Tuesday, September 20, 2016

Pertama, Kedua, Ketiga, lalu Tiada

Di kesungguhan hatiku, kujadikan kamu yang pertama
Di belahan hatimu yang gamang, kau letakkan aku di sisi kedua
Di antara kisah kalian, menurutnya aku hanyalah sesosok tokoh ketiga 
Di sela pandangan setiap orang, katanya aku sosok yang seharusnya tiada

Katamu, kelak aku akan jadi yang pertama
Katamu, bersabarlah untuk sementara jadi yang kedua
Katamu, nanti tak akan ada lagi yang kedua, apalagi ketiga
Katamu, tak akan ada satupun dari kita yang akan berakhir tiada

Pertama, kau tunjukkan angan tanpa jeda
Kedua, kau suguhkan indah dan menggugahnya dusta
Ketiga, kau ajari kenikmatan dosa yang sesungguhnya hanya nestapa
Tiada
Tiada, yang tersisa yang dapat kubayangkan nyata akan kugenggam selamanya




Sunday, September 18, 2016

Soal Lelaki Berkemeja LENGAN DIGULUNG. Why oh why?

Minggu pagi sudah diwarnai obrolan netizen di Twitter soal sensor-menyensor tokoh kartun di TV, oleh KPI. Gapapa, daripada ributin urusan rumah tangga orang ye kan?

Seperti biasa, namanya ada berita anget-anget gini, timeline Twitter wajiblah dipantengin. Eh tau-tau, tante Mai pemilik akun (@)FunJunkies berujar:

"Porn itu ada dalam pikiran. Liat yang bajunya tertutup aja bisa kepengenan kok. Kaya cowok pakai kemeja putih & celana jeans misalnya."

Jeder.

Nggak sampai hitungan jam dari tweet itu dipublish, langsunglah banyak cewek-cewek menimpali dengan kriteria-kriteria cowok-cowok macem apa yang bisa bikin 'kepengenan' alias turn on.

Hampir semuanya (termasuk aku sih) menyebutkan hal yang sama: KEMEJA LENGAN DIGULUNG

Kompak ya?

Nggak semuanya sama persis sih, banyak yang menyebutkan kemeja lengan digulung dengan tambahan item-item tertentu, misalnya:

1. Ciri-ciri kemeja. Ada yang sukanya kemeja warna hitam, ada yang sukanya warna putih. Mostly (aku juga) banyak yang suka kemeja slim fit. Aw!
2. Wangi. Ada juga yang sukanya wangi-wangi sisa parfum sehabis pulang kerja, bukan parfum habis disemprot.
3. Rambut klimis, rapih, pakai gel.
4. Brewok tipis. Dear cowok-cowok di luar sana, cewek emang ribet, sukanya yang di tengah-tengah. Brewokan tebel gitu, ga doyan, cukup dompet kalian aja yang tebel. Halus tanpa brewok? Kurang macho. Jadi kami sukanya yang cukuran-ga bersih-masih-banyak-titik-titik-abu-abunya.
5. Jam tangan. Jam tangan ini, percayalah, the bigger the better. Banyak kok, yang menambah embel-embel 'besar' setelah frasa jam tangan. Kenapa? Aku ga tau sih, cuma ya memang itu menimbulkan ilusi tangan yang lebih kekar aja.

Masih banyak sih embel-embel lain seperti tatto, kaca mata, dada bidang, dll. Cuma ya memang lima besarnya itu tadi.

Balik lagi ke kemeja lengan digulung. Kenapa sih banyak cewek pada suka?

Nggak ada teori resmi yang teruji yang menyatakan bahwa kemeja lengan digulung secara absah dapat membuat cowok manapun terlihat lebih macho, lebih ganteng, atau apalah. Nggak ada alasan jelas pula kenapa kok kemeja kalau lengannya digulung jadi beda. Tapi, sebagai yang juga menikmati pemandangan lelaki tampan berkemeja digulung, aku mencoba menjabarkan apa yang terlitas di benakku... Haiyah bahasane.

1. Kemeja lengan digulung itu, memberikan kesan 'pekerja keras'
Coba deh kita perhatikan, cowok menggulung kemejanya pas lagi ngapain sih? Ketika mereka melakukan sesuatu yang sekiranya kemeja lengan panjangnya ini bakalan ganggu atau berresiko kotor, pasti terus mereka gulung lengannya. Atau ketika mereka akan melakukan sesuatu yang menggunakan otot tangan mereka untuk bekerja, dan lengan kemeja yang terkancing itu jadi sesak dan membuat tidak nyaman. Bisa juga ketika mereka lelah bekerja dan kegerahan. Nah, cowok pekerja keras ini lebih yoi dari yang males-malesan kan?

2. Kemeja lengan digulung itu, membuat penampilan jadi nggak rapi banget tapi nggak berantakan juga
Cewek mah banyak maunya. Lihat cowok yang rapi banget, katanya cupu. Lihat cowok yang berantakan banget, malah curiga tuh cowok jangan-jangan preman kampung. Solusinya? Pakai kemeja yang rapi, terus biar terkesan ada 'berantakan'nya dikit, digulung deh lengannya.

3. Kemeja lengan digulung itu, membuat tangan yang besar dan kekar jadi terlihat menonjol (+ jam tangan mahal kalau punya)
Kalau cowok boleh menikmati mulusnya bahu cewek berbaju sabrina, belahan dada cewek berbaju model kimono, kita juga boleh kan, menikmati tangan kekar yang disuguhkan dibawah gulungan lengan kemeja? Percaya deh, nggak harus kekar kok. Tangan cowok yang ukurannya rata-rata dua kali lipatnya tangan cewek aja, sudah bisa memberikan kesan aman dan melindungi. Selain masalah tangan, sayang atuh, udah beli jam tangan Bulova mahal-mahal, masih harus saingan sama lengan baju.

4. Kemeja lengan digulung itu, membuat terlihat lebih muda
Coba lihat generasi ayah atau kakek kita? Ada yang lengan kemejanya digulung? Aku rasa enggak. Kemeja lengan digulung itu, identik dengan usia-usia 20an, sampai maksimal 30an awal. Pernah, aku salah menebak usia seseorang dan bahkan tanya dia kuliah di mana. Ternyata, umurnya 36 tahun. Dan ilusi itu tercipta karena lengan kemejanya yang digulung.

5. Kemeja lengan digulung itu, meberikan kesan 'sigap'
Hampir mirip sih sama poin nomor 1, cuma kalau ini kesannya lebih "I'm ready for anything" dan nggak harus terkait dengan pekerjaan. Aku pernah menyaksikan sebuah adegan film, ketika sang suami pulang dari kantor, terus mau bantuin istrinya siapin makan malam. Sambil jalan masuk ke dapur, dia gulung dulu lengan kemejanya. Pernah juga, seorang hot daddy yang mau gendong anaknya, gulung lengan kemeja dulu. Ya ampun. Bayanginnya aja lemes. #lebay #maafkan

Ya, intinya gitu sih soal kemeja lengan digulung. Ini bukan alasan pastinya ya, this is just something that comes in my mind :)

Oh iya KPI, walaupun pria berkemeja lengan digulung ini menimbulkan dada jutaan wanita berdesir, please, jangan disensor ya... Jangan.


See you!
@deapurie

Sunday, September 11, 2016

Sharing is Caring: Downsizing My Wardrobe a.k.a Kurang-Kurangin Baju!

Apa sih itu downsizing my wardrobe?

Coba deh dibaca dulu tulisan salah satu beauty influencer andalan wanita-wanita di Indonesia, Andra Alodita : Personal Style: Downsizing My Wardrobe & Personal Style: Becoming Minimalist.

Jadi, downsizing my wardrobe itu semacam mengeluarkan, atau mengeliminasi baju-baju yang nggak pernah dipakai, atau yang kita nggak suka, atau yang udah kekecilan tapi masih disayang-sayang, dari lemari baju kita.

Awalnya, aku nggak pernah kepikiran sama sekali untuk mengeliminasi baju-bajuku. Karena ya, namanya baju kan dibeli pakai duit, Jeung *mental mahasiswi. Jujur, bahkan baju-baju yang udah kekecilan pun beberapa masih aku simpan dengan harapan suatu ketika bisa kurus lagi. Padahal, pas udah kurusan akhirnya nggak dipakai juga karena udah nggak model lagi. Hmmm.

Sampai akhirnya, aku menemukan tulisan yang menarik di www.alodita.com (linknya udah aku kasih di atas yaa) tentang downsizing my wardrobe. Kemudian, aku langsung teringat lemariku yang udah penuh sesak dengan baju-bajuku. Nambah baju, sering. Nambah lemari? Hmmm *lirik dompet.

Dari tulisannya Andra Alodita, kesimpulan yang bisa ditarik adalah: kita sebenarnya nggak butuh terlalu banyak baju. Sesungguhnya, baju yang kita butuhkan itu secukupnya saja, asalkan mencerminkan personal style kita.

Really?

Akhirnya... Aku mulai membuka lemariku, dan memandangi baju-bajuku, dan bertanya ke diri sendiri. Seberapa banyakkah dari baju-baju ini yang sering dipakai?

Mulailah aku pilah-pilah, dan... Baju-baju yang sering dipakai itu nggak ada separuhnya! Berarti, lebih dari separuh bajuku yang ada di lemari itu jarang dipakai karena berbagai alasan. Malah ada lho, baju yang sudah 6 bulanan tidak terpakai tapi masih jadi penghuni lemari. Dan setelah aku coba nge-list alasan-alasan kenapa mereka jarang aku pakai, terkumpullah beberapa alasan:

1. Kekecilan atau kebesaran
Seperti aku bilang tadi, kadang baju yang kekecilan itu masih aku simpan karena berharap suatu ketika aku bisa kurusan lagi, terus bisa pakai baju itu lagi deh. Padahal, itu baju jaman awal kuliah dulu, yang kayanya juga modelnya udah nggak in lagi. Apalagi, kayanya nggak mungkin deh buat aku untuk balikin berat badan ke jaman kinyis-kinyis dulu. (FYI, dulu aku pernah kuruuusss banget)
Kalau baju yang kebesaran, kadang-kadang kalau lagi beli baju, kemudian nggak ada size yang pas di badanku, aku beberapa kali suka nekat beli yang sizenya lebih besar. Pertimbangannya "Gapapa deh, kan lebih longgar malah lebih enak". Pas sampai di rumah, dipakai lagi, "Eh, kok kayak orang-orangan sawah ya?".

2. Beli karena lapar mata
Sudahlah, ini penyakit banyak wanita. Beberapa baju, ada yang dibeli ketika patah hati, ketika PMS, ketika ada diskon nggak wajar (padahal harganya dinaikin dulu), ketika suka warnanya tapi nggak suka modelnya, ketika suka modelnya tapi nggak suka warnanya. Tapi dengan dalih memanjakan mata dan mententramkan hati, dibelilah baju-baju itu yang endingnya dipakai juga enggak.

3. Salah beli
Ini beda ya, sama lapar mata. Salah beli itu biasanya dibeli dengan penuh kesadaran, tapi jatuhnya zonk. Biasanya ini kejadian kalau beli via online shop. Kadang di gambarnya warnanya merah maroon, tapi yang dateng merah cabe. Atau salah ukuran karena nggak bisa dicobain. Jadi deh, nggak kepakai.

4. Bosan
Serius, aku sendiri masih nggak habis mengerti. Ada lho, baju, yang beberapa kali dipakai rasanya cantik luar biasa, tapi makin kesini makin bikin bosen. Apa karena udah nggak in lagi ya modelnya?

Nah, baju-baju yang jarang dipakai itu diapakan kemudian? Bisa kita kasih ke orang lain (yang mau) atau kita sumbangin, bisa juga kita jual sebagai barang preloved. Kalau dijual sebagai barang preloved, lumayan lho Jeung, daripada nganggur di lemari?

Lalu, setelah memilah baju-baju yang nggak pernah atau jarang dipakai, coba deh sekarang kita lihat baju-baju yang sering kita pakai.

Percayalah, dengan mengamati baju-baju yang sering kita pakai, tanpa sadar kita bisa mengetahui sebenarnya personal style kita seperti apa. Inspirasi ini juga aku dapatkan setelah melihat feeds Instagram Andra Alodita. Ternyata, style Andra Alodita setelah men-downsize wardrobe-nya, makin kelihatan ada di lini yang 'itu-itu' aja, tapi betul-betul mencerminkan gaya yang 'Alodita' banget. Setelah aku amati, ternyata baju-baju yang masuk ke personal style aku adalah:

1. Lengan pendek
Nggak tau kenapa, baju-baju lengan panjang ternyata nggak nyaman untuk aku pakai. Aku lebih nyaman pakai baju-baju lengan pendek, dan kalaupun terpaksa pakai baju lengan panjang, pasti lengannya aku gulung.

2. Baju tanpa motif alias polos
Baru ngeh, ternyata baju yang sering aku pakai itu ternyata baju yang polos-polos, hanya saja dengan model dan detail yang berbeda. Dan, kebanyakan baju yang aku jarang pakai itu punya motif yang ramai bin ajaib.

3. Stripes (garis-garis)
Selain baju yang polos, baju bermotif yang paling sering aku pakai ternyata adalah baju-baju bermotif stripes, tentu saja yang stripesnya kalem dan nggak norak.

4. Warna gelap & soft
Navy, hitam, abu-abu, ternyata jadi warna baju-baju yang sering aku pakai. Baju warna cerah seperti merah, orange, hijau, pink, kuning, ternyata jarang dan bahkan hampir nggak pernah aku pakai. Selain baju warna gelap, baju yang juga sering aku pakai adalah baju warna soft seperti putih dan beige.

5.  Denim!
Setelah bertahun-tahun, aku baru ngeh kalau ternyata baju atau dress berbahan denim adalah baju 'aman' yang tiap aku pakai nggak pernah salah. Mungkin karena dia polos dan warnanya rata-rata gradasi biru-navy.

6. Celana dan atasan longgar
Akhir-akhir ini, aku ternyata lebih memilih mengenakan kulot (celana yang longgar) instead of celana ketat macem legging. Begitu juga dengan atasan, ternyata hampir semua atasan yang aku sering pakai, memiliki potongan yang pas di bagian bahu dan dada, tetapi longgar di bagian perut dan pinggang. 

7. Say NO to katun rayon
Dulu aku awam banget soal bahan-bahan kain. Nah, aku amati, sebagian besar dari baju yang aku enggak pernah pakai itu bahannya katun rayon. Kenapa? Karena mudah lecek dan disetrikanya susah. Kenapa dibeli? Dulu, jaman awal keranjingan belanja via online shop, yang bahannya katun rayon ini memang lebih murah. Dan aku nggak tau katun rayon itu apa. Ternyata gampang kusut. Kan nggak lucu, dipakai jam 7 pagi, jam 9 udah kayak baju belum disetrika, alhasil jadi jarang dipakai dan aku kapok.

Tentunya, selain kategori di atas, ada beberapa baju di luar kategori yang aku keep. Tetapi, tetep, harus ada alasannya dan masih tolerable. Misal, cardigan bermotif rosy. Kenapa aku keep? Karena modelnya unik dan warnanya soft, walau tidak polos. Atasan motif leopard. Kenapa? Karena walau motifnya ramai, warnanya gelap dan bentuknya longgar. Dua buah kemeja lengan panjang. Kenapa? Kalau-kalau suatu ketika butuh untuk acara formal, itupun dipilihkan yang warnanya gelap.

Terus apa gunanya mengetahui personal style kita?
Dengan mengetahui personal style kita, nantinya kita akan lebih disiplin dalam membelanjakan uang untuk beli baju. Misal, dengan mengetahui personal styleku, aku nggak akan lagi beli baju warna merah lengan panjang, misalnya. Mau diskon kayak apa, mau kelihatan bagus kayak apa, dengan pengalaman menimbun baju yang aku ceritakan tadi, aku tahu dengan alasan apapun, baju itu nggak akan terpakai. Selain itu, setiap kali belanja baju, kita akan langsung tau apa yang kita mau, tanpa perlu muter-muter lihat-lihat baju yang lain-lain. Kita jadi lebih hemat dan nggak buang-buang uang dan waktu kan?

Terus bajunya jadi dikit dong?
Memang betul. Baju kita jumlahnya akan makin sedikit. Tapi baju yang sedikit itu adalah baju yang kita suka dan betul-betul kita pakai. Pilih mana, lemari penuh sesak dengan baju yang kita nggak suka dan jarang pakai, atau lemari terisi cukup dengan baju yang kita suka dan sering pakai? Percayalah, dengan baju-baju yang seluruhnya kita suka, nggak akan ada lagi waktu yang terbuang karena bingung mau pakai baju yang mana. Karena, kita bisa pakai baju manapun yang ada di lemari kita. Selain itu, kita nggak perlu mikir beli lemari baru, dan baju-baju kita (terutama yang digantung) akan dapet space yang lebih longgar untuk mereka 'bernafas' dan nggak ada lagi ceritanya baju kusut karena disimpan berdesakan dengan baju yang lain. Lagian, kalau baju itu udah nggak kita pakai berbulan-bulan, berarti sebenarnya kita bisa dong, hidup tanpa baju-baju yang terabaikan itu?

Nanti kalau dikomentarin orang, bajunya itu-itu terus, gimana?
Justru di sini lah kreatifitas kita diuji! Rajin-rajinlah mix and match baju. Saranku, investasikanlah uang untuk membeli baju yang mudah dipadu-padankan. Misal, cardigannya satu, tapi innernya ganti-ganti. Atau dress polos, tapi belt atau scarfnya ganti-ganti. Pilih warna yang netral dan juga model yang 'masuk' ke semua jenis pakaian kita yang sudah dipilah tadi. Misalnya, aku nggak akan beli celana atau bawahan yang warna cerah, kenapa? Karena bajunya nggak ada yang cocok. Lebih baik beli bawahan warna abu-abu, misalnya, karena lebih masuk dan kepake untuk semua baju. Contoh lagi, beli celana jeans. Gradasinya kan macem-macem tuh, kalau misal kita udah punya jeans warna biru muda, kecuali modelnya beda banget, jangan beli warna yang sama, beli warna lain, biru dongker misalnya. Baju model sama, warna beda, oke. Baju warna sama, model beda, oke. Tapi kalau modelnya mirip dan warnanya mirip pula, sebagus apapun bajunya, mending ga usah deh. Gitu, Jeung...

Terus besok-besok nggak beli baju lagi?
Ya beli nggak apa-apa. Asalkan masih dalam batas kewajaran kemampuan finansial kita, dan jangan beli baju-baju di luar personal style kita, karena pasti juga nggak kepakai kan? Mau diskon kek, mau obral kek, mau dirayu-rayu sist-sist online shop kek, kalau sekiranya dia nggak masuk ke kriteria baju-baju yang sering dipakai, ya ngapain? Kecuali, kita harus menghadiri acara dengan dresscode tertentu, atau ada sahabat kita yang menikah kemudian kita dapet seragam kawinan, itu lain cerita.

Jadi, sebenarnya kita butuh baju berapa potong sih?
Nah, ada sih teorinya, kalau wanita karier butuh baju segini, kalau stay home mom butuh baju sekian. But then, menurutku itu tergantung masing-masing sih. Tergantung pekerjaan, social life, ukuran lemari, dll. So far, karena aku masih belajar mengelola baju-bajuku juga, aku belum menemukan takaran yang pas soal jumlah yang dibutuhkan. Besok kalau udah nemu, pasti aku share :)

Setelah kurang lebih sebulan mencoba men-downsize my wardrobe, kerasa banget manfaatnya di aku. Dulunya, aku butuh waktu lama banget untuk nentuin mau pakai baju apa. Sekarang? Tinggal pilih aja diantara semua baju kesukaan aku. Bahkan rasanya aku mau pakai apapun yang di lemari juga nggak masalah. Dulunya, aku laper mata banget. Sekarang? Kalau kepingin beli baju, pasti dipikirin jutaan kali dulu. Kira-kira kepakai atau enggak, kalau mau dipakai, dipakai sama sepatu atau tas yang mana, ada space di lemari enggak, bahkan sampai kira-kira modelnya bakal nge-trend lama atau enggak. Kan males ya, baru beli, eh bulan depannya modelnya udah basi. Dulunya, aku bahkan nggak ngerti personal style itu apa. Sekarang? aku jadi lebih tahu soal personal styleku, jadi tahu baju seperti apa yang aku suka dan memang nyaman buat aku, juga lebih selektif memilihnya. Nggak ada lagi istilah "Ini kayanya oke kok dipakai, walau agak ngejreng sih warnanya". Nggak ada lagi kayanya-kayanya, adanya suka dan enggak suka, butuh dan enggak butuh. Dulunya, lemariku sumpek banget, berantakan parah, dikit-dikit beli gantungan baju baru. Sekarang? Lemari lebih lega, baju yang digantung jadi punya space longgar dan nggak cepat kusut. Senang!

So, are you ready to downsize your wardrobe? Aku bakal seneng banget kalau kalian share pengalaman kalian ke aku... Siapa tau kita bisa saling tukan cerita soal downsizing wardrobe kita.


See you!
@deapurie