut. Kalau kita menolak dengan halus misalnya, mungkin dalam kesempatan berikutnya ibu mertua ini tidak lagi datang bersama kontribusinya, tapi bersama segala macam kritik yang siap dilontarkan kepada cara kita berumah tangga. Wajar sih, namanya orang baru membangun rumah tangga, pasti ingin agar rumah tangganya berjalan sesuai caranya sendiri. Rasanya kalau orangtua atau mertua masih campur tangan, kesannya seperti kita dianggap tidak becus (atau tidak sehebat beliau). Betul tidak? Sedangkan para mertua, mungkin dengan power yang setelah berpuluh-puluh tahun mereka miliki sebagai orangtua (yang berkuasa atas anak) rasanya agak kurang ikhlas menyerahkan kehidupan anak mereka, yang mereka sayang-sayang, yang mereka besarkan dengan susah payah, kepada orang lain alias menantu, khususnya menantu perempuan. Makanya, dua wanita yang kerap kali membuat para suami ini galau kerapkali susah akurnya.
Wait. Kalau masalah ikut campur, rasa-rasanya orangtua kita sendiri juga sering ikut mencelupkan tangannya ke rumah tangga kita? Well, jujur atau tidak, rasanya pasti beda. Orangtua ya tetap orangtua. Pertalian darah tidak bisa diingkari, pasti ada perasaan maklum yang ada dan timbul dalam hati kita kalau orangtua kita sendiri yang ikut campur. Kalau mertua? Ibaratnya, orangtua bukan, baru kenal kapan hari, ketemu gede, kok ngatur-ngatur sih? Hayo, iya kan? :) *senyum pengertian*
Back to topic, kenapa para ibu mertua ini seringkali nggak bisa akur dengan para menantu perempuan? Bahkan, pernah dalam suatu kuliah kebudayaan, seorang dosen yang merupakan wanita-Jawa-totok ini mengatakan bahwa namanya ibu mertua sama menantu perempuan, sampai kiamat pun nggak akan pernah akur. Katanya, kalau akur pun pasti masih ada ganjalan berupa badai-badai kecil di dalam hati. Akur aja masih pakai badai lho, gimana nggak akur coba. Sebenernya ketidakakuran para ibu mertua berikut menantu cantiknya ini bukan karena mitos, budaya atau bahkan konstruksi sosial. Ketidakakuran ini bisa dijelaskan menggunakan akal sehat kok, karena ada faktor psikologis yang mempengaruhinya.
Well, namanya anak laki-laki, dalam sebuah keluarga pasti memiliki nilai tersendiri. Pasti namanya anak laki-laki, akan jadi penerus keturunan, akan jadi kebanggaan tersendiri, mungkin nantinya akan jadi tulang punggung keluarga, jadi citra nama baik keluarga (pengangkat derajat) dsb. Kasarannya sih, dalam beberapa budaya (apalagi budaya kita masih banyak yang partriarkhial), anak laki-laki ini ibarat 'aset' kebanggaan keluarga. Anak perempuan juga sih, tapi somehow pemegang porsi terbesar adalah anak laki-laki. Wajar kan, kalau namanya anak kebanggaan keluarga ini disayang-sayang banget sama ibunda tercinta. Apalagi, namanya anak laki-laki dan ibunya punya satu relasi batin tersendiri, yang berbeda dengan relasi ibu dan anak perempuannya yang biasanya ditandai dengan aktivitas-aktivitas yang dilakukan bersama, seperti memasak, belanja, bergosip dll. Nah, karena ibu dan anak laki-laki jarang punya aktivitas yang bisa dilakukan bersama, bukan berarti hubungan mereka jadi lebih rengggang. Malah, bawah sadar mereka masing-masing justru berusaha mencari ikatan emosional yang kuat. Sering kan kita dengar, anak laki-laki biasanya lebih manja atau punya ketergantungan khusus sama ibunya, entah kalau sakit, atau kecanduan masakan mama dll. Sebaliknya, sang ibu yang biasanya mewanti-wanti anak perempuannya untuk bisa hidup mandiri (mengerjakan pekerjaan rumah sendiri misalnya) justru akan dengan tanpa berat hati menanjakan anak laki-lakinya. Itulah ciri dari ikatan batin ibu dan anak laki-lakinya.
Ketika anak laki-laki ini mulai punya pacar atau bahkan calon istri, seringkali para ibu ini dilanda rasa khawatir. Khawatir anaknya tidak lagi membutuhkan (baca : bermanja-manja) peranannya sebagai seorang ibu lagi, karena sudah ada istri yang seolah menggantikannya. Ada benarnya sih, karena namanya setelah menikah, segala urusan sang suami pasti menjadi kewajiban istri. Namanya istri, harus melayani suami, itu pasti. Kalau dulu yang menyiapkan sarapan pasti ibunya, sekarang sudah menjadi kewajiban istri.
Kekhawatiran ini, kalau dosisnya berlebihan, bisa berubah dengan cepat menjadi kecemburuan. Seringkali ibu mertua justru memandang calon menantunya ini sebagai calon saingannya as well.
Masa sih? Iya. Beneran. Coba kita pikir, wajar nggak kalau ibu mertua kepikiran, bisa nggak ya menantuku ini ngurusin anakku (lebih baik dari aku)? bisa nggak ya menantuku ini ngurus rumah? bahkan sampai yang paling sensitif, menantuku ini bakalan ngabisin gaji anakku nggak ya? -kalo ini sih biasanya buat yang anak laki-lakinya jadi tulang punggung keluarga-
Walaupun saya belum jadi mertua (wong jadi menantu saja belum :p) saya bisa membayangkan perasaan beliau. Pasti mereka takut calon menantunya ini akan menguasai hidup anaknya atau bahkan merenggut anaknya dari kehidupannya. Ketakutan berikutnya adalah ketika mereka merasa tidak lagi berguna atau memiliki peranan (semacam post power syndrom) terhadap kehidupan anaknya. Asal tau saja, hal yang paling dianggap menakutkan bagi orangtua adalah menjadi tua dan tidak berguna. Sehingga, ketakutan-ketakutan macam tadi adalah hal yang wajar.
Kekhawatiran ibu mertua ini menjadikan hati dan mata mereka berubah menjadi 'scanner' yang luar biasa. Baik masih calon menantu ataupun sudah jadi menantu, wanita yang dianggap saingannya ini tidak pernah luput dari perhatiannya. Entah gerak-geriknya, cara berpakaian, perkataan, tindak tanduk dan lain-lain. Kalau sudah jadi istri, masakan kita, cara kita mendekor rumah, cara kita meladeni suami, atau kalau kita sudah punya anak ya cara kita mengurus anak, pasti tidak akan pernah luput dari 'scanner'nya.
Keadaan inilah yang jadi dilema bagi para menantu perempuan. Kalau kita termasuk dalam jajaran istri pemalas yang misalnya lebih mementingkan urusan karier daripada berkutat di rumah sehingga rumah terbengkalai atau suami jadi nggak betah di rumah, pasti ibu mertua akan ngomel-ngomel, mengecap kita sebagai istri nggak becus dan (mungkin) menganggap kita menantu durhaka. Kalau kita adalah gadis belia yang menikah muda misalnya, atau kalau dulu di rumah jarang mengerjakan pekerjaan rumah sehingga ketika berumah tangga kita tergagap-gagap dan tidak tau apa-apa, ibu mertua pasti akan dengan senang hati mengambil alih semua urusan rumah tangga sambil mengajari kita (yang di mata menantu berubah menjadi menggurui aka mendikte) yang kadang diwarnai dengan sindir menyindir. Kalau kita sebenarnya punya konsep berrumah tangga yang berbeda dengan ibu mertua (lebih modern misalnya), yang sebenarnya juga bagus, pasti ibu mertua akan melakukan intervensi dan koreksi disana-sini (yang akan ditanggapi dengan muka cemberut oleh para menantu) karena merasa beliau lah nyonya rumah paling handal untuk akan laki-lakinya. Kalau kita pinter masak, telaten ngurusin suami, piawai menimang bayi, lemah lembut ayu bak bidadari -pokoknya sebagai istri sempurna bahkan di mata mertua-, tak jarang bukan pujian yang kita dapat, tetapi justru kritikan ibu mertua (yang dibuat-buat) karena beliau takut anak laki-lakinya ini akan sangat betah di rumah bersama istrinya dan tidak lagi pulang ke rumah masa kecilnya.
Rumit? Amat sangat. Saya saja kadang takut lho punya mertua. Bukan apa-apa, kadang saya bingung menetukan sikap harus seperti apa.
Satu hal yang harus kita ingat, ketika kita mencintai anaknya, cintailah juga ibunya (ngetik aja gampang, praktek? Saya saja yang baru sampai di level pacaran sudah bisa membayangkan kalau susahnya setengah mati).
Susah bukan berarti tidak bisa. Di tulisan saya berikutnya, akan ada semacam cara-cara yang bisa kita lakukan untuk tetap akur dengan ibu mertua. Just wait :)

Wednesday, April 10, 2013

Balada Noktah Merah Perkawinan

Buat yang pernah hidup di tahun 90an atau bahkan yang juga hanya numpang lewat sebentar menghabiskan masa kecil (seperti saya) pasti tau dong ya sinetron yang satu ini.. *muka antusias*
Ini nih, salah satu sinetron unggulan tahun 90an, Noktah Merah Perkawinan..
Sinetron ini tayang di sekitar pertengahan tanhun 90an, jaman saya masih playgroup atau TK kalo nggak salah. Jangan dikira mentang-mentang saya masih bertampang inosen terus saya nggak ngerti masalah sinetron-sinetronan yaaa... Beuh. Kayanya walaupun saya masih mungil nan imut-imut, jiwa buntil (baca : ibu2 centil) saya udah mulai keluar. Entah karena asuhan pembantu atau karena sering ditinggal ibu saya ke kantor atau karena memang naluri buntil saya udah terasah hebat, akhirnya saya pun kecanduan nonton sinetron ini. Bisakah masuk dalam bayangan anda begitu, anak umur 5 tahun hafal hampir semua adegan sinetron? Mungkin ini bakat terpendam saya. Kalau anak kecil yang lain berbakat menyanyi atau nari ballet, saya berbakat nonton sinetron.
Tapi dari sekian banyak sinetron yang saya tonton, sinetron inilah yang paling membekas di hati saya (yang kedua adalah Pernikahan Dini). Mungkin karena jalan ceritanya menarik, realistis, masuk akal dan relatif nggak berbusa-busa mungkin ya. Karakter ini jugalah yang dipunyai beberapa sinetron populer lainnya di era 90an, yang nggak dipunyai oleh sinetron-sinetron jaman sekarang.
Kalau mau dibandingkan, sinetron era 90an itu jauh lebih berkualitas dibandingkan dengan sinetron jaman sekarang baik dari segi jalan cerita, konflik dan alur, pemilihan pemain, pesan moral, bahkan sampai ke make up para pemainnya segala yang jauh lebih natural dan tidak terlalu 'cantik' (ex : pembantu ya dibuat muka pembantu, nggak kaya sekarang, pembantu kok sama cantiknya sama anak majikan -.-)
Dan lagi-lagi. Walaupun sinetron era 90an kebanyakan oke-oke semua, tetep di hati saya Noktah Merah Perkawinan juaranya. Bahkan, tahun 1999, waktu dibuat sekuel Noktah Merah Perkawinan 2, saya tetap setia mengikuti. Tahun 2004an (kalau nggak salah) ketika sinetron ini dtayangkan ulang di ANTV, saya girang setengah mati. Mungkin karena pada saat itu saya sudah lebih besar (tetep aja sih masih SD) sehingga saya bisa menikmati ceritanya dengan penuh perasaan dan logika yang udah bisa diajak jalan *walaupun masih merangkak dan sering gagal paham. Tapi at least, saya bisa menikmati seluruh adegannya (termasuk tampar menampar) tidak lagi dengan tatapan lugu. Yang pasti udah lebih ngerti lah ya..
Noktah Merah perkawinan ini berkisah tentang rumah tangga Mas Pram (Cok Simbara) dengan Ambar (Ayu Azhari) yang telah dikaruniai dua anak, Bagas dan Ayu. Rumah tangga mereka berada di ambang kehancuran karena kemunduran perusahaan Pram yang meninggalkan banyak hutang *kalo enggak salah inget ya. Nggak tau gimana (baca : lupa), sepertinya kemunduran perusahaan itu berimbas ke masalah ekonomi rumah tangga sampai akhirnya Ambar kembali bekerja lagi sebagai model dan ditentang Pram karena alasan anak-anak. Akhirnya, mereka berdua resmi bercerai setelah seringkali berantem hebat. Nah, dari adegan berantem ini nih, yang paling saya inget, adegan dimana mereka masuk kamar, banting pintu, berdiri di pinggir ranjang, terus Pram menampar Ambar dan lalu (dapat dipastikan) Ambar akan bilang kurang lebih begini :
"Ayo mas, tampar! Tampar lagi.. tampar mas!! Tampaaaarr...!!"
"Lancang kamu Ambar!" (jadi inget kumisnya :p)
Hahahaha, *malah ketawa*. Memang sih, adegan ini sepertinya jadi adegan yang paling diinget sepanjang masa oleh semua pemirsa setia noktah merah perkawinan :) Selain adegan itu, adegan yang juga paling saya inget adalah ketika malam hari, hujan lebat dan Ambar kabur dari rumah sambil menggendong Ayu (apa Bagas ya? lupa deh). Adegan itu, entah kenapa terlihat oh-yeah-so-dramatis buat saya.
Nah, singkat cerita, Pram pun menikah lagi dengan Yulinar (Berliana Febrianti), seorang wanita yang digambarkan ala-ala Jawa (pasrah, nrimo, lemah lembut dan ayu) yang sangat berlawanan dengan Ambar yang meledak-ledak. Yulinar ini cemburu sama Pram yang sebetulnya masih cinta sama Ambar dan juga sebaliknya, Ambar sebetulnya masih cinta sama mantan suaminya itu. Walaupun Yulinar ini kalem lemah lembut, bukan berarti dia nggak bisa emosi dong. Sekalinya emosi, beuh, langsung bakar taplak dan alhasil Yulinar ikut kebakar gosong dan masuk rumah sakit. Ini nih, juga masuk memorable scene versi saya, dimana Yulinar dgn muka dan badannya yang gosong-gosong gimana gitu dilarikan ke RS pake brankar.
Ngomong-ngomong, ini nih rupa para pemainnya :

Memang sih, sinetron ini menghadirkan banyak adegan kekerasan rumah tangga alias KDRT. Tapi tenang, Tuhan melindungi anak kecil yang suka nonton sinetron sehingga saya nggak sampai terpengaruh atau bahkan trauma berat ala-ala depresi gitu. Tapi somehow, sinetron ini asli natural banget dan realistis. Nggak ada tuh adegan kecelakaan mobil berasap yang tiba2 pengemudinya masuk rumah sakit dgn kepala diperban dan tetep cantik. Yang ada ya Yulinar yang kebakaran, gosong beneran. Atau adegan amnesia ala-ala hilang ingatan terus tiba-tiba hidupnya berubah 180 derajat. Semuanya disini mengalir sengalir-ngalirnya sampai anak TK aja terhipnotis lho! :)
Bahkan disini juga sangat jelas tergambar bagaimana kehidupan rumah tangga yang hancur berantakan membawa banyak dampak negatif baik bagi yang menjalani atau bahkan anak-anaknya. Bener-bener banyak pesan moralnya, tidak seperti sinetron jaman sekarang yang ala-ala pepesan kosong.
Yang jelas masih saya simpan adalah soundtrack Noktah Merah Perkawinan yang mengharu biru dan mendayu-dayu menguras air mata. Saya setia banget kayanya tiap hari dengerin lagu itu. Mungkin kalau pacar saya tau, bisa ilfil dia :)

Ada noda dalam hidupku
Melukai relung hatiku
Telah aku ingkari buah hati sendiri
Ku tak tahu lagi
Semuanya telanjur terjadi
Semuanya tak bisa kuhindari lagi

Dulu cinta kupersembahkan
Untukmu sampai akhir zaman
Tapi kau telah ingkar
Semua jadi pudar
Cinta kita hancur
Tinggal puing terpendam terkubur
Dalam hati yang kini telah hancur
Karena...

Noktah merah perkawinan
Telah menghancurkan mahligai cinta
Dan juga buah hati kita

Kini hanya bisa menangis sendiri
Hanya bisa bercanda dalam sepi
Berat hati kita terdiam di sini
Hanya bisa bercanda dalam mimpi