Friday, July 15, 2016

Mengalami dan Bukan Menjadi - Sementara dan Bukan Selamanya

Kita sering bertanya-tanya, tentang kemana garis perjalanan hidup membawa kita.
Sampai kita terlalu sibuk bertanya, alih-alih menjalaninya dengan percaya terhadap Yang Menggariskan.

Kadang, apa yang terjadi bukan yang kita mau.
Selalu, ada hal yang kita harapkan untuk terjadi, tetapi nyatanya tidak.

Seringnya, terjadilah seolah seperti yang kita mau, nyatanya tidak terjadi juga.

Seperti halnya ketika kita dipertemukan, dengan sosok lain yang kita harapkan untuk selalu ada. Ketika harapan untuk selalu ada itu kandas, bukan aneh ketika kita menanyakan, apa artinya perjumpaan yang lalu ketika perpisahan tiba lebih dulu sebelum kebersamaan berlalu?

Terkadang kita lupa, sesuatu terjadi tidak selalu untuk dijadikan. Mungkin, hanya untuk dialami.

Seperti halnya, ketika kita diijinkan untuk membuka pintu yang kita mau. Mencicipi beberapa langkah penuh rasa nyaman di dalamnya. Ketika langkah itu usai, dan kita harus kembali pulang, bukan aneh ketika kita menanyakan, untuk apa kemarin diijinkan merasa nyaman jika ternyata semua itu kembali lagi hanya menjadi angan?

Seringkali kita lupa, sesuatu terjadi tidak selalu untuk selamanya. Mungkin, hanya sementara.

Walau hanya mengalami, tapi pengalaman tak layak untuk disebut sekedar hanya.
Walau cuma sementara, tapi singkatnya waktu tak bisa diperhitungkan sebagai yang cuma-cuma.
Pengalaman yang sementara, bukan terjadi tanpa alasan.

Bahkan melupakannya pun tak semudah membalikkan telapak tangan.

Thursday, July 14, 2016

Oleh-Oleh Lebaran: Salim Cium Tangan

Mumpung masih suasana lebaran... (apasih, udah seminggu lebih keleus).

Udah tradisi, namanya setiap lebaran pasti masing-masing keluarga mengadakan acara silaturahmi. Entah dengan keluarga besar, kerabat, trah, atau tetangga. Tradisi yang ada di keluargaku adalah bersilaturahmi dengan tetangga di desa eyangku dan juga acara halalbihalal Trah Pawirodirjan (eyang buyut dari ibuku). Trah Pawirodirjan ini jumlahnya ratusan orang, sungguh. Eyangku 7 bersaudara, ibuku sepupunya ada sekitar 50an, dan, ehm, yang generasiku jangan ditanya jumlahnya (itu aja yang ipar-ipar dan canggah-canggah belum dihitung).

Jadi ya, walau banyak yang belum saling kenal, atau belum hafal, atau inget muka tapi lupa nama, atau inget nama tapi lupa muka, tapi bukan lali rupone kelingan rasane, tetep sih tiap halalbihalal semua anggota keluarga berlomba-lomba memamerkan senyum terindahnya, tatapan tersantunnya, amplop tertebalnya.

Tiap tahun, penambahan usia itu pasti. Dan untuk aku pribadi, bertambahnya usia selalu berbanding lurus dengan bertambahnya keponakan setiap tahunnya. Walau aku ga hafal nama, atau anak siapa itu, kayanya jumlah anak kecil di trah keluargaku makin banyak, dan... makin banyak yang salim-cium-tangan sama aku.

Salim (menjabat tangan) yang diikuti dengan mencium punggung tangan orang yang disalimi, memang merupakan sebuah bentuk 'yang lebih sopan' dari sekedar jabat tangan biasa. Menurutku, akan sangat penuh makna, kalau yang melakukannya pun paham dengan arti yang disimbolkan oleh salim-cium-tangan tersebut.

Kenyataannya, yang aku lihat di sepanjang acara halalbihalal trah keluargaku kemarin, banyak anak yang melakukan salim-cium-tangan kepada, literally, semua orang, dengan cara yang menurutku kurang santun. Jadi, salim-cium-tangan dilakukan dengan cepat dari satu orang ke orang lain, tanpa peduli siapakah orang yang punggung tangannya mereka cium. Sepertinya, mereka adalah produk didikan latah 'pokoknya kalau salim itu harus pakai cium tangan'.

Mungkin niat orang tuanya baik, membawa si anak (seolah-olah) ke level yang lebih sopan. Tapi secara tidak sengaja, 'pemassalan' salim-cium-tangan ini membuat nilai etika yang terkandung didalamnya berkurang, bahkan hilang.

Dulu, ketika kecil, aku tidak pernah dibiasakan salim-cium-tangan pada semua orang. Aku diajarkan untuk berjabat tangan biasa, tetapi kalau kebetulan berjabat tangan dengan eyang yang sudah sepuh, budhe atau pakdhe yang dekat dengan keluarga kami, pasti akan ditambahi embel-embel "cium tangan, dong..." oleh ibu atau ayahku. Lama-kelamaan, aku menyadari bahwa salim-cium-tangan merupakan sebuah penghormatan yang besar bagi orang lain. Bukan hal sembarangan yang bisa kita lakukan dengan siapapun.

Cara yang dilakukan ketika salim-cium-tangan pun tidak semerta-merta 'begitu saja'. Ketika kita mencium tangan seseorang, pastikan kita tahu siapa dia? mengapa kita harus mencium tangannya? dan pastikan kita mengatakan sesuatu sebelum mencium punggung tangan seseorang. Misal "Maaf lahir batin ya Budhe Endang," *lalu cium tangan* atau "Pamit ya Eyang Tari," *lalu cium tangan* atau "Eh, Budhe Trin, apa kabar? Kok tadi aku enggak lihat pas datang?" *lalu cium tangan*. Ini penting lho, menunjukkan kesungguhan kita ketika melakukannya, bukan sekedar menyaut tangan orang lain kemudian menempelkan tangan itu ke ujung hidung kita lalu sudah.

Entahlah, tapi makin banyak anak-anak kecil yang sekarang kalau salim-cium-tangan cuma sekedar asal-asalan saja. Bahkan mereka kadang nggak mengenali, atau nggak paham punggung tangan siapa yang mereka cium. Bukan aku menuntut mereka untuk mengenali setiap orang kemudian mencium tangan setiap orang dengan penuh khidmat. Enggak. Ciumlah punggung tangan orang yang benar-benar kamu kenal dan kamu hormati, bukan ke setiap orang yang kamu temui tanpa peduli esensinya, Dek.

Kadang aku sendiri suka bingung malah, setiap ada anak kecil yang salim-cium-tangan sama aku padahal kami nggak saling kenal, dan aku bahkan lupa nama ayah-ibunya. Apa gunanya coba, mencium tangan orang yang bahkan namanya aja kamu nggak tahu? Mendingan disalimin biasa aja deh. Oh iya, ada juga sepupu jauh yang cuma beda berapa tahun lebih muda dari aku, tapi dia salim-cium-tangan ke aku. Entahlah, apakah aku terlihat seperti eyangnya? :(

Lucunya lagi, kadang, ada gitu saudara yang jauuuuhhh banget, atau tetangga biasa gitu, yang pas aku salimin, tau-tauya nyodorin tangan buat dicium. Percayalah, aku lebih dari sekedar peka untuk tahu maksudnya, yang berupa "Hellaw, masak elu salimin gua gak cium tangan gua sih?". Tapi, kalau aku ketemu sama yang begitu, biasanya segimananya mereka menyodorkan tangannya, tetep enggak akan aku cium. Sederhana aja sih, aku nggak merasa mereka punya sesuatu atau apa gitu untuk dihormati secara lebih, lebih dari jabat tangan biasa.

Ya, enggak cuma cium tangan sih. Kita aja juga nggak kissing sama sembarang orang kan? Pasti ada gradenya juga kan, mana yang cium pipi, mana yang cium bibir.

*ngunyah nastar*

See you!
@deapurie

Monday, July 11, 2016

Teruntuk Kamu, Pengelana yang Datang dan Pergi

Kedatangan dan kepergian.
Mereka akan selalu disela oleh kebersamaan.
Tetapi dengan kamu, keduanya selalu bisa terjadi, hanya dalam jeda satu tatapan atau satu sentuhan tangan.

Kedatangan dan kepergian.
Mereka akan terlihat beriringan, kedatangan muncul dan lalu kepergian menyusul.
Tetapi kamu lain, kamu bisa saja pergi dulu baru datang.
Menghilang dulu baru menjelang.
Atau muncul kemudian menghilang dengan tak kasat rasa.

Kedatangan dan kepergian.
Mereka bisa saja datang ke satu tempat, lalu pergi ke tempat lain.
Tetapi kamu bukan yang kebanyakan.
Kamu terus datang dan pergi ke satu tempat. Tetapi tanpa pernah menetap.

Mungkin ditengah jeda datang dan pergimu, kamu bisa saja menetap di tempat yang lainnya.
Mungkin kamu bukanlah yang mengelana.
Mungkin akulah yang memang hanya persinggahan sementara.
Yang tak ingin kau diami, sesungguhnya.
Tetapi dengan tanpa alasan terus kau sambangi.

Bisa saja, aku menolak kedatanganmu.
Supaya tak lagi terasa kekosongan yang tersisa, ketika kamu pergi.

Tetapi aku hanyalah persinggahan sementaramu.
Yang begitu menikmati segala bentuk kehadiranmu.
Yang selalu merasakan sensasi kejutan kepergianmu. 

Dan yang selalu berada di kegamangan penantian semu.