Sunday, April 5, 2020

Send Our Love Back to Hotelier: from Jogja with Love

Sepanjang kejadian wabah Corona ini, kepala saya kalau nggak pusing, ya pening. Kalau kepala saya pas nggak kenapa-kenapa, hati saya yang senut-senut. Entah membaca berita yang semakin membuat khawatir, atau mendengar keluhan teman yang sayangnya malah saya timpali dengan keluhan yang lain. Belum lagi kalau ingat ritme hidup beberapa bulan sebelum ini yang sangat jauh dari pingitan yang mau nggak mau harus kita lalui sekarang.

Namun ada satu hal yang setidaknya, akhirnya, membuat hati saya hangat.












Beberapa saat setelah saya melihat gambar-gambar tersebut, mata saya ikut menghangat.

*seluruh gambar di atas saya ambil dan saya capture melalui Twitter @JogjaUpdate

***
Harus kita akui bahwa industri pariwisata adalah industri yang paling luluh lantak dihajar wabah Corona. Sejak awal Maret, geliatnya sudah mulai sepi. Industri perhotelan berusaha bertahan sekuat tenaga dengan minimnya perputaran tamu yang datang akibat larangan berpergian dan kebijakan social atau physical distancing, serta gerakan #dirumahaja yang kita amini sebagai upaya berujung kebaikan bersama. Beberapa hotel bahkan memutuskan untuk (yang saya yakin dengan berat hati) merumahkan beberapa pegawainya dan meminimalisir jam operasional demi mengencangkan ikat pinggang akibat minimnya revenue yang didapat.

Walaupun saya tidak bekerja di bidang perhotelan, dan saya juga bukan hotelier, entah mengapa kali ini saya seperti ikut larut dalam kekalutan.

Sahabat terdekat saya adalah mantan hotelier, yang telah bergelut di bidangnya selama hampir 10 tahun. Darinya saya mendapat banyak cerita, salah satunya, betapa rekannya yang memiliki istri hamil tua, terpaksa menelan pil pahit PHK massal. Seorang teman, yang saya kenal dari sahabat saya juga pun, mengeluhkan kekhawatirannya terhadap lesunya kondisi. Pun teman-teman semasa saya kuliah dulu, yang kini menjadi hotelier, juga kerap bercerita mengenai perjuangan mereka.

Beberapa bulan belakangan, pekerjaan saya sedikit banyak juga berkaitan dengan dunia perhotelan. Salah satu tugas saya di kantor adalah mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan program kerja sama dengan hotel. Sehingga, saya menyimpan beberapa kontak marketing maupun HR manager beberapa hotel di Jogja. Hampir setiap hari pula saya melihat update status di aplikasi WhatsApp, yang menunjukkan perjuangan mereka, supaya hotel tetap beroperasi, supaya hotel tetap bernafas. Mulai dari program promo hingga delivery order makanan. Apapun dilakukan demi bisa tetap bertahan.

***
Saya yakin ketika ada wisatawan asing yang menyatakan bahwa orang-orang di Jogja ramah-ramah, senyum para hotelier ada di dalam referensi mereka.

Hingga kali ini, dalam kondisi sesulit apapun, para hotelier tetap menyebarkan cinta. Mereka tahu bahwa saat ini mungkin tidak banyak tamu yang bisa mereka sapa dengan senyum, tetapi mereka tahu bahwasanya sebuah cahaya bisa berpendar hingga jauh.

Para hotelier yang masih berjibaku menjaga agar hotel tetap beroperasi, mungkin tidak bisa menikmati nikmatnya #dirumahaja seperti kebanyakan orang. Namun mereka telah menjadikan hotel sebagai rumah mereka, yang mereka diami dalam keadaan apapun. Kenikmatan rebahan alias leyeh-leyeh mereka abaikan, demi industri yang terus berjalan.

Mungkin popularitas hotelier ada di dalam sebuah pusaran yang nyaris terabaikan dalam wabah Corona ini. Mereka kalah gaungnya dengan tenaga medis yang memperoleh banyak simpati dari masyarakat. Kalah suara dibandingkan driver ojek online yang menuai empati banyak pihak. Namun hal itu tidak menyurutkan langkah mereka untuk menyebarkan cinta. Cinta yang mungkin bukan sebuah vaksin atau uang untuk menyambung hidup, tetapi sebuah ketentraman yang saat ini justru dibutuhkan oleh banyak orang.

Perjuangan hotelier mungkin bukan tangkisan langsung untuk sebuah wabah. Namun perjuangan mereka adalah bukti nyata bahwa mereka tetap ada. Mereka tetap berjuang demi kondisi yang nantinya akan tetap ada setelah wabah ini berlalu. Mereka tetap berjuang demi industri pariwisata yang menjadi nafas Jogja. Sesuatu yang mereka upayakan untuk bangkit seperti sedia kala. Cahaya yang mereka pendarkan, adalah cikal bakal nafas yang nantinya akan berhembus kembali.

***
Dear all hoteliers, terima kasih sudah menebarkan cinta di tengah buramnya kepenatan akhir-akhir ini. Foto-foto yang kalian post di media sosial bukan sekedar foto, namun sebuah keyakinan bahwa kelak semua akan baik-baik saja. Gerakan kalian adalah bukti bahwa masih ada hal yang menentramkan hati dibanding berita-berita buruk yang tidak hentinya berhembus. Di tengah kesulitan yang kalian rasakan, kalian masih berpikir untuk menebarkan cinta bagi orang lain. Terima kasih untuk tetap memendarkan cinta walaupun muram durja sejatinya juga suatu pilihan.

This too shall pass...

Friday, April 3, 2020

Berpenampilan Menarik: Apa yang Ditarik?

Awal tahun kemarin, saya terlibat dalam sebuah meeting untuk bernegosiasi bersama dengan General Manager dan HR Manager sebuah hotel berbintang di Yogyakarta. Ceritanya, kantor saya dan hotel tersebut berencana mengadakan kerja sama berupa penyelenggaraan kelas Bahasa Inggris untuk para karyawan yang bekerja di hotel tersebut.

Singkat cerita, negosiasi berjalan lancar hingga akhirnya sebuah permintaan diutarakan oleh Bapak GM.

"Bu Dea, ini kan sebagian besar karyawan yang akan join laki-laki, jadi kalau bisa nanti pengajarnya minta yang perempuan ya Bu Dea, yang masih muda, yang penampilannya oke... Kalau soal umur ya maksimal 25, biar pada semangat, gitu Bu..."

"Iya Bu, kan kalau pengajarnya perempuan, masih muda, kan karyawan juga semangat nanti ikutin kelasnya..." Bapak HR Manager menimpali.

Saya memahami permintaan tersebut, dan saya tersenyum seraya menjanjikan akan berusaha mencari pengajar dengan kriteria yang diinginkan.

Dalam perjalanan kembali ke kantor, saya merenung, seberapa pentingkah penampilan seseorang sebetulnya? Kata-kata 'perempuan' dan 'muda' berputar dalam pikiran saya kala itu. Gender dan usia tentu juga akan berpengaruh pada penampilan. Penampilan perempuan yang sudah tua dan yang masih muda, tentu berbeda. Apalagi jika perempuan yang masih muda dibandingkan dengan laki-laki yang sudah tua.

Saya pun menelepon manager saya dan menceritakan hasil pertemuan yang baru saja terlewati. Manager saya pun tidak heran apalagi protes dengan permintaan yang diberikan. Pun sebetulnya saya sendiri sejak awal juga tidak merasa terganggu.

Kami semua seperti tahu sama tahu. Seperti tak ada yang aneh dalam hal itu.

Mulai terasa agak aneh ketika saya berpikir, kenapa ya, mereka tidak meminta pengajar yang paling berpengalaman, misal. Atau pengajar yang pronunciation-nya bagus. Atau pengajar yang paling kreatif dalam menciptakan aktivitas-aktivitas di kelas.

***
Ketika kita mencari pekerjaan, tentu kita sudah tidak asing dengan kriteria berpenampilan menarik

Kenapa harus berpenampilan menarik? Untuk apa?

Kata menarik, jika kita melihatnya sebagai kata kerja, tentu saja pasti akan ada obyek yang ditarik. 'Saya menarik tangan sahabat saya supaya ia tidak terjatuh', maka dapat disimpulkan bahwa obyek yang ditarik adalah 'tangan sahabat saya'. Namun perlu diperhatikan bahwa sesuatu yang dapat ditarik tidak selalu dalam wujud benda konkret. 'Saya menarik kesimpulan terlalu cepat'. 'Kesimpulan' dalam konteks ini adalah benda yang tidak konkret, atau katakanlah sebuah konsep begitu, yang saya tarik.

Kok macam pelajaran Bahasa Indonesia ya. Hehe. Mari kembali ke topik.

Begitupun dalam istilah berpenampilan menarik, pasti akan ada sesuatu yang sesungguhnya ditarik.

Penampilan adalah sesuatu yang jelas-jelas dinikmati oleh mata. Setidaknya dari semua indera yang kita miliki, matalah yang menjadi penikmat penampilan

Pertanyaanya...
...mata siapakah?

Jadi mari kita revisi pertanyaan di awal, bukan lagi untuk apa, melainkan untuk mata siapa.

***
Bisa jadi, orang dengan relasi kuasa yang lebih tinggi.

Ketika seseorang melamar pekerjaan, maka tentunya ia akan mempersiapkan penampilannya sebaik mungkin untuk memuaskan mata sang pemberi atau penyeleksi kerja. Tentunya bukan tanpa alasan pemberi atau penyeleksi kerja memberlakukan standar penampilan menarik. Ada banyak mata konsumen di luar sana yang meminta dimanjakan oleh eloknya penampilan. Entah sesungguhnya konsumen memang menuntut hal serupa, atau penampilan tersebut membius mata konsumen yang termanjakan sehingga jadi lebih luwes membuka dompetnya untuk produk yang dipasarkan

Dalam hal ini, relasi kuasanya bertingkat dari penerima kerja, pemberi kerja, dan konsumen.

Terlepas dari itu, ada juga perusahaan yang memang menuntut citra yang baik, bahkan mewah, dan penampilan pekerjanya merupakan wujud dari citra tersebut. Seseorang yang menjual jam tangan keliling, tentu saja tidak akan bisa disamakan dengan sales representative sebuah brand jam tangan yang harganya ratusan juta. Seorang petugas penagih kerdit panci tentu saja berbeda dengan pegawai bank. Dibalik penampilan menarik yang mereka upayakan, terdapat image atau citra sebuah brand yang harus dijaga.

Dalam hal ini, relasi kuasanya bertingkat dari pekerja dan citra sebuah perusahaan atau brand.

Bisa jadi, laki-laki.

Dalam konteks ini, mari kita menyoroti kebijakan berpenampilan menarik pada pekerja perempuan.

Walaupun sebetulnya penampilan menarik sesungguhnya tidak hanya menyasar perempuan, namun eksekusinya akan lebih nyata terwujud dalam tubuh seorang perempuan. Perempuan dianugerahi kemampuan memodifikasi tubuh dan pemnampilan sedemikian rupa, yang lebih lentur dan leluasa dibandingkan laki-laki. Namun begitu, anugerah tersebut bagaikan pisau bermata dua. Perempuan menjadi lebih rentan terobjetifikasi, tentunya oleh mata laki-laki. Perempuan menjadi lebih rentan dituntut untuk berpenampilan menarik.

Belum lagi perspektif male gaze yang membuat perempuan menjadi sosok yang 'sempurna' untuk diletakkan sebagai garda depan sebuah brand atau perusahaan, yang lagi-lagi berimbas pada standar dan tuntutan penampilan menarik.

Kultur pekerjaan sudah sekian lama mengkondisikan tubuh perempuan tak ubahnya seperti 'aset', yang pada akhirnya hal itu dipandang sebagai sesuatu yang normal dan lumrah. Tunjangan make up yang diberikan oleh perusahaan, misalnya, merupakan bukti nyata bahwa tubuh perempuan memiliki nilai investasi bagi perusahaan yang berpotensi meningkatkan keuntungan, mungkin. Kasarannya, mungkin akan berpotensi mengundang customer laki-laki.

Bahkan pameran otomotif akan dianggap lebih semarak jika kap-kap mobil yang dipamerkan ditiduri oleh model-model cantik berkaki jenjang. Semua itu secara logika sederhana dapat ditangkap sebagai upaya yang tak lain dan tak bukan adalah menyenangkan mata lelaki.


Dengan kultur yang masih didominasi oleh lelaki pekerja, tak dapat dipungkiri bahwa nyaris semua lelaki mempunyai kontrol penuh terhadap keuangannya sendiri maupun keuangan kolektif sehingga posisi lelaki sebagai customer jauh lebih kuat dibandingkan perempuan. Itulah sebabnya mata customer laki-laki senantiasa dipuaskan oleh segala upaya modifikasi tubuh perempuan dari yang paling tersamar hingga yang nyata tanpa tedeng aling-aling.

Namun lagi-lagi, argumen ini sifatnya masih sebatas bisa jadi.

***
Bagaimana dengan kualitas-kualitas lain, katakanlah kepribadian yang baik, kecerdasan yang cakap, wawasan yang luas? Mana yang lebih penting, penampilan menarik atau serentetan kualitas tersebut?

Sayang sekali, sampai detik ini pepatah seeing is believing masih diamini. Seeing is believing secara tidak langsung menempatkan mata sebagai indera parameter kebenaran yang paling tinggi. Kalau sudah lihat, baru percaya.

Saya pernah menyaksikan langsung 2 orang staff HRD di sebuah job fair berjibaku dengan setumpuk CV dan surat lamaran. Saya pikir mereka akan take time untuk membacanya paling tidak sekilas. Namun ternyata setelahnya dengan enteng mereka membuang CV dan surat lamaran yang dianggap tidak oke berdasarkan pas foto yang mereka lihat.

"Kita masih harus interview nih..."
"Panggilin yang cakep-cakep aja..."

Saya membayangkan jika ada kandidat yang kualitasnya sebetulnya oke, namun tidak memiiki kesempatan untuk menunjukkannya hanya karena penampilannya kurang menarik. Di sisi lain, ada kandidat yang kualitasnya juga sama okenya, tetapi lebih beruntung karena mendapatkan kesempatan untuk di-interview. Pun akan ada juga kandidat yang kualitasnya kurang oke, namun mendapat kesempatan karena penampilannya menarik.

But the thing is, kita memang harus mengakui bahwasanya akan sangat mudah bagi orang lain untuk melihat dan menyeleksi penampilan terlebih dahulu. Baru setelahnya kualitas-kualitas yang lain. Maka dalam konteks ini sangat dimungkinkan penampilan menjadi jembatan untuk kecerdasan, kepribadian, maupun wawasan menunjukkan performanya.

Bisa jadi, dengan penampilan menariknya, seorang pengajar pun bisa meraih perhatian murid-muridnya dengan lebih intens, sehingga muridnya bisa lebih memperhatikan apa-apa yang disampaikan.

Saya tidak bermaksud membenarkan bahwa hal tersebut betul secara moral. Namun saya hanya bermaksud menunjukkan bahwa itulah kenyataannya, apa yang ada di luar sana selama ini.

***
Siang itu setelah saya kembali ke kantor dari hotel tersebut, saya memesan kopi. Mengantuk dan kegerahan merupakan kombinasi alasan yang pas untuk segelas kopi kekinian penuh gula.

Karena saya ceroboh, dua tetes kopi mampir di blazer saya. Saya kesal setengah mati karena kebetulan blazer saya yang warna pastel itu kontras sekali dengan pekatnya tetes kopi yang menempel. Dan lagi, itu adalah blazer terbaik dan ter-anyar saya, karena saya sengaja menyiapkannya untuk meeting hari itu.

Lalu saya terdiam dan membuka make up pouch saya, kemudian membuka compact powder dan berkaca. Hari itu saya berdandan lebih ekstra dari biasanya, bahkan menyempatkan nge-blow rambut sebelum berangkat meeting.

Ternyata saya pun termakan juga.