Friday, October 14, 2016

Untitled



Ada kala kita bahagia. Saking bahagianya, kita sampai kehabisan kata.

Ada kala kita sedih. Saking sedihnya, kita sampai kehabisan air mata.


Dengan kamu, aku pernah merasakan semuanya.


Aku kerap kali bahagia luar biasa.

Itu adalah saat-saat aku diijinkan semesta menghabiskan detik demi detik kebersamaan kita. Baik bersama dengan dua gelas kopi, atau hanya kita berdua dengan gejolak batin kita. Baik dalam keheningan ketika mulut kita sama-sama terkunci tapi pikiran kita melayang jauh, atau dalam kisah-kisah yang tak pernah usai, yang keluar dari bibir kita, seolah diburu waktu untuk menyelesaikannya. Percayalah, saking bahagianya aku, berdebat dengan kamu pun akan selalu aku rindukan, sebagai momen yang memacu adrenalinku, yang membumbung karena tatapanmu yang berpendar tanpa surut.


Aku kerap kali sedih luar biasa.

Itu adalah saat-saat aku membayangkan apa yang tidak mungkin kita raih. Saat-saat dirimu menyerahkan seluruh jiwa ragamu pada pelukan yang lain. Pelukan yang memang seharusnya menjadi rumahmu, selamanya. Terpisah darimu, bukan berarti aku meniadakan bayanganmu di benakku. Justru semakin jauh, semakin anganku melayang, berusaha menciptakan skenario duplikat dari kenyataan, yang harus aku telan. Pahit. Iya, pahit, jika kamu mau tahu apa rasanya. Tapi itu kenyataannya. Seolah kita berjalan jauh, sembari merajut benang-benang perasaan kita. Kenyataannya, rajutan kita kusut dan tak pernah berwujud. Kita hanya gumpalan benang yang saling bergelut satu sama lain, karena kita memang bukan untuk dirajut. Bukan untuk dijadikan segulung kain yang memanjang, yang bisa kita tapaki.




Ada kala kita lelah. Saking lelahnya, kita sampai tidak bisa membedakan mana air mata dan mana kata.


Perasaaan, tidak hanya diungkapkan melalui kata-kata, tetapi juga air mata. Dengan kamu, entah tak terhitung berapa kali aku berusaha menahan agar air mata ini tidak menetes sia-sia. Sia-sia, karena kamu tidak membutuhkan air mataku. Yang kamu cari adalah senyum dan kebahagiaanku, yang bisa membuatmu nyaman, bahkan lupa sejenak pada kenyataan. Kenyataan, yang ironisnya justru tidak boleh aku lupakan.


Suatu ketika, pertahananku pernah nyaris goyah, bahkan runtuh.

Ingatkah kamu, ketika kamu tak bisa lagi menahan diri untuk bercerita, bahwa jauh di lubuk hati terdalammu kamu menyimpan setumpuk perasaan bersalah. Perasaan bersalah yang kamu simpan, untuk sebuah hati yang menjadi tumpuan hidupmu. Hati yang bukan hatiku.


Dalam hitungan detik, aku coba meyakinkanmu untuk tak perlu merasa bersalah. Aku meyakinkanmu bahwa hatinya terlalu tak perlu untuk kamu beri rasa bersalahmu. Bahwa hatinyalah yang membuatmu terbang hinggap di hati yang lain.


Kala itu, yang kamu lihat adalah pertahanan yang berusaha dipertahankan dalam hitungan detik.

Karena sesungguhnya jauh dalam lubuk hatiku, aku juga ingin diberikan rasa bersalahmu. Aku tidak sekuat yang kamu kira. Aku juga punya hati yang mudah tercabik, tanpa kamu harus tahu itu. Yakinlah, aku tidak ada bedanya dengan hati yang kau hujani dengan perasaan bersalah.
Aku sangat bisa mencemburuimu, tanpa aku harus memilikimu tanpa kurang.



Ada kala kita tidak mau menerima kenyataan. Sampai kita tidak lagi bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang ilusi.

Belum hilang dari ingatanku. Ketika kenyataan pahit itu harus kudengar. Kita bisa menahan nafas, menahan diri untuk tidak bicara, tapi kita tidak bisa menahan pendengaran kita untuk menutup salurannya rapat-rapat. Membuang jauh hal yang tidak ingin kita dengar. Termasuk kejujuranmu yang begitu menamparku.

Berdua, duduk bersisian, kamu dengan terbata menunjukkanku keberadaannya. Keberadaan hati yang bukan hatiku, yang kukira selama ini tiada. Kejujuranmu memindahkan letakku di hadapanmu. Aku bukan lagi di sisimu, tapi aku ada di antara kalian.

Detik itu aku berjanji, setelah pelukan kita yang aku yakini harus menjadi yang terakhir, aku akan menutup pintu mobilmu, juga pintu hatiku, lalu berjalan pulang. Sambil berjanji tak akan pernah melihatmu lagi demi apapun.
 
Tapi demi apapun, pelukanmu terlalu nyaman untuk ditinggalkan. Pelukanmu terlalu mudah menyusupi anganku. Bahkan ketika aku kesepian, aku kerap membayangkan keberadaan telapak tangan dan ujung jemarimu, dipunggungku. Yang kadang lalu berpindah mengacak rambutku. Aku kerap membayangkan kepalaku bersandar di bahumu yang kokoh. Mengirup wangi musk yang membuatmu makin sulit kulupakan.

Hitungan detik aku memutuskan untuk tak lagi sudi melihatmu, tetapi hitungan malam aku tak bisa memejamkan mata yang tergenang oleh air mataku. Entah apa yang aku tangisi. Apakah kejujuranmu, apakah kenyataan yang tak bisa aku terima, atau apakah aku yang terlalu lemah melawan keinginanku menikmati pelukanmu.

Hingga akhirnya aku menyerah. Aku tidak sanggup melewati hari demi hari tanpa melihatmu lagi. Kamu sangat disayangkan untuk dilewatkan, pikirku pada waktu itu. Jadilah satu pertemuan tersembunyi, ke puluhan episode kelanjutannya. Satu pasang gelas kopi, ke lusinan gelas lainnya.

Begitu indahnya sampai kadang aku lupa, siapa aku dan siapa kamu. Parahnya, kadang aku lupa kalau ada yang bukan aku. Perjalanan kita terlalu memacu adrenalinku, yang membuatku lebih menikmati ilusinya daripada kenyataanya.


Ada kala kita terlalu banyak berpura-pura. Sampai kita lupa cara kita menjadi diri kita sendiri.

Bersama dengan kamu, aku menjelma menjadi hati yang terlihat kuat. Aku belajar untuk tidak mengumbar perasaan, aku belajar untuk menerima keadaanku yang tak terlihat. Aku belajar untuk tetap tenang mendengarkan segala keluh-kesah persoalanmu, entah di rumah atau di tempatmu bekerja. Karena itulah yang kamu cari. Kamu mencari pelarian dan tempat, di mana kamu akan merasa nyaman dan tenang. Maka aku harus juga nyaman dan tenang. Demi diriku sendiri. Dan demi kamu tentunya.

Padahal jauh dibalik ketenanganku, aku menyimpan jutaan kegamangan. Jutaan kegamangan yang ditimbulkan oleh satu sosok, kamu.

Perlahan aku sadar. Bukan hanya pelukan yang aku butuhkan. Bukan hanya tatapan matamu yang berpendar yang aku cari. Bukan hanya kesenangan sesaat diiringi dengan adrenalin yang terpacu yang akan membuat kita bertahan.

Dengan jujur aku katakan, aku butuh lebih dari sekedar itu.
Aku butuh lebih dari sekedar yang menggenggam tanganku sembunyi-sembunyi. Aku butuh lebih dari sekedar yang menatap wajahku.
Aku butuh yang bisa kugenggam tangannya tiap saat. Aku butuh yang bisa melihat hatiku.

Aku sama seperti perempuan kebanyakan, yang bisa mengungkapkan kepemilikannya. Yang tidak perlu bersembunyi dari apapun juga. Yang tidak perlu takut mengira-ira, karma macam apa yang akan diterimanya kelak.


Ada kala kita melangkah terlalu jauh. Sampai kita lupa jalan untuk kembali pulang.

Semakin jauh kita melangkah, percayalah, kita semakin terkubur dalam lubang yang kita gali sendiri. Semakin aku sering melihatmu, kelak akan semakin susah bagiku untuk lepas darimu. Semakin aku mengenalmu, semakin aku tahu bahwa semua yang aku mau, terdapat dalam dirimu.

Dan itu menyakitkan buatku.

Karena aku tau, tidak untuk selamanya kita akan terus begini. Suatu ketika, kamu harus kembali pulang. Suatu ketika, aku harus menemukan rumahku sendiri. Kita harus mengubur dalam-dalam puing persinggahan kita. Semakin lama kita menjalani ini semua, semakin banyak puing persinggahan yang harus kita kubur. Semakin banyak yang harus kita kubur, semakin sulit bagi kita untuk melakukannya.



Aku berhenti, bukan karena aku tidak mencintai.

Mencintai itu butuh tenaga, daya, dan upaya. Ada saatnya aku sudah tidak sanggup lagi. Mencintai sesuatu yang tidak benar, butuh upaya lebih untuk menciptakan ilusi pembenarannya. Di titik itulah, aku tak lagi merasa sanggup.

Mencintai itu datang, dari apa yang ditakdirkan Tuhan. Kita sebagai manusia hanya bisa menerimanya. Kita pulalah, sebagai manusia, yang tahu kapan harus berhenti. Sebelum Tuhan menghentikan dengan cara-Nya, yang belum tentu kita sanggupi.

Percayalah, Tuhan mempertemukan kita bukan tanpa maksud. Jangan pernah menyalahkan-Nya untuk itu. Walau sampai detik ini, mungkin kita belum bisa menerjemahkan apa kehendak-Nya.


Aku berhenti, justru karena aku mencintai.
Aku mencintai kamu, maka aku menginginkan kehidupan yang tenang untukmu.
Aku mencintai diriku sendiri, maka aku menginginkan hatiku yang damai.
Aku mencintai kita berdua, maka aku menginginkan masa depan yang sama baiknya untuk kita.


Pulanglah, kepada hati yang selalu setia menunggumu di rumah. Bukan di persinggahan, bukan pula di persembunyian.
Kembalilah pada hidup yang wajar, seperti sebelum kita dipertemukan untuk mencicipi dosa yang paling manis yang pernah ada. Karena kebaikan bertahan selamanya, namun tidak dengan dosa.


Jika kelak kita bertemu tanpa sengaja, ingatlah betapa kita saling mencintai, maka itu kita tidak akan saling menyakiti. Atau bersama-sama menyakiti yang lain.

No comments:

Post a Comment