Ada kala kita bahagia. Saking bahagianya, kita sampai
kehabisan kata.
Ada kala kita sedih. Saking sedihnya, kita sampai
kehabisan air mata.
Dengan kamu, aku pernah merasakan semuanya.
Aku kerap kali bahagia luar biasa.
Itu adalah saat-saat aku diijinkan semesta menghabiskan
detik demi detik kebersamaan kita. Baik bersama dengan dua gelas kopi, atau
hanya kita berdua dengan gejolak batin kita. Baik dalam keheningan ketika mulut
kita sama-sama terkunci tapi pikiran kita melayang jauh, atau dalam kisah-kisah
yang tak pernah usai, yang keluar dari bibir kita, seolah diburu waktu untuk
menyelesaikannya. Percayalah, saking bahagianya aku, berdebat dengan kamu pun
akan selalu aku rindukan, sebagai momen yang memacu adrenalinku, yang membumbung
karena tatapanmu yang berpendar tanpa surut.
Aku kerap kali sedih luar biasa.
Itu adalah saat-saat aku membayangkan apa yang tidak
mungkin kita raih. Saat-saat dirimu menyerahkan seluruh jiwa ragamu pada
pelukan yang lain. Pelukan yang memang seharusnya menjadi rumahmu, selamanya.
Terpisah darimu, bukan berarti aku meniadakan bayanganmu di benakku. Justru
semakin jauh, semakin anganku melayang, berusaha menciptakan skenario duplikat
dari kenyataan, yang harus aku telan. Pahit. Iya, pahit, jika kamu mau tahu apa
rasanya. Tapi itu kenyataannya. Seolah kita berjalan jauh, sembari merajut
benang-benang perasaan kita. Kenyataannya, rajutan kita kusut dan tak pernah
berwujud. Kita hanya gumpalan benang yang saling bergelut satu sama lain,
karena kita memang bukan untuk dirajut. Bukan untuk dijadikan segulung kain
yang memanjang, yang bisa kita tapaki.
Ada kala kita lelah. Saking lelahnya, kita sampai tidak
bisa membedakan mana air mata dan mana kata.
Perasaaan, tidak hanya diungkapkan melalui kata-kata, tetapi
juga air mata. Dengan kamu, entah tak terhitung berapa kali aku berusaha
menahan agar air mata ini tidak menetes sia-sia. Sia-sia, karena kamu tidak
membutuhkan air mataku. Yang kamu cari adalah senyum dan kebahagiaanku, yang
bisa membuatmu nyaman, bahkan lupa sejenak pada kenyataan. Kenyataan, yang
ironisnya justru tidak boleh aku lupakan.
Suatu ketika, pertahananku pernah nyaris goyah, bahkan
runtuh.
Ingatkah kamu, ketika kamu tak bisa lagi menahan diri
untuk bercerita, bahwa jauh di lubuk hati terdalammu kamu menyimpan setumpuk
perasaan bersalah. Perasaan bersalah yang kamu simpan, untuk sebuah hati yang
menjadi tumpuan hidupmu. Hati yang bukan hatiku.
Dalam hitungan detik, aku coba meyakinkanmu untuk tak
perlu merasa bersalah. Aku meyakinkanmu bahwa hatinya terlalu tak perlu untuk
kamu beri rasa bersalahmu. Bahwa hatinyalah yang membuatmu terbang hinggap di
hati yang lain.
Kala itu, yang kamu lihat adalah pertahanan yang berusaha
dipertahankan dalam hitungan detik.
Karena sesungguhnya jauh dalam lubuk hatiku, aku juga
ingin diberikan rasa bersalahmu. Aku tidak sekuat yang kamu kira. Aku juga
punya hati yang mudah tercabik, tanpa kamu harus tahu itu. Yakinlah, aku tidak
ada bedanya dengan hati yang kau hujani dengan perasaan bersalah.
Aku sangat bisa mencemburuimu, tanpa aku harus
memilikimu tanpa kurang.
Ada kala kita tidak mau menerima kenyataan. Sampai kita
tidak lagi bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang ilusi.
Belum hilang dari ingatanku. Ketika kenyataan pahit itu
harus kudengar. Kita bisa menahan nafas, menahan diri untuk tidak bicara, tapi
kita tidak bisa menahan pendengaran kita untuk menutup salurannya rapat-rapat.
Membuang jauh hal yang tidak ingin kita dengar. Termasuk kejujuranmu yang
begitu menamparku.
Berdua, duduk bersisian, kamu dengan terbata
menunjukkanku keberadaannya. Keberadaan hati yang bukan hatiku, yang kukira
selama ini tiada. Kejujuranmu memindahkan letakku di hadapanmu. Aku bukan lagi
di sisimu, tapi aku ada di antara kalian.
Detik itu aku berjanji, setelah pelukan kita yang aku
yakini harus menjadi yang terakhir, aku akan menutup pintu mobilmu, juga pintu
hatiku, lalu berjalan pulang. Sambil berjanji tak akan pernah melihatmu lagi
demi apapun.
Tapi demi apapun, pelukanmu terlalu nyaman untuk
ditinggalkan. Pelukanmu terlalu mudah menyusupi anganku. Bahkan ketika aku
kesepian, aku kerap membayangkan keberadaan telapak tangan dan ujung jemarimu,
dipunggungku. Yang kadang lalu berpindah mengacak rambutku. Aku kerap
membayangkan kepalaku bersandar di bahumu yang kokoh. Mengirup wangi musk yang
membuatmu makin sulit kulupakan.
Hitungan detik aku memutuskan untuk tak lagi sudi
melihatmu, tetapi hitungan malam aku tak bisa memejamkan mata yang tergenang
oleh air mataku. Entah apa yang aku tangisi. Apakah kejujuranmu, apakah kenyataan
yang tak bisa aku terima, atau apakah aku yang terlalu lemah melawan
keinginanku menikmati pelukanmu.
Hingga akhirnya aku menyerah. Aku tidak sanggup melewati
hari demi hari tanpa melihatmu lagi. Kamu sangat disayangkan untuk dilewatkan,
pikirku pada waktu itu. Jadilah satu pertemuan tersembunyi, ke puluhan episode
kelanjutannya. Satu pasang gelas kopi, ke lusinan gelas lainnya.
Begitu indahnya sampai kadang aku lupa, siapa aku dan
siapa kamu. Parahnya, kadang aku lupa kalau ada yang bukan aku. Perjalanan kita
terlalu memacu adrenalinku, yang membuatku lebih menikmati ilusinya daripada
kenyataanya.
Ada kala kita terlalu banyak berpura-pura. Sampai kita
lupa cara kita menjadi diri kita sendiri.
Bersama dengan kamu, aku menjelma menjadi hati yang
terlihat kuat. Aku belajar untuk tidak mengumbar perasaan, aku belajar untuk
menerima keadaanku yang tak terlihat. Aku belajar untuk tetap tenang
mendengarkan segala keluh-kesah persoalanmu, entah di rumah atau di tempatmu
bekerja. Karena itulah yang kamu cari. Kamu mencari pelarian dan tempat, di
mana kamu akan merasa nyaman dan tenang. Maka aku harus juga nyaman dan tenang.
Demi diriku sendiri. Dan demi kamu tentunya.
Padahal jauh dibalik ketenanganku, aku menyimpan jutaan
kegamangan. Jutaan kegamangan yang ditimbulkan oleh satu sosok, kamu.
Perlahan aku sadar. Bukan hanya pelukan yang aku
butuhkan. Bukan hanya tatapan matamu yang berpendar yang aku cari. Bukan hanya
kesenangan sesaat diiringi dengan adrenalin yang terpacu yang akan membuat kita
bertahan.
Dengan jujur aku katakan, aku butuh lebih dari sekedar
itu.
Aku butuh lebih dari sekedar yang menggenggam tanganku
sembunyi-sembunyi. Aku butuh lebih dari sekedar yang menatap wajahku.
Aku butuh yang bisa kugenggam tangannya tiap saat. Aku
butuh yang bisa melihat hatiku.
Aku sama seperti perempuan kebanyakan, yang bisa
mengungkapkan kepemilikannya. Yang tidak perlu bersembunyi dari apapun juga.
Yang tidak perlu takut mengira-ira, karma macam apa yang akan diterimanya
kelak.
Ada kala kita melangkah terlalu jauh. Sampai kita lupa
jalan untuk kembali pulang.
Semakin jauh kita melangkah, percayalah, kita semakin
terkubur dalam lubang yang kita gali sendiri. Semakin aku sering melihatmu,
kelak akan semakin susah bagiku untuk lepas darimu. Semakin aku mengenalmu,
semakin aku tahu bahwa semua yang aku mau, terdapat dalam dirimu.
Dan itu menyakitkan buatku.
Karena aku tau, tidak untuk selamanya kita akan terus
begini. Suatu ketika, kamu harus kembali pulang. Suatu ketika, aku harus
menemukan rumahku sendiri. Kita harus mengubur dalam-dalam puing persinggahan
kita. Semakin lama kita menjalani ini semua, semakin banyak puing persinggahan
yang harus kita kubur. Semakin banyak yang harus kita kubur, semakin sulit bagi
kita untuk melakukannya.
Aku berhenti, bukan karena aku tidak mencintai.
Mencintai itu butuh tenaga, daya, dan upaya. Ada saatnya
aku sudah tidak sanggup lagi. Mencintai sesuatu yang tidak benar, butuh upaya
lebih untuk menciptakan ilusi pembenarannya. Di titik itulah, aku tak lagi
merasa sanggup.
Mencintai itu datang, dari apa yang ditakdirkan Tuhan.
Kita sebagai manusia hanya bisa menerimanya. Kita pulalah, sebagai manusia,
yang tahu kapan harus berhenti. Sebelum Tuhan menghentikan dengan cara-Nya,
yang belum tentu kita sanggupi.
Percayalah, Tuhan mempertemukan kita bukan tanpa maksud.
Jangan pernah menyalahkan-Nya untuk itu. Walau sampai detik ini, mungkin kita
belum bisa menerjemahkan apa kehendak-Nya.
Aku berhenti, justru karena aku mencintai.
Aku mencintai kamu, maka aku menginginkan kehidupan yang
tenang untukmu.
Aku mencintai diriku sendiri, maka aku menginginkan
hatiku yang damai.
Aku mencintai kita berdua, maka aku menginginkan masa
depan yang sama baiknya untuk kita.
Pulanglah, kepada hati yang selalu setia menunggumu di
rumah. Bukan di persinggahan, bukan pula di persembunyian.
Kembalilah pada hidup yang wajar, seperti sebelum kita
dipertemukan untuk mencicipi dosa yang paling manis yang pernah ada. Karena
kebaikan bertahan selamanya, namun tidak dengan dosa.
Jika kelak kita bertemu tanpa sengaja, ingatlah betapa
kita saling mencintai, maka itu kita tidak akan saling menyakiti. Atau
bersama-sama menyakiti yang lain.
No comments:
Post a Comment