Jadi begini. Kira-kira 3 jam yang lalu baru saja seorang teman menanyakan, "Kamu tau nggak, berita soal anaknya Ust. Arifin Ilham, yang ganteng itu, yang nikah umur 17?"
Bayanganku, nikah umur segitu itu karena udah hamil atau apa (ketauan anaknya sinetron banget). Ternyata, setelah menelusuri beritanya via Twitter, Google, (googling random), banyak yang menyebutkan bahwa pernikahan di usia belia ini karena menghindari zina (setelah proses taaruf).
Mohon maaf sebelumnya, aku nggak berminat atau bermaksud membahas cerita ini dari sudut pandang agama. I just want to share my personal opinion, and idea, tentang alasan seseorang menikah.
Kita nggak akan pernah tahu urusan dapur orang, kecuali kita terlibat di dalamnya. Banyak yang menceritakan bahwa pernikahan ini didasari oleh upaya menghindari zina, tapi ya, lagi-lagi kita nggak tau apa yang sebenarnya terjadi kan? Mungkin ada pertimbangan lain, bisa jadi. Mungkin juga lho, karena tokoh utamanya adalah putra seorang publik figur, maka terbitlah desas-desus alasan yang mungkin juga sebenarnya opini publik.
Dari berita mengenai pernikahan usia belia ini, banyak opini publik yang terbentuk, yang sliwar-sliwer di media sosial. Mostly, isinya kurang lebih seperti "Kalau cinta itu dinikahin, bukan dipacarin", "Daripada zina, mending nikah", atau "Dia aja umur 17 udah berani nikah, kamu kapan?".
Bahkan sampai ada hashtag #putusinaja, yang maksudnya, kalau kita pacaran, putusin aja buat nikah, atau kalau pacar kita maunya masih pacaran doang dan belum siap ngajak nikah, maka putusin aja, terus cari yang lain yang udah siap nikah. Oh, ya.
Bahkan sampai ada hashtag #putusinaja, yang maksudnya, kalau kita pacaran, putusin aja buat nikah, atau kalau pacar kita maunya masih pacaran doang dan belum siap ngajak nikah, maka putusin aja, terus cari yang lain yang udah siap nikah. Oh, ya.
Yang membuatku mengerutkan kening adalah, tiap kali ada pernikahan muda,
yang katanya menghindari zina itu tadi, pacaran menjadi semacam hal
yang dianggap buruk dan diantagonisasi.
Aku paham, pacaran itu memang bisa menimbulkan perzinahan. Tapi, bukan berarti kalau pacaran itu terus berzina. Wong nggak usah pakai pacaran aja, bisa kok zina, kalau memang mau dan ingin. Tapi nggak semua orang pacaran itu berzina, ya... Banyak juga kok, orang yang memang pacaran untuk mengenal satu-sama-lain, menjalani masa-masa penyesuaian, sebelum salah pilih. Perkara sambil zina, ya itu tanggung jawab masing-masing, sih. Buatku pribadi, itu termasuk stage yang penting sebelum menapaki jenjang pernikahan. Beli mobil aja test drive dulu lho Jeung, masa milih calon suami enggak? Beli baju aja kalo nggak dicobain, kita ketakutan setengah mampus kalau bajunya kekecilan dan nggak bisa dibalikin lagi ke tokonya. Masa iya, kalau kita nggak cocok sama suami kita, terus mau dibalikin aja gitu ke mertua? That's why we need pacaran.
Buatku, orang yang memutuskan untuk menikah, adalah orang yang
pemberani. Really. Berani membuat keputusan besar. Berani memikul tanggung jawab. Berani menanggung resiko. Membagi waktu untuk me time sama ngerjain tanggung
jawab pekerjaan aja nggak mudah. Apalagi, membagi kehidupan kita dengan
orang lain. Percaya sama temen yang minjem duit aja susah. Apalagi,
percaya sama orang lain yang janjinya akan bikin kita bahagia seumur
hidup.
So, ya, buatku, pernikahan itu seuatu yang harus
dipikirkan dengan matang, bijaksana, dan sepenuh hati (dan juga logika,
tentunya). Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral, yang kalau bisa, sekali seumur hidup. Memutuskan untuk menikah, berarti memutuskan untuk memikul tanggung jawab maha penting seumur hidup. Kita tidak lagi bertanggung jawab pada hidup kita masing-masing. Hidup bukan lagi menyoal diri sendiri. Memutuskan segala sesuatunya sendiri, yang kadang kita rasa berat, merupakan kemewahan tak teraih dalam pernikahan. Ego yang tadinya jadi pegangan kita yang paling kuat, nantinya harus jadi hal yang paling ringan untuk kita lepaskan. Logika dan perasaan saling menyayangi, entah bagaimana caranya harus tercampur merata. (Ngetiknya aja merinding, lho).
Jadi, entah kenapa mengherankan (buatku) kalau ada alasan menikah (hanya) untuk menghindari zina. Pernikahan itu, sesungguhnya, jauh dari sekedar hanya itu. Butuh alasan dan tujuan yang sangat kuat untuk menikah. If you don't have any, then don't say the vows.
Sebegitu tak terkontrolnya kah kita, sehingga perkara mengendalikan kebutuhan biologis dan kepuasan seksual harus dicampuradukkan dengan ikatan pernikahan? Buatku, menghindari zina adalah upaya untuk mengendalikan kontrol kita terhadap pemenuhan kebutuhan biologis dan berkaitan dengan cara kita memandang dan menghargai tubuh kita. Walaupun, memang, dalam ajaran yang baik, kebutuhan biologis memang sebaiknya dipenuhi setelah menikah. Tetapi, apakah ketika kebutuhan biologis tersebut muncul secara alamiah, harus segera dipenuhi dan dengan kata lain kemudian seseorang harus menikah? Tanpa bisa dikendalikan? Menurutku, jika seseorang memiliki nalar yang sehat dan kendali yang baik akan tubuh dan kebutuhan biologisnya, tanpa menikah pun zina akan terhindarkan.
Lalu, jika seseorang menikah (hanya) untuk menghindari zina, siapkah yang bersangkutan menghadapi tanggung jawab luar biasa dibalik kata pernikahan?
Dan apakah pernikahan bisa membuat yang menjalaninya mengendalikan kebutuhan biologisnya dengan baik? Dengan kata lain, berhenti berzina?
Persoalan lainnya adalah, apa iya semua orang di dunia ini harus siap menikah? Atau tercipta untuk menikah?
Dalem nih. Pusing sendiri. *keluar bintang-bintang muterin kepala*
Okay, sebagai ilustrasi. Salah seorang teman, sebut saja dia Bram. He's been married for three years. Dulunya, ketika masih muda, Bram bukanlah tipe pria setia yang serius berpacaran dengan satu wanita. Berpindah dari satu pelukan ke pelukan lain merupakan hal biasa. Hingga, ada satu wanita yang mengajaknya menikah. Alasannya? Faktor umur yang sudah menginjak kepala tiga dan desakan keluarga pihak wanita, untuk menghindari zina. Bram, pada saat itu, tidak memiliki sikap yang jelas. Jauh di lubuk hati dia sadar dia belum siap menghadapi pernikahan. Tapi sumpah pernikahan terlanjur diucapnya dengan harapan akan membawanya ke kehidupan yang lebih baik, dan juga perasaan kasihan terhadap sang istri yang pada saat itu berharap dinikahi.
Bagaimana kehidupan Bram sekarang? Berubahkah dia? Tidak. Baru setahun menikah, rasa bosan melandanya. Tak cukup hitungan jari Bram menjalin hubungan gelap dengan entah rekan kerjanya, teman lamanya, bahkan mahasiswi. Bram mengaku, dia menyesal. Menyesal mengkhianati istrinya? Bukan. Menyesal telah memaksakan dirinya menikah. Semakin kesini, Bram semakin menyadari bahwa dia bukanlah orang yang bisa dihadapkan pada komitmen pernikahan. Bukan itu tujuan hidupnya. Melihat sosok Bram, kita tidak akan melihat sosok pria pertengahan 30an dengan kharisma suami idaman. Sosok Bram tak ubahnya pemuda awal 20an yang mencari kesenangan semata. "What are you looking for?" tanyaku. "Freedom. Having fun. No attached," jawabnya. Di satu sisi, dia lelah berpura-pura menjalani kehidupan pernikahan. Di sisi lain, dia pun sebenarnya sedih, melukai hati wanita yang dengan penuh ketulusan membagi hidupnya, bersamanya.
Jika Bram bisa kembali ke masa lalu, dia akan memilih untuk menghindari pernikahan. Menjalani kehidupan penuh kebebasan yang didambakannya. Tanpa pernah terikat pada hati yang satu.
"Buat apa nikah, kalau kitanya aja nggak happy. Mau dibilang zina, terserah. I never force any of my partners to do that. We were just having fun. I'm not that kind of men, who sleep only with the one I go home to. Jadi ya, daripada aku menikah cuma buat nyakitin istri, menghasilkan anak yang aku aja males ngurusnya, buat apa? Ya, tapi itupun kalau aku kembali ke masa lalu sih. Sebelum terlanjur," - Bram, suatu sore setelah bertengkar dengan istrinya.
Pikiran yang terlintas pada waktu itu, berapa banyak Bram-Bram lain di dunia ini? Pria-pria berjiwa bebas, yang akhirnya terbelenggu oleh ikatan pernikahan hanya karena menghindari zina, tanpa tau apa yang dia ingin wujudkan dalam ikatan pernikahan itu sendiri. Dan Bram-Bram lain yang pada akhirnya mencari pemuasan kebutuhan biologisnya di luar ikatan pernikahan dengan dalih penasaran tak terpuaskan? Yang pada akhirnya, dijadikan alasan untuk berpoligami supaya tidak dianggap zina.
Bukannya aku menganggap bahwa zina itu nggak apa-apa ya... Tetapi, jika memang ada jenis orang yang memang tidak bisa menghadapi dan bertanggung jawab dengan komitmen pernikahan, dengan kata lain pasti memenuhi kebutuhan biologisnya dengan what people call zina, apakah mereka harus tetap dipaksa menikah supaya tidak berzina?
Apakah lebih baik, orang-orang yang memang tidak ingin menikah itu, harus membangun biduk rumah tangga yang akhirnya hanya akan menyakiti pasangannya? Bukankah lebih baik mereka hidup sendiri, dengan kehidupan yang mereka inginkan, dengan partner-(patner)nya, yang juga menikmati relasi yang sama, and no one get hurts?
Apalagi, perselingkuhan (yang juga bisa dianggap zina) yang kemudian 'disahkan' dengan naungan atap poligami. Sorry to say, tetapi sebegitu rendahnya kah nilai sakral suatu pernikahan, hingga pada akhirnya pernikahan hanya dibentuk demi mensucikan zina?
Jika iya, maka apakah pernikahan itu? Sebuah zina yang dilakukan dengan mengenakan cincin pernikahan?
Entahlah. I don't think that it's better than zina itself. Malah, I do give my respect, untuk orang-orang yang berani menentukan pilihan untuk tidak menikah (jika mereka memang tidak ingin), menjalani kehidupan yang mereka mau, melakukan apa yang mereka mau, tanpa perlu menodai ikatan yang sakral hanya untuk menutupi apa yang mereka lakukan.
Seperti halnya orang yang memutuskan menikah, orang yang berani menentukan kehidupannya dengan bertanggung jawab tanpa harus ikut arus pun juga adalah pemberani yang patut dihargai. Sungguh picik opini publik yang menyatakan "Dia aja umur 17 tahun berani menikah, kamu kapan?". Ya, sekarang gini aja deh, lebih berani mana, orang yang menikah (hanya) karena takut zina, atau orang yang tidak menikah karena sadar hatinya tidak bisa diajak berkomitmen, dan sadar dirinya tidak ingin melukai siapapun?
See you!
@deapurie
Bukannya aku menganggap bahwa zina itu nggak apa-apa ya... Tetapi, jika memang ada jenis orang yang memang tidak bisa menghadapi dan bertanggung jawab dengan komitmen pernikahan, dengan kata lain pasti memenuhi kebutuhan biologisnya dengan what people call zina, apakah mereka harus tetap dipaksa menikah supaya tidak berzina?
Apakah lebih baik, orang-orang yang memang tidak ingin menikah itu, harus membangun biduk rumah tangga yang akhirnya hanya akan menyakiti pasangannya? Bukankah lebih baik mereka hidup sendiri, dengan kehidupan yang mereka inginkan, dengan partner-(patner)nya, yang juga menikmati relasi yang sama, and no one get hurts?
Apalagi, perselingkuhan (yang juga bisa dianggap zina) yang kemudian 'disahkan' dengan naungan atap poligami. Sorry to say, tetapi sebegitu rendahnya kah nilai sakral suatu pernikahan, hingga pada akhirnya pernikahan hanya dibentuk demi mensucikan zina?
Jika iya, maka apakah pernikahan itu? Sebuah zina yang dilakukan dengan mengenakan cincin pernikahan?
Entahlah. I don't think that it's better than zina itself. Malah, I do give my respect, untuk orang-orang yang berani menentukan pilihan untuk tidak menikah (jika mereka memang tidak ingin), menjalani kehidupan yang mereka mau, melakukan apa yang mereka mau, tanpa perlu menodai ikatan yang sakral hanya untuk menutupi apa yang mereka lakukan.
Seperti halnya orang yang memutuskan menikah, orang yang berani menentukan kehidupannya dengan bertanggung jawab tanpa harus ikut arus pun juga adalah pemberani yang patut dihargai. Sungguh picik opini publik yang menyatakan "Dia aja umur 17 tahun berani menikah, kamu kapan?". Ya, sekarang gini aja deh, lebih berani mana, orang yang menikah (hanya) karena takut zina, atau orang yang tidak menikah karena sadar hatinya tidak bisa diajak berkomitmen, dan sadar dirinya tidak ingin melukai siapapun?
See you!
@deapurie