Wednesday, August 10, 2016

"Menikah untuk Menghindari Zina..." (just my personal thought)

Jadi begini. Kira-kira 3 jam yang lalu baru saja seorang teman menanyakan, "Kamu tau nggak, berita soal anaknya Ust. Arifin Ilham, yang ganteng itu, yang nikah umur 17?"

Bayanganku, nikah umur segitu itu karena udah hamil atau apa (ketauan anaknya sinetron banget). Ternyata, setelah menelusuri beritanya via Twitter, Google, (googling random), banyak yang menyebutkan bahwa pernikahan di usia belia ini karena menghindari zina (setelah proses taaruf).

Mohon maaf sebelumnya, aku nggak berminat atau bermaksud membahas cerita ini dari sudut pandang agama. I just want to share my personal opinion, and idea, tentang alasan seseorang menikah.

Kita nggak akan pernah tahu urusan dapur orang, kecuali kita terlibat di dalamnya. Banyak yang menceritakan bahwa pernikahan ini didasari oleh upaya menghindari zina, tapi ya, lagi-lagi kita nggak tau apa yang sebenarnya terjadi kan? Mungkin ada pertimbangan lain, bisa jadi. Mungkin juga lho, karena tokoh utamanya adalah putra seorang publik figur, maka terbitlah desas-desus alasan yang mungkin juga sebenarnya opini publik.

Dari berita mengenai pernikahan usia belia ini, banyak opini publik yang terbentuk, yang sliwar-sliwer di media sosial. Mostly, isinya kurang lebih seperti "Kalau cinta itu dinikahin, bukan dipacarin", "Daripada zina, mending nikah", atau "Dia aja umur 17 udah berani nikah, kamu kapan?".

Bahkan sampai ada hashtag #putusinaja, yang maksudnya, kalau kita pacaran, putusin aja buat nikah, atau kalau pacar kita maunya masih pacaran doang dan belum siap ngajak nikah, maka putusin aja, terus cari yang lain yang udah siap nikah. Oh, ya.

Yang membuatku mengerutkan kening adalah, tiap kali ada pernikahan muda, yang katanya menghindari zina itu tadi, pacaran menjadi semacam hal yang dianggap buruk dan diantagonisasi.

Aku paham, pacaran itu memang bisa menimbulkan perzinahan. Tapi, bukan berarti kalau pacaran itu terus berzina. Wong nggak usah pakai pacaran aja, bisa kok zina, kalau memang mau dan ingin. Tapi nggak semua orang pacaran itu berzina, ya... Banyak juga kok, orang yang memang pacaran untuk mengenal satu-sama-lain, menjalani masa-masa penyesuaian, sebelum salah pilih. Perkara sambil zina, ya itu tanggung jawab masing-masing, sih. Buatku pribadi, itu termasuk stage yang penting sebelum menapaki jenjang pernikahan. Beli mobil aja test drive dulu lho Jeung, masa milih calon suami enggak? Beli baju aja kalo nggak dicobain, kita ketakutan setengah mampus kalau bajunya kekecilan dan nggak bisa dibalikin lagi ke tokonya. Masa iya, kalau kita nggak cocok sama suami kita, terus mau dibalikin aja gitu ke mertua? That's why we need pacaran.

Buatku, orang yang memutuskan untuk menikah, adalah orang yang pemberani. Really. Berani membuat keputusan besar. Berani memikul tanggung jawab. Berani menanggung resiko. Membagi waktu untuk me time sama ngerjain tanggung jawab pekerjaan aja nggak mudah. Apalagi, membagi kehidupan kita dengan orang lain. Percaya sama temen yang minjem duit aja susah. Apalagi, percaya sama orang lain yang janjinya akan bikin kita bahagia seumur hidup.

So, ya, buatku, pernikahan itu seuatu yang harus dipikirkan dengan matang, bijaksana, dan sepenuh hati (dan juga logika, tentunya). Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral, yang kalau bisa, sekali seumur hidup. Memutuskan untuk menikah, berarti memutuskan untuk memikul tanggung jawab maha penting seumur hidup. Kita tidak lagi bertanggung jawab pada hidup kita masing-masing. Hidup bukan lagi menyoal diri sendiri. Memutuskan segala sesuatunya sendiri, yang kadang kita rasa berat, merupakan kemewahan tak teraih dalam pernikahan. Ego yang tadinya jadi pegangan kita yang paling kuat, nantinya harus jadi hal yang paling ringan untuk kita lepaskan. Logika dan perasaan saling menyayangi, entah bagaimana caranya harus tercampur merata. (Ngetiknya aja merinding, lho).

Jadi, entah kenapa mengherankan (buatku) kalau ada alasan menikah (hanya) untuk menghindari zina. Pernikahan itu, sesungguhnya, jauh dari sekedar hanya itu. Butuh alasan dan tujuan yang sangat kuat untuk menikah. If you don't have any, then don't say the vows.

Sebegitu tak terkontrolnya kah kita, sehingga perkara mengendalikan kebutuhan biologis dan kepuasan seksual harus dicampuradukkan dengan ikatan pernikahan? Buatku, menghindari zina adalah upaya untuk mengendalikan kontrol kita terhadap pemenuhan kebutuhan biologis dan berkaitan dengan cara kita memandang dan menghargai tubuh kita. Walaupun, memang, dalam ajaran yang baik, kebutuhan biologis memang sebaiknya dipenuhi setelah menikah. Tetapi, apakah ketika kebutuhan biologis tersebut muncul secara alamiah, harus segera dipenuhi dan dengan kata lain kemudian seseorang harus menikah? Tanpa bisa dikendalikan? Menurutku, jika seseorang memiliki nalar yang sehat dan kendali yang baik akan tubuh dan kebutuhan biologisnya, tanpa menikah pun zina akan terhindarkan.

Lalu, jika seseorang menikah (hanya) untuk menghindari zina, siapkah yang bersangkutan menghadapi tanggung jawab luar biasa dibalik kata pernikahan?

Dan apakah pernikahan bisa membuat yang menjalaninya mengendalikan kebutuhan biologisnya dengan baik? Dengan kata lain, berhenti berzina?

Persoalan lainnya adalah, apa iya semua orang di dunia ini harus siap menikah? Atau tercipta untuk menikah?

Dalem nih. Pusing sendiri. *keluar bintang-bintang muterin kepala*

Okay, sebagai ilustrasi. Salah seorang teman, sebut saja dia Bram. He's been married for three years. Dulunya, ketika masih muda, Bram bukanlah tipe pria setia yang serius berpacaran dengan satu wanita. Berpindah dari satu pelukan ke pelukan lain merupakan hal biasa. Hingga, ada satu wanita yang mengajaknya menikah. Alasannya? Faktor umur yang sudah menginjak kepala tiga dan desakan keluarga pihak wanita, untuk menghindari zina. Bram, pada saat itu, tidak memiliki sikap yang jelas. Jauh di lubuk hati dia sadar dia belum siap menghadapi pernikahan. Tapi sumpah pernikahan terlanjur diucapnya dengan harapan akan membawanya ke kehidupan yang lebih baik, dan juga perasaan kasihan terhadap sang istri yang pada saat itu berharap dinikahi.

Bagaimana kehidupan Bram sekarang? Berubahkah dia? Tidak. Baru setahun menikah, rasa bosan melandanya. Tak cukup hitungan jari Bram menjalin hubungan gelap dengan entah rekan kerjanya, teman lamanya, bahkan mahasiswi. Bram mengaku, dia menyesal. Menyesal mengkhianati istrinya? Bukan. Menyesal telah memaksakan dirinya menikah. Semakin kesini, Bram semakin menyadari bahwa dia bukanlah orang yang bisa dihadapkan pada komitmen pernikahan. Bukan itu tujuan hidupnya. Melihat sosok Bram, kita tidak akan melihat sosok pria pertengahan 30an dengan kharisma suami idaman. Sosok Bram tak ubahnya pemuda awal 20an yang mencari kesenangan semata. "What are you looking for?" tanyaku. "Freedom. Having fun. No attached," jawabnya. Di satu sisi, dia lelah berpura-pura menjalani kehidupan pernikahan. Di sisi lain, dia pun sebenarnya sedih, melukai hati wanita yang dengan penuh ketulusan membagi hidupnya, bersamanya.

Jika Bram bisa kembali ke masa lalu, dia akan memilih untuk menghindari pernikahan. Menjalani kehidupan penuh kebebasan yang didambakannya. Tanpa pernah terikat pada hati yang satu.

"Buat apa nikah, kalau kitanya aja nggak happy. Mau dibilang zina, terserah. I never force any of my partners to do that. We were just having fun. I'm not that kind of men, who sleep only with the one I go home to. Jadi ya, daripada aku menikah cuma buat nyakitin istri, menghasilkan anak yang aku aja males ngurusnya, buat apa? Ya, tapi itupun kalau aku kembali ke masa lalu sih. Sebelum terlanjur," - Bram, suatu sore setelah bertengkar dengan istrinya.

Pikiran yang terlintas pada waktu itu, berapa banyak Bram-Bram lain di dunia ini? Pria-pria berjiwa bebas, yang akhirnya terbelenggu oleh ikatan pernikahan hanya karena menghindari zina, tanpa tau apa yang dia ingin wujudkan dalam ikatan pernikahan itu sendiri. Dan Bram-Bram lain yang pada akhirnya mencari pemuasan kebutuhan biologisnya di luar ikatan pernikahan dengan dalih penasaran tak terpuaskan? Yang pada akhirnya, dijadikan alasan untuk berpoligami supaya tidak dianggap zina.

Bukannya aku menganggap bahwa zina itu nggak apa-apa ya... Tetapi, jika memang ada jenis orang yang memang tidak bisa menghadapi dan bertanggung jawab dengan komitmen pernikahan, dengan kata lain pasti memenuhi kebutuhan biologisnya dengan what people call zina, apakah mereka harus tetap dipaksa menikah supaya tidak berzina?

Apakah lebih baik, orang-orang yang memang tidak ingin menikah itu, harus membangun biduk rumah tangga yang akhirnya hanya akan menyakiti pasangannya? Bukankah lebih baik mereka hidup sendiri, dengan kehidupan yang mereka inginkan, dengan partner-(patner)nya, yang juga menikmati relasi yang sama, and no one get hurts?  

Apalagi, perselingkuhan (yang juga bisa dianggap zina) yang kemudian 'disahkan' dengan naungan atap poligami. Sorry to say tetapi sebegitu rendahnya kah nilai sakral suatu pernikahan, hingga pada akhirnya pernikahan hanya dibentuk demi mensucikan zina?

Jika iya, maka apakah pernikahan itu? Sebuah zina yang dilakukan dengan mengenakan cincin pernikahan?

Entahlah. I don't think that it's better than zina itself. Malah, I do give my respect, untuk orang-orang yang berani menentukan pilihan untuk tidak menikah (jika mereka memang tidak ingin), menjalani kehidupan yang mereka mau, melakukan apa yang mereka mau, tanpa perlu menodai ikatan yang sakral hanya untuk menutupi apa yang mereka lakukan.

Seperti halnya orang yang memutuskan menikah, orang yang berani menentukan kehidupannya dengan bertanggung jawab tanpa harus ikut arus pun juga adalah pemberani yang patut dihargai. Sungguh picik opini publik yang menyatakan "Dia aja umur 17 tahun berani menikah, kamu kapan?". Ya, sekarang gini aja deh, lebih berani mana, orang yang menikah (hanya) karena takut zina, atau orang yang tidak menikah karena sadar hatinya tidak bisa diajak berkomitmen, dan sadar dirinya tidak ingin melukai siapapun?


See you!
@deapurie






Kuliah Dobel #1 Tentang Alasan Mengapa (dan sedikit cerita tentang masa SMA)

Butuh waktu yang lama, sangat lama, untuk memutuskan apakah aku akan share soal aktivitas kuliah dobelku ini atau enggak. Jujur, tujuan aku share bukan pamer atau apapun, sungguh. Tujuannya lebih ke menceritakan apa yang sering ditanyakan orang-orang dan apa yang sesungguhnya terjadi dan terasa ketika aku kuliah dobel (yang jelas bukan 'sekeren' yang orang kira).

Aku termasuk salah satu anak yang beruntung, yang bisa bersekolah di sebuah SMA Negeri favorit di kota Jogja. Kuakui itu sebagai suatu keberuntungan, karena keberuntungan (bukan kecerdasan atau prestasi gemilang) pula lah yang membawaku lolos dari persaingan ketat masa itu. Pada awalnya, aku lebih ingin bersekolah di sekolah swasta kece yang muridnya cewek semua dan berseragam rok kotak-kotak ngehits itu. Alasannya sederhana, aku sedari TK sampai SMP mengenyam pendidikan di sekolah Katholik dan hampir sebagian besar teman SMP ku melanjutkan ke sekolah swasta Katholik juga. Intinya, aku masih ingin berada di lingkungan pergaulan yang sama. Tetapi, ibuku pada saat itu keukeuh mendaftarkanku ke sekolah negeri idaman banyak orang tua itu. Ketika melihat ibuku menangis bahagia melihat putrinya diterima di sekolah idaman tersebut, keinginanku bersekolah di sekolah lain pun pupus.

Pada saat itu, aku masih terlalu lengah untuk menyadari, bahwa bersekolah di sekolah negeri favorit tidaklah mudah. Kupikir, semuanya tidak akan jauh berbeda dengan masa SMP ku dulu. Persaingan yang ketat sekali terutama menyoal nilai-nilai akademis, teman-teman dengan kecerdasan luar biasa, guru-guru yang terlanjur mengecap muridnya maha pintar, membuatku cukup sulit beradaptasi. Aku berada dalam kondisi shock culture dan tidak siap mental sama sekali.

Hingga kelas 3 SMA, masa ketika semua siswa harus menentukan jurusan yang mereka pilih untuk melanjutkan kuliah. Hampir semua, literally semua, anak di sekolahku memilih jurusan dengan grade atas di PTN favorit. Sebutlah Kedokteran, Teknik, atau  Ekonomi dan Bisnis. Seolah tabu di kalangan anak-anak di sekolahku, pada masa itu, untuk melirik jurusan-jurusan dengan grade yang dianggap rendah. Pada saat itu, aku hanyalah anak yang ikut arus. Alih-alih menggali lebih dan mencari tahu tentang jurusan-jurusan apa yang bisa dipilih, aku melirik jurusan dengan grade menengah. Alasannya, ya, karena aku tidak sepintar dan sepercaya diri yang lain untuk memilih jurusan dengan grade atas, dan juga aku telah 'terdoktrin' untuk tidak memilih jurusan yang tidak akan dilirik oleh teman-temanku di sekolah itu. Aku terlalu malu dan tidak percaya diri untuk menjawab pertanyaan "Ih, terus nanti mau jadi apa?". Pada saat itu, bisa dibilang seolah jurusan yang akan menjadikan kita 'apa-apa' adalah jurusan grade atas.

Hingga akhirnya aku memilih jurusan Hukum. Dengan alasan, passing gradenya tidak setinggi Akuntansi, atau HI, atau Psikologi, tetapi masih bisa dianggap keren. Ya, alih-alih memilih dengan minat dan passion, passing grade pada saat itu merupakan tolak ukur maha mujarab di kalangan anak-anak pintar di sekolahku. Untuk pemilihan perguruan tingginya, sudah menjadi sebuah prinsip utama bahwa PTN favorit adalah yang maha terbaik. Maka, pada SNMPTN 2011, Hukum UGM menjadi satu-satunya pilihanku.

Tuhan tahu yang terbaik. Tuhan juga tahu bahwa pilihanku saat itu adalah pilihan tanpa arah, prinsip, dan tujuan yang jelas. Aku tidak diterima.

Reaksiku? Biasa saja, sungguh. Karena, beberapa hari sebelum pengumuman SNMPTN, aku sudah memantapkan hatiku untuk mendaftar di Jurusan Sastra Inggris, Sanata Dharma. Bukan, bukan karena aku memiliki minat dan keinginan belajar Sastra Inggris. Pada saat itu, pertimbanganku adalah, jurusan yang terbaik di antara universitas swasta di Jogja. Dan juga sahabatku waktu SMP, Putri, mendaftar dan diterima di jurusan yang sama. Dan setelah kupikirkan dengan matang pada saat itu, sepertinya aku akan lebih cocok bersekolah di sekolah swasta Katholik. Aku semacam 'kapok' bersekolah di sekolah negeri. Bukan karena sekolah negeri itu jelek, atau apa. Sebenarnya, aku hanya merasa kurang cocok saja (pada waktu itu), dan mungkin aku sedang dalam kondisi yang tidak siap. Semakin mendekati pengumuman SNMPTN, aku malah semakin tidak berminat dengan hasil SNMPTNku, dan seolah sudah yakin akan melanjutkan ke Sastra Inggris Sanata Dharma.

Berbeda dengan ibuku. Ibuku menangis, mengetahui putrinya tidak diterima di PTN favorit. Melihat ibuku menangis, di satu sisi terbersit perasaan kecewa, telah memupuskan harapan orang tua. Tetapi, jujur, di sisi lain juga timbul pemikiran bahwa kali ini aku ingin menentukan jalanku sendiri, setelah aku menahan diri 3 tahun bersekolah di sekolah pilihan ibuku.

Tuhan Maha Baik.

Setahun pertama kuliah di Sastra Inggris Sanata Dharma, aku semacam menemukan dunia, yang sepertinya memang digariskan untukku. Setelah 3 tahun terkungkung di lingkungan yang sepertinya memang bukan diciptakan untukku, aku seolah menemukan tempat berpijak yang nyaman. Lingkungan yang ramah dan menyenangkan, teman-teman yang baik hati, tulus, dan suportif, juga rutinitas yang positif. Aku yang dulu mengira bahwa Sastra Inggris adalah sekedar belajar bahasa Inggris, mulai menemukan bahwa ini lebih dari sekedar menarik untuk dipelajari. Bahkan aku melupakan pertanyaan "Mau jadi apa nanti?". Aku lebih berfokus pada apa yang aku pelajari, bersungguh-sungguh, dan menikmati apa yang dijalani. Dan dengan begitu, lebih banyak hal-hal positif yang mengisi diriku dibandingkan dengan tekanan atau beban yang membuat diri sendiri tidak nyaman dan tidak berkembang. Intinya, aku sangat bersyukur pada Tuhan dengan apa yang kujalani dan kudapat saat itu.

Ternyata kenyamanan itu tidak berlangsung lama.

Awal tahun 2012, ketika aku masih menjalani semester ke-2 ku, ibuku berkeinginan mendaftarkanku kembali, mengikuti seleksi SNMPTN. Aku kaget luar biasa. Dengan diskusi, negosiasi, dan perdebatan panjang lebar, akhirnya aku mengalah.

Aku memutuskan untuk mendaftarkan diri, kembali mengikuti SNMPTN, tahun 2012.

Keputusan itu dibuat, dengan alasan satu-satunya adalah, jujur, mengikuti keinginan ibuku. Keputusan itu dibuat, dengan negosiasi alot yang berujung beberapa 'hak khusus' untukku, yaitu aku sendiri yang akan menetukan jurusannya dan aku tidak akan meninggalkan kuliah Sastra Inggrisku, apapun yang terjadi.

Menentukan keputusan itu sangat-sangat tidak mudah. Bukan sekali dua kali aku membanjiri bahu sahabat-sahabatku dengan air mata kegamangan. Bahkan setelah sekian lama, akupun masih menitikkan air mata ketika menuliskan tulisan ini.

Tapi aku sadar, aku harus berpikiran jernih.

Pilihan untuk tidak mengikuti SNMPTN, sudah tercoret tebal-tebal. Sudah tidak mungkin, membujuk ibuku untuk tidak mendaftarkanku SNMPTN. Tidak mungkin. Bukan pilihan.

Yang aku bisa lakukan, adalah menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan. Kali ini, aku leluasa memilih jurusanku sendiri. Dengan pertimbangan, jurusan yang kira-kira masih sejalan dengan ilmu sastra adalah jurusan yang berkaitan dengan budaya, akhirnya aku memilih jurusan Antropologi Budaya.

Ceritanya, di semester ke-2, ada mata kuliah bernama Dasar-Dasar Ilmu Budaya. Pada saat itu, dosen yang mengajar adalah Ibu Basilica Dyah Putranti. Pada saat itu, aku berpikir mata kuliah itu menarik. Melihat budaya, dari perspektif yang mengacu pada keseharian. Sebelumnya, aku selalu berpikir bahwa budaya adalah rumah adat, tari-tarian, dan suku-suku terasing. Dari mata kuliah itu, aku belajar bahwa ternyata cara kita menyisir rambut pun juga bagian dari budaya, sebuah kebiasaan berulang. Interesting. Buku referensinya berjudul Cultural Anthropology (by Kottak), yang kemudian membuatku penasaran dengan jurusan Antropologi Budaya.

Jurusan Antropologi Budaya, memang tidak se'keren' atau se'top' jurusan lain semacam Akuntansi, Psikologi, dll (secara passing grade). Dulu ketika aku SMA, guru BK(yang menghandle masalah seleksi kuliah) pun pasti tidak akan merekomendasikan jurusan tersebut ke siswa-siswanya yang kebanyakan cerdas-cerdas. Terbukalah penyesalan di pikiranku. Sebenarnya, banyak lho, jurusan-jurusan yang juga menarik untuk dipelajari, tapi tidak terlirik oleh siswa-siswa di sekolah favorit karena embel-embel passing grade.

Oh iya, passing grade ini, sebenarnya adalah angka yang diperoleh dari jumlah kursi yang tersedia, kemudian dikalkulasikan dengan jumlah peminat jurusan tersebut. Passing grade tinggi berarti mencerminkan peminat yang banyak. Lalu, peminat yang banyak berarti jurusan tersebut prospeknya bagus. Kemudian, karena passing gradenya tinggi, yang bisa masuk adalah anak-anak pintar. Ya intinya, dulu pemikirannya cuma muter-muter di situ aja. Padahal, bisa saja passing gradenya tinggi karena kuota per angkatannya sedikit. Bisa juga belum banyak orang memilih jurusan tersebut karena belum tahu apa yang dipelajari di jurusan tersebut, yang berarti cuma masalah kepopuleran semata. Beruntunglah kalian, yang lingkungan pergaulan di sekolahnya bervariasi dan tidak tersetting oleh passing grade semata, yang masih membebaskan keinginan dan passion kalian untuk bereksplorasi. Dan aku baru menyadarinya setelah setahun kuliah.

Mendekati SNMPTN, aku memutuskan untuk tidak melakukan persiapan apapun dan tidak belajar sama sekali. Kenapa? Karena aku memutuskan untuk berserah kepada Tuhan. Pada saat itu, diterima ataupun tidak sama-sama mendatangkan dilema. Jika diterima, bagaimana nasib kuliahku kelak? Apa iya aku harus menjalani keduanya? Jika tidak, betapa malunya aku gagal untuk kedua kali dan terlebih mengecewakan ibuku untuk kedua kali. Jadi, aku memutuskan untuk berdiam diri. Diterima dan tidak kujadikan takdir Tuhan seutuhnya.

SNMPTN kujalani setelah aku menempuh UAS semester ke-2. Sehari sebelumnya bahkan aku mengurung diri di kamar dan tidur seharian. Soal SNMPTN kukerjakan dengan 'seadanya', karena banyak sekali pelajaran SMA yang aku lupa, yang bahkan bukunya sudah kujual ke tukang loak.

Ternyata aku diterima. Sungguh, aku sangat-sangat tidak percaya bahkan. Aneh. Apakah ini betul takdir Tuhan? Ibuku, pada saat itu, bisa dibilang menjadi orang terbahagia di dunia.

Aku tenggelam dalam kegalauan. Aku sama sekali tidak ingin meninggalkan kuliahku, yang sudah berjalan setahun. Aku terlanjur menikmati segalanya. Tidak mungkin aku meninggalkan lingkungan yang begitu aku cintai.

Dengan berat hati, kuputuskan untuk menjalani keduanya. Banyak teman, saudara, dan juga sahabat yang membesarkan hatiku. Mereka mengatakan bahwa ini awal yang baik dan begitu hebat. Bahkan ibuku sudah berangan-angan nantinya aku bisa memiliki dua gelar sarjana. Ketika ditanya orang, ibuku dengan bangga menyebutkan putrinya kuliah di UGM, PTN terbaik se-Jogja. Walau putrinya sendiri gamang.

Dan lagi-lagi, yang bisa kulakukan adalah menyelamatkan yang bisa diselamatkan. Aku mulai mengatur rencana jangka pendek dan panjang, sebisaku. Mengatur mata kuliah mana yang harus kuambil lebih dulu, merencanakan bagaimana aku akan menjalani sekitar 36 sampai 38 SKS per semesternya, sembari membayangkan kehidupan sosial yang tidak akan sama lagi seperti dulu dan juga akan banyak momen-momen yang hilang. Prediksi bahwa kuliah akan molor alias selesai lebih lama dari teman-teman yang lain pun sudah terpampang nyata sejak awal.

Jadi, kalau ditanya alasannya apa, jawabnya apa?

Kelihatannya memang, kesannya kok aku hanya menuruti keinginan orang tua. Ya memang, betul. Tetapi, bukan tanpa kesadaran atau hanya sekedar membeo saja. Pada awalnya, aku memang tidak tau, apa sih manfaatnya kuliah dobel? Bikin susah, bikin capek, bikin kuliah jadi lama, bikin hidup jadi nggak bebas. Tapi aku yakin, orang tua mau yang terbaik untuk anaknya. Mungkin kemarin atau bahkan sampai sekarang, kita nggak pernah tau alasan orang tua kita.Yang masih aku amini sampai saat ini, orang tua kita nggak akan pernah mencelakakan atau memilihkan jalan yang salah untuk anaknya.

Kadang, setiap ditanya orang, soal kenapa kuliah dobel, kebanyakan jawaban 'ngeles' lah yang keluar dari mulutku. Misal, biar langsing lah, biar awet muda lah (karena jadi mahasiswi terus). Ya, karena aku bingung sih, mau dijawab ngikutin orang tua, kesannya kok gimana, mau dijawab ngikutin kemauan diri sendiri, nyatanya nggak gitu-gitu juga, hahaha. Tapi percayalah, banyak kok, hal baik yang aku dapatkan dari bertahun-tahun berjibaku kuliah dobel ini. Nanti ya, di tulisan selanjutnya...

So, yah, that's just the beginning. See yah...