Wednesday, August 10, 2016

Kuliah Dobel #1 Tentang Alasan Mengapa (dan sedikit cerita tentang masa SMA)

Butuh waktu yang lama, sangat lama, untuk memutuskan apakah aku akan share soal aktivitas kuliah dobelku ini atau enggak. Jujur, tujuan aku share bukan pamer atau apapun, sungguh. Tujuannya lebih ke menceritakan apa yang sering ditanyakan orang-orang dan apa yang sesungguhnya terjadi dan terasa ketika aku kuliah dobel (yang jelas bukan 'sekeren' yang orang kira).

Aku termasuk salah satu anak yang beruntung, yang bisa bersekolah di sebuah SMA Negeri favorit di kota Jogja. Kuakui itu sebagai suatu keberuntungan, karena keberuntungan (bukan kecerdasan atau prestasi gemilang) pula lah yang membawaku lolos dari persaingan ketat masa itu. Pada awalnya, aku lebih ingin bersekolah di sekolah swasta kece yang muridnya cewek semua dan berseragam rok kotak-kotak ngehits itu. Alasannya sederhana, aku sedari TK sampai SMP mengenyam pendidikan di sekolah Katholik dan hampir sebagian besar teman SMP ku melanjutkan ke sekolah swasta Katholik juga. Intinya, aku masih ingin berada di lingkungan pergaulan yang sama. Tetapi, ibuku pada saat itu keukeuh mendaftarkanku ke sekolah negeri idaman banyak orang tua itu. Ketika melihat ibuku menangis bahagia melihat putrinya diterima di sekolah idaman tersebut, keinginanku bersekolah di sekolah lain pun pupus.

Pada saat itu, aku masih terlalu lengah untuk menyadari, bahwa bersekolah di sekolah negeri favorit tidaklah mudah. Kupikir, semuanya tidak akan jauh berbeda dengan masa SMP ku dulu. Persaingan yang ketat sekali terutama menyoal nilai-nilai akademis, teman-teman dengan kecerdasan luar biasa, guru-guru yang terlanjur mengecap muridnya maha pintar, membuatku cukup sulit beradaptasi. Aku berada dalam kondisi shock culture dan tidak siap mental sama sekali.

Hingga kelas 3 SMA, masa ketika semua siswa harus menentukan jurusan yang mereka pilih untuk melanjutkan kuliah. Hampir semua, literally semua, anak di sekolahku memilih jurusan dengan grade atas di PTN favorit. Sebutlah Kedokteran, Teknik, atau  Ekonomi dan Bisnis. Seolah tabu di kalangan anak-anak di sekolahku, pada masa itu, untuk melirik jurusan-jurusan dengan grade yang dianggap rendah. Pada saat itu, aku hanyalah anak yang ikut arus. Alih-alih menggali lebih dan mencari tahu tentang jurusan-jurusan apa yang bisa dipilih, aku melirik jurusan dengan grade menengah. Alasannya, ya, karena aku tidak sepintar dan sepercaya diri yang lain untuk memilih jurusan dengan grade atas, dan juga aku telah 'terdoktrin' untuk tidak memilih jurusan yang tidak akan dilirik oleh teman-temanku di sekolah itu. Aku terlalu malu dan tidak percaya diri untuk menjawab pertanyaan "Ih, terus nanti mau jadi apa?". Pada saat itu, bisa dibilang seolah jurusan yang akan menjadikan kita 'apa-apa' adalah jurusan grade atas.

Hingga akhirnya aku memilih jurusan Hukum. Dengan alasan, passing gradenya tidak setinggi Akuntansi, atau HI, atau Psikologi, tetapi masih bisa dianggap keren. Ya, alih-alih memilih dengan minat dan passion, passing grade pada saat itu merupakan tolak ukur maha mujarab di kalangan anak-anak pintar di sekolahku. Untuk pemilihan perguruan tingginya, sudah menjadi sebuah prinsip utama bahwa PTN favorit adalah yang maha terbaik. Maka, pada SNMPTN 2011, Hukum UGM menjadi satu-satunya pilihanku.

Tuhan tahu yang terbaik. Tuhan juga tahu bahwa pilihanku saat itu adalah pilihan tanpa arah, prinsip, dan tujuan yang jelas. Aku tidak diterima.

Reaksiku? Biasa saja, sungguh. Karena, beberapa hari sebelum pengumuman SNMPTN, aku sudah memantapkan hatiku untuk mendaftar di Jurusan Sastra Inggris, Sanata Dharma. Bukan, bukan karena aku memiliki minat dan keinginan belajar Sastra Inggris. Pada saat itu, pertimbanganku adalah, jurusan yang terbaik di antara universitas swasta di Jogja. Dan juga sahabatku waktu SMP, Putri, mendaftar dan diterima di jurusan yang sama. Dan setelah kupikirkan dengan matang pada saat itu, sepertinya aku akan lebih cocok bersekolah di sekolah swasta Katholik. Aku semacam 'kapok' bersekolah di sekolah negeri. Bukan karena sekolah negeri itu jelek, atau apa. Sebenarnya, aku hanya merasa kurang cocok saja (pada waktu itu), dan mungkin aku sedang dalam kondisi yang tidak siap. Semakin mendekati pengumuman SNMPTN, aku malah semakin tidak berminat dengan hasil SNMPTNku, dan seolah sudah yakin akan melanjutkan ke Sastra Inggris Sanata Dharma.

Berbeda dengan ibuku. Ibuku menangis, mengetahui putrinya tidak diterima di PTN favorit. Melihat ibuku menangis, di satu sisi terbersit perasaan kecewa, telah memupuskan harapan orang tua. Tetapi, jujur, di sisi lain juga timbul pemikiran bahwa kali ini aku ingin menentukan jalanku sendiri, setelah aku menahan diri 3 tahun bersekolah di sekolah pilihan ibuku.

Tuhan Maha Baik.

Setahun pertama kuliah di Sastra Inggris Sanata Dharma, aku semacam menemukan dunia, yang sepertinya memang digariskan untukku. Setelah 3 tahun terkungkung di lingkungan yang sepertinya memang bukan diciptakan untukku, aku seolah menemukan tempat berpijak yang nyaman. Lingkungan yang ramah dan menyenangkan, teman-teman yang baik hati, tulus, dan suportif, juga rutinitas yang positif. Aku yang dulu mengira bahwa Sastra Inggris adalah sekedar belajar bahasa Inggris, mulai menemukan bahwa ini lebih dari sekedar menarik untuk dipelajari. Bahkan aku melupakan pertanyaan "Mau jadi apa nanti?". Aku lebih berfokus pada apa yang aku pelajari, bersungguh-sungguh, dan menikmati apa yang dijalani. Dan dengan begitu, lebih banyak hal-hal positif yang mengisi diriku dibandingkan dengan tekanan atau beban yang membuat diri sendiri tidak nyaman dan tidak berkembang. Intinya, aku sangat bersyukur pada Tuhan dengan apa yang kujalani dan kudapat saat itu.

Ternyata kenyamanan itu tidak berlangsung lama.

Awal tahun 2012, ketika aku masih menjalani semester ke-2 ku, ibuku berkeinginan mendaftarkanku kembali, mengikuti seleksi SNMPTN. Aku kaget luar biasa. Dengan diskusi, negosiasi, dan perdebatan panjang lebar, akhirnya aku mengalah.

Aku memutuskan untuk mendaftarkan diri, kembali mengikuti SNMPTN, tahun 2012.

Keputusan itu dibuat, dengan alasan satu-satunya adalah, jujur, mengikuti keinginan ibuku. Keputusan itu dibuat, dengan negosiasi alot yang berujung beberapa 'hak khusus' untukku, yaitu aku sendiri yang akan menetukan jurusannya dan aku tidak akan meninggalkan kuliah Sastra Inggrisku, apapun yang terjadi.

Menentukan keputusan itu sangat-sangat tidak mudah. Bukan sekali dua kali aku membanjiri bahu sahabat-sahabatku dengan air mata kegamangan. Bahkan setelah sekian lama, akupun masih menitikkan air mata ketika menuliskan tulisan ini.

Tapi aku sadar, aku harus berpikiran jernih.

Pilihan untuk tidak mengikuti SNMPTN, sudah tercoret tebal-tebal. Sudah tidak mungkin, membujuk ibuku untuk tidak mendaftarkanku SNMPTN. Tidak mungkin. Bukan pilihan.

Yang aku bisa lakukan, adalah menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan. Kali ini, aku leluasa memilih jurusanku sendiri. Dengan pertimbangan, jurusan yang kira-kira masih sejalan dengan ilmu sastra adalah jurusan yang berkaitan dengan budaya, akhirnya aku memilih jurusan Antropologi Budaya.

Ceritanya, di semester ke-2, ada mata kuliah bernama Dasar-Dasar Ilmu Budaya. Pada saat itu, dosen yang mengajar adalah Ibu Basilica Dyah Putranti. Pada saat itu, aku berpikir mata kuliah itu menarik. Melihat budaya, dari perspektif yang mengacu pada keseharian. Sebelumnya, aku selalu berpikir bahwa budaya adalah rumah adat, tari-tarian, dan suku-suku terasing. Dari mata kuliah itu, aku belajar bahwa ternyata cara kita menyisir rambut pun juga bagian dari budaya, sebuah kebiasaan berulang. Interesting. Buku referensinya berjudul Cultural Anthropology (by Kottak), yang kemudian membuatku penasaran dengan jurusan Antropologi Budaya.

Jurusan Antropologi Budaya, memang tidak se'keren' atau se'top' jurusan lain semacam Akuntansi, Psikologi, dll (secara passing grade). Dulu ketika aku SMA, guru BK(yang menghandle masalah seleksi kuliah) pun pasti tidak akan merekomendasikan jurusan tersebut ke siswa-siswanya yang kebanyakan cerdas-cerdas. Terbukalah penyesalan di pikiranku. Sebenarnya, banyak lho, jurusan-jurusan yang juga menarik untuk dipelajari, tapi tidak terlirik oleh siswa-siswa di sekolah favorit karena embel-embel passing grade.

Oh iya, passing grade ini, sebenarnya adalah angka yang diperoleh dari jumlah kursi yang tersedia, kemudian dikalkulasikan dengan jumlah peminat jurusan tersebut. Passing grade tinggi berarti mencerminkan peminat yang banyak. Lalu, peminat yang banyak berarti jurusan tersebut prospeknya bagus. Kemudian, karena passing gradenya tinggi, yang bisa masuk adalah anak-anak pintar. Ya intinya, dulu pemikirannya cuma muter-muter di situ aja. Padahal, bisa saja passing gradenya tinggi karena kuota per angkatannya sedikit. Bisa juga belum banyak orang memilih jurusan tersebut karena belum tahu apa yang dipelajari di jurusan tersebut, yang berarti cuma masalah kepopuleran semata. Beruntunglah kalian, yang lingkungan pergaulan di sekolahnya bervariasi dan tidak tersetting oleh passing grade semata, yang masih membebaskan keinginan dan passion kalian untuk bereksplorasi. Dan aku baru menyadarinya setelah setahun kuliah.

Mendekati SNMPTN, aku memutuskan untuk tidak melakukan persiapan apapun dan tidak belajar sama sekali. Kenapa? Karena aku memutuskan untuk berserah kepada Tuhan. Pada saat itu, diterima ataupun tidak sama-sama mendatangkan dilema. Jika diterima, bagaimana nasib kuliahku kelak? Apa iya aku harus menjalani keduanya? Jika tidak, betapa malunya aku gagal untuk kedua kali dan terlebih mengecewakan ibuku untuk kedua kali. Jadi, aku memutuskan untuk berdiam diri. Diterima dan tidak kujadikan takdir Tuhan seutuhnya.

SNMPTN kujalani setelah aku menempuh UAS semester ke-2. Sehari sebelumnya bahkan aku mengurung diri di kamar dan tidur seharian. Soal SNMPTN kukerjakan dengan 'seadanya', karena banyak sekali pelajaran SMA yang aku lupa, yang bahkan bukunya sudah kujual ke tukang loak.

Ternyata aku diterima. Sungguh, aku sangat-sangat tidak percaya bahkan. Aneh. Apakah ini betul takdir Tuhan? Ibuku, pada saat itu, bisa dibilang menjadi orang terbahagia di dunia.

Aku tenggelam dalam kegalauan. Aku sama sekali tidak ingin meninggalkan kuliahku, yang sudah berjalan setahun. Aku terlanjur menikmati segalanya. Tidak mungkin aku meninggalkan lingkungan yang begitu aku cintai.

Dengan berat hati, kuputuskan untuk menjalani keduanya. Banyak teman, saudara, dan juga sahabat yang membesarkan hatiku. Mereka mengatakan bahwa ini awal yang baik dan begitu hebat. Bahkan ibuku sudah berangan-angan nantinya aku bisa memiliki dua gelar sarjana. Ketika ditanya orang, ibuku dengan bangga menyebutkan putrinya kuliah di UGM, PTN terbaik se-Jogja. Walau putrinya sendiri gamang.

Dan lagi-lagi, yang bisa kulakukan adalah menyelamatkan yang bisa diselamatkan. Aku mulai mengatur rencana jangka pendek dan panjang, sebisaku. Mengatur mata kuliah mana yang harus kuambil lebih dulu, merencanakan bagaimana aku akan menjalani sekitar 36 sampai 38 SKS per semesternya, sembari membayangkan kehidupan sosial yang tidak akan sama lagi seperti dulu dan juga akan banyak momen-momen yang hilang. Prediksi bahwa kuliah akan molor alias selesai lebih lama dari teman-teman yang lain pun sudah terpampang nyata sejak awal.

Jadi, kalau ditanya alasannya apa, jawabnya apa?

Kelihatannya memang, kesannya kok aku hanya menuruti keinginan orang tua. Ya memang, betul. Tetapi, bukan tanpa kesadaran atau hanya sekedar membeo saja. Pada awalnya, aku memang tidak tau, apa sih manfaatnya kuliah dobel? Bikin susah, bikin capek, bikin kuliah jadi lama, bikin hidup jadi nggak bebas. Tapi aku yakin, orang tua mau yang terbaik untuk anaknya. Mungkin kemarin atau bahkan sampai sekarang, kita nggak pernah tau alasan orang tua kita.Yang masih aku amini sampai saat ini, orang tua kita nggak akan pernah mencelakakan atau memilihkan jalan yang salah untuk anaknya.

Kadang, setiap ditanya orang, soal kenapa kuliah dobel, kebanyakan jawaban 'ngeles' lah yang keluar dari mulutku. Misal, biar langsing lah, biar awet muda lah (karena jadi mahasiswi terus). Ya, karena aku bingung sih, mau dijawab ngikutin orang tua, kesannya kok gimana, mau dijawab ngikutin kemauan diri sendiri, nyatanya nggak gitu-gitu juga, hahaha. Tapi percayalah, banyak kok, hal baik yang aku dapatkan dari bertahun-tahun berjibaku kuliah dobel ini. Nanti ya, di tulisan selanjutnya...

So, yah, that's just the beginning. See yah...

No comments:

Post a Comment