Monday, May 16, 2016

#AADC2 #KalauAkuJadiCinta #TeamTrian #BukanSekedarSoalUang


Anak kekinian, udah nonton AADC 2? Terus gimana? Udah baca surat terbuka dari Trian belom? Kalau belom, ga jadi kekinian deh. 

Padahal aku aja...

Jujur, jujur nih ya, aku belom nonton. Drama 2 kali kehabisan tiket, lalu sibuk, lalu drama diPHP, lalu sekarang sakit, membuat aku harus menunda kapan mau nonton. Doakan minggu ini aku bisa nonton dan semoga filmnya masih diputer. Yeah, diputer, es kali diputer.

Walau belum nonton, spoiler yang bertebaran kesana-kemari dan tuturan lisan dari sepupu dan adekku sendiri, cukup membuat aku, menurutku, lumayan paham jalan ceritanya macem apa. Pokoknya intinya ada cewek gini, terus anu, terus gitu, yak endingnya lalu gini lho. Ditambah lagi baca segala macem meme dan surat-suratan macem surat terbuka di atas. Tapi aku tetep berencana mau nonton kok #dukungfilmIndonesia.

Khey, aku mau langsung aja ke bagian surat dari Trian. Yang belom baca, monggo link-nya di atas...

Membaca surat dari mas Trian, jujur kesan pertama yang aku tangkap adalah "Damn, it's so real!". Surat dari Trian terasa sebagai sesuatu yang nyata di tengah area kisah Cinta dan Rangga yang, mohon maaf, menurutku surreal. Mungkin aku bilang surreal karena aku bukanlah cewek yang Cinta banget. Saya bukan Cinta yang diPHP ratusan purnama masih bisa noleh lagi. Saya Dea, yang diPHP ga sampai satu purnama pun rasanya mau noleh kalau nggak dikasih balsem geliga bisa patah ni leher.

Surat terbuka dari Trian menceritakan tentang isi hati seorang pria yang mapan kemudian ditinggal kekasihnya yang cantik, yang memilih seorang pria bernama Rangga, yang mampu menyentuh hatinya dan membuka kenangan lama berperiodekan purnama. Selama ini, ya tokoh sentralnya memang Rangga dan Cinta. Trian mungkin perannya semacam ajinomoto alias bumbu penyedap, tapi dengan ini (bahkan sebelum nonton) (ya, saya anaknya songong) (ayo bully saya) aku mendedikasikan kalau aku adalah #TeamTrian.

Buat yang lebih suka sama Cinta-Rangga, maafkan aku sebelumnya. Aku ga ada maksud ngajak berantem. Berhenti sampai sini boleh :)

Well, selain mas Trian memang ganteng seperti Ario Bayu dengan bulu dadanya yang bisa membuat hati berdesir, dia adalah sosok kekasih Cinta selama 6 tahun belakangan. 6 tahun, aku nggak tau kalau dikonversikan ke satuan purnama jatuhnya berapa. Tapi yang jelas, 6 tahun itu nggak sebentar lho ya Jengs. 6 tahun itu mampu membuat anak SD yang tadinya cute jadi remaja berandal. Yo wes, pokoke 6 tahun itu lama.

Nggak masuk akal di aku, gimana ya ceritanya kok bisa 6 tahun udah menjalin hubungan serius sama seorang pria yang jelas-jelas serius, mapan, kenapa bisa noleh lagi sama seorang pria yang memPHP dia selama belasan tahun? Why? Kalau yang memerankan Trian adalah Kiwil kemudian pemeran Rangga tetap Nicholas Saputra, bisa deh, masuk akal. Tapi ini Ario Bayu, Jengs... Lebih garang, lebih macho... (mulai ngelantur).

Buat aku, ya, salah satu hal yang diperlukan seorang pria (dan juga wanita) yang memang menginginkan suatu kelanjutan hubungan yang serius adalah kepastian. Sangat kejam, menurutku, kalau ada pria atau wanita nggak ngasih kepastian atau tanda-tanda tentang kemana arah hubungan mereka berlanjut. Kepastian ini, nggak selalu berupa "Iya, aku mau lanjut pacaran serius sama kamu, kalau nemu gedung yang cocok, kabarin aku, nanti aku DP-in" tetapi bisa juga "Kayaknya kita nggak akan lanjut deh, temenan aja yuk, karena mamaku ga mau punya menantu kaya kamu". Gitu lho, iya ya iya, enggak ya enggak. Jangan ngomongnya iya, tapi tindakan nggak ada. Jangan ngomongnya enggak, tapi ngejer-ngejer terus, narik ulur, dipikir sini layangan? #curhat. Jangan lupa, ketika memberikan kepastian baik berupa kata 'tidak' atau 'iya', alasan itu perlu lho, supaya nggak ada kegiatan membatin-batin dan menerka-nerka yang nggak perlu dan menguras emosi. Buat aku, ya memang sih apa yang Rangga lakukan ke Cinta itu jahat. Jahat banget malah. Aku sebagai cewek, nggak usah pakai beratus-ratus purnama. Kalau dari awal aja nggak jelas, aku mah males. Bayangin, Cinta digantung selama belasan tahun (mulai males pakai kata purnama) tanpa alasan yang jelas. Kalau aku jadi Cinta, pasti sudah jutaan kali aku nge-tweet "Dek nen ki jane karepe piye toh?". Walau memang Rangga pernah mutusin Cinta, tapi kan Rangga nggak mengungkapkan alasannya secara gamblang dan logis. Mana Rangga sukanya main puisi lagi, hmmm, please lah, kalau ngomongin kelanjutan hubungan yang serius, sesekali jangan pakai puisi lah. Kan puisi itu multitafsir? Ya kan?. Tinggal bilang aja "Aku takut madesu...". Perkara lalu Cinta menanggapi apa, lalu mereka ga jadi putus atau apa, ya nggak papa kan? At least semuanya jelas.

Apalagi mutusinnya pakai surat. Makin absurd. Mbok ya telepon to Mas Rangga, biar kalau Mbak Cinta mau menanggapi jadi gampang. Modal pulsa agak mahal dikit gapapa to, Mas? Resiko LDR ini.

Kalau aku jadi Cinta, nggak akan aku menemui Rangga demi mengetahui sebuah kepastian. Buat aku, ya udah, berarti dia memang nggak bisa diajak berkomunikasi secara logis. Apa-apaan, masa baru belasan tahun aku baru bisa dapet kepastian itupun musti nemuin dia dulu? Buat aku, ya sudah, kamu nggak mau ngasih alasan yang jelas, kamu nggak akan bisa mempermainkan waktuku lagi (tampang galak) (cem emak-emak). Nggak akan ada kata penasaran, apalagi yang harus dipenasarankan, cukup tau lah kamu ngasih kepastian aja nggak bisa. Kalau aku jadi Cinta, mungkin aku akan begitu. Kesannya kasar memang, tapi ya... Ya begitulah. (mulai gemas)

Pikirkan Trian. Dia lho, yang katanya berhasil menarik Cinta dari keabsurdan kehidupan pasca diputusin secara ga jelas. Terus 6 tahun pacaran lagi. Nah. Di sini lah Cinta juga, maaf, menurutku, sejahat Rangga. Ini semacam drama PHP berkelanjutan kepada PHP lainnya yang nggak kalah sakit.

Kalau Cinta memang nggak bisa lepas dari Rangga, misalkan aku jadi Cinta nih ya, ketika bayang-bayang Rangga melekat amat kuat dalam ingatanku dan aku masih ingin mengejar alasan kenapa Rangga kok gitu, aku nggak akan menerima Trian sebagai pacarku. "Terima kasih Trian, atas segala bantuanmu di hidupku, yang bisa bikin aku kuat. Tetapi maaf, aku belum bisa lupain Rangga, daripada nantinya kamu kusakiti, mendingan jangan kan? Aku nggak bisa bayangin orang yang udah nolongin aku, kusakiti". Lalu? Yaudah, selesaikan kuliah, fokus bekerja, nabung buat beli tiket ke New York (atau minta papi aja ya? papi Cinta kan kaya), temuin Rangga, tanyain apa maunya. Kalau memang masih memendam seuatu sama Rangga, aku mah konsisten dong. Perkara nanti endingnya tetap ga bisa bersama, setidaknya yang tersakiti hanya diri sendiri tanpa harus bawa-bawa orang lain. Drama sih, tapi kan nggak sampai gimana-gimana banget kan?

Kalau Cinta bisa dan mau lepas sama Rangga, misalkan aku jadi Cinta nih ya (lagi-lagi), aku akan menerima cinta Trian, dan, yaudah. Apa yang aku pilih, akan aku jalani. Mau cinta beneran kek, mau cinta duitnya kek, udah bilang iya sama Trian, ya selama Trian ga selingkuh atau KDRT atau melakukan hal yang ngeselin, ya udah ga usah baper-baperan sama yang lain. Fokusin aja hidupku sama diriku sendiri dan hubungan sama Trian. Mau Rangga sliwar-sliwer di depan mata cem abang cilok, ya biar aja. Kan udah milih Trian to?

"Lha tapi kan cinta pertamanya Rangga," "Lha tapi kan kenangan sama Rangga masih membayangi," "Lha tapi kan masih butuh kejelasan sama Rangga," Lha yaudah nek gitu jangan sama Trian atuh :( kan ada pilihan untuk nyusul Rangga ke New York dari purnama ke berapa itu toh, sebelum jumlahnya mencapai ratusan. Jadi Trian kan masih ada 6 tahun buat cari kekasih lain yang mau serius sama dia. Trian nggak membuang 6 tahunnya dengan percuma hanya untuk merasakan pedihnya diPHP. Siapa tahu, kalau 6 tahun itu Trian jomblo, bisa sama aku gitu? *gaplok aja gapapa*

Kasihan kan Trian? #caritemen

Tentang Balasan Surat dari Cinta yang Milih Rangga

Dalam postingan surat dari Trian di blog Abdul Hamid, ada beberapa balasan yang berbentuk surat dari Cinta untuk Trian. Intinya sama: "Hey Trian, aku tuh mau balik sama Rangga karena aku ga cuma butuh uang, aku butuh kebahagiaan" bahkan ada yang membawa-bawa keluarga Cinta yang sudah kaya sehingga Cinta nggak lagi ngejar uang.

Ya, memang di film ini Trian digambarkan kontras dengan Rangga. Contohnya, Trian brewoknya seksi gitu sedangkan Rangga mulus. Khey. Intermezzo. Trian pengusaha kaya, mapan, bahkan katanya kaya dari lahir, tapi tidak sepuitis Rangga. Sedangkan Rangga, pemuda yang katanya 'cuma' punya coffeeshop di New York, bukan keturunan keluarga kaya, tapi puitisnya mampus.

Tapi, kalau dalam kacamata aku, maaf buat yang nggak setuju, nggak ada tuh signifikansinya kekayaan Trian dalam hubungan Trian-Cinta-Rangga. Dan, kalaupun semata-mata aku lebih milih Trian ketimbang Rangga, itu karena Rangga PHP, sulit ditebak sedangkan belum ada ceritanya Trian PHPin Cinta kayak apapun. Trian memang nggak puitis, tapi Trian itu nyata. Nyata ada di depan Cinta, nyata nolongin Cinta dalam segala kekalutannya akibat PHP yang sungguh tidak penting itu. Trian memiliki kepastian yang lebih nyata ketimbang Rangga. Sesederhana itu. Ya perkara Cinta emang maunya sama Rangga aja, kenapa harus melibatkan Trian?

Hubungan serius itu, nggak cuma butuh getar-getar hati dan romantisme kata-kata. Maaf, kalian salah tebak, aku bukan mau bahas soal uang atau kekayaan. Tapi, sikap Trian yang lebih pasti, menunjukkan kualitas dia sebagai pria sesungguhnya. Dia bahkan merelakan Cinta mengejar Rangga lho, karena dia punya harga diri dan pasti nggak ingin melanjutkan hubungan serius sama boneka yang hatinya terombang-ambing jauh ke New York sana. Dia tau apa yang dia mau. Sedangkan Rangga? Aku nggak ngerti lagi, aku nggak berani membayangkan segala kode dan ketidakpastiannya akan merambati seluruh pertimbangan hidup yang akan dia jalani sama Cinta kelak. Aku nggak kebayang kalau aku harus berbagi hidup sama orang yang kalau marah bukannya ngomel tapi malah nulis puisi, yang kalau sedih bukannya nangis malah nulis puisi, yang kalau nggak tau maunya aku apa bukannya nanya sama aku tapi malah berasumsi yang nggak penting bahkan salah terus ngambil tindakan impulsif yang emosional dan nggak sehat. Belum lagi kalau sini nggak tau situ maunya apa harus nebak-nebak buah manggis sambil drama bimbang ga jelas. Misterius boleh, ngode boleh, tapi ini bukan sinetron yang kalau ngomong dalam hati, dari Sabang sampai Merauke bisa denger.

Yaitulah, saya Dea, bukan Cinta.
Kalau Dea jadi Cinta, #AADC2 pasti hambar.
Buat aku pribadi, pesan film ini adalah: kisah begituan cuma ada di film-film. Tapi aku akan tetap nonton kok untuk membuktikan ada perubahan perasaan nggak setelah nonton. Siapa tau, ternyata saya anaknya labil terus jadi mihak Rangga? #dangkal

See you!
deapurie

Saturday, May 14, 2016

Cerita Tentang Seorang Anak Perempuan yang Belajar Menyetir Mobil... (2) (Instruktur Privat)

Setelah menghabiskan 7 jam di tempat kursus setir mobil tanpa membawa hasil apa-apa, akhirnya aku pun kehilangan semangat untuk belajar menyetir mobil. 6 bulan lamanya aku nggak lagi pegang setir.

Ibu pun akhirnya berinisiatif untuk mencarikan instruktur privat yang mau datang ke rumah. Ibu berpikiran, jangan-jangan tempat kursus itu sengaja berlama-lama mengajarkan muridnya untuk bisa nyetir supaya pemasukan yang didapat bertambah. Jadilah ibu keukeuh buat cari instruktur privat.

Instruktur privat ini namanya Pak Topo, supir di kantor ibu. Perjuangan ibu membujuk Pak Topo untuk mau datang ke rumah ini sangat lama, karena katanya antreannya panjaaangg sekali. Konon katanya, Pak Topo ini seringkali berhasil ngajarin nyetir hanya dalam 4 kali pertemuan.

Hati ini langsung tergiur dan semangat.

Akhir Desember 2015, akhirnya Pak Topo datang ke rumah. Percobaan pertama, beliau ngajarin adekku, yang aslinya sudah bisa nyetir dikit-dikit. Lalu? dalam kurun waktu 3 hari adekku pun lancar jaya nyetirnya. Hmm, ga heran sih, soalnya dia cowok dan skill dasarnya sudah menguasai.

Tibalah saatnya Pak Topo ngajarin aku. Dari pertama aku udah wanti-wanti. Walaupun aku pernah kursus, kemampuanku nol besar. 6 bulan ga megang setir sama sekali, plus udah lupa juga apa yang diajarin waktu kurus dulu.

Tapi kelihatannya Pak Topo tetap berharap banyak padaku...

Pagi itu, tanggal 30 Desember 2015, aku latihan di daerah Kotabaru. Akhirnya Pak Topo menepikan mobilku di satu tempat sempit, meminta untuk bertukar tempat. Latihan dimulai.

"Coba sekarang putar balik."

Ngeeeenngg. Ga salah nih? Aku kan udah request dari nol. Caranya belok aja aku udah lupa, gimana aku mau putar balik...

Terpaksa akhirnya aku coba putar balik. Dan, mobil malah menerjang maju ke sisi samping. Pak Topo pun teriak dengan nada tinggi, lebih seperti membentak, "Belokin! Belokin!". Sementara karena aku kaget dengan teriakannya, entah gimana mesin mobil malah pet, mati. Posisi mobilnya melintang di tengah jalan.

Seriously, bahkan pas aku kursus pun belum pernah diajarin putar balik. Dan sekarang aku putar balik setelah 6 bulan ga pegang setir, kemudian dibentak pula. Damn. Akhirnya aku nyalakan mesin lagi, dengan tangan dan kaki gemetar. Dan sukses mesin mobil pun mati lagi sampai 3 kali karena aku masih kaget dibentak dan ga bisa konsen naikin kopling.

Kemudian Pak Topo berceramah dengan nada nggak enak dan seperti meremehkan aku. Intinya sih aku lamban, payah, dll. Akhirnya aku pun meminta untuk belajar jalan lurus-lurus dulu dan melancarkan belok kanan-kiri. Beberapa kali aku melakukan kesalahan dan kena omel terus. Tiap aku salah, Pak Topo selalu teriak kenceng dan tangannya bantingin setirku dengan panik. Aku pun yang tadinya tenang malah kaget dan saking kagetnya aku jadi ga paham sebenernya kesalahanku apa.

Setelah sejam jalan lurus dan belok-belok, Pak Topo meminta aku untuk menentukan rute. Lha, kok aneh. Harusnya dia sebagai instruktur bisa kira-kira dong, anak didiknya ini kemampuannya seberapa, cocoknya di medan seperti apa. Akhirnya aku jawab kalau aku mau nurut pilihannya aja karena aku juga ga begitu paham kondisi jalan di sekitar Kotabaru. Eeeh, beliau malah ngatain aku ga punya prinsip. "Anda itu monoton, dari tadi lurus belok saja. Terus ga punya prinsip. Anda itu harusnya bisa menentukan mau jalan ke mana..." Dyar. Padahal aku lurus belok kan mau ngelancarin supaya nanti kalau putar balik, berhasil. Kok malah dikatain gitu.

Akhirnya, supaya ga dikatain ga punya prinsip, aku menentukan ruteku sendiri. 15 menit, lancar. Sampai akhirnya aku salah belok ke jalan yang menurun dan tembus ke jalan yang rame banget. Pak Topo pun marah-marah menuduhku 'keminter' karena memilih rute yang sulit. Nah kan, padahal aku udah bilang kalau aku ga paham kondisi jalan sekitar sini. Serba salah. Ngomel lagi lah Pak Topo.

Kemudian dua jam hari itu dipenuhi kalimat...

"Anda payah"
"Anda lamban"
"Anda monoton" (padahal maksudku ngelancarin belok² dulu baru belajar yang lain)
"Kalau nggak ada saya, Anda udah ketabrak dari tadi"
"Masa ngendalikan setir aja Anda nggak bisa?"
"BELOK! BELOK! AWAS MINGGIR! ANDA MIKIR BISA NGGA?"

Aku kehilangan sisa kedamaian hari itu.

Puncaknya, ketika belajar putar balik lagi, karena Pak Topo kebanyakan ngomel aku kehilangan konsentrasi dan nyaris menabrak trotoar. Pak Topo gimana reaksinya? Marah besar. Kemudian akupun komplain kalau dia kebanyakan ngomong, membuatku panik, dan giduh. Aku pun rasanya hampir nangis. Rasanya aku seperti disepelekan bahwa aku ga akan bisa nyetir mobil. Akhirnya kami pulang. Pak Topo pun sepanjang jalan bukannya minta maaf malah menjelaskan kalau dia itu supir, bukan instruktur. Lho, kalau gitu, kenapa nerima job sebagai instruktur?

Entahlah, mungkin dia kagol setelah sebelumnya mengajari adekku yang cepat bisa.
Sampai di rumah, aku menjaga situasi dengan ga cerita apa-apa ke Ibu. Lalu Pak Topo? Beuh. Dia ngadu kalau aku ngambek sama dia, dia ngadu kalau aku komplain ke dia tanpa cerita kejadian komplit di hari itu. Ibuku pun minta maaf dan meminta Pak Topo untuk sabar.

Rasanya pengen nangis. Banget. Selain menurunkan mental dan motivasiku buat belajar nyetir, dia juga manipulatif ternyata. Kok bisa dia ngadu ke Ibu tanpa cerita kejadian lengkapnya? Kok bisa dia ngadu domba Ibu dan anaknya? Kok bisa. Harusnya dia sadar bahwa tindakan seperti itu menimbulkan suasana yang nggak sehat. Yang bikin sakit hati lagi, Ibu (yang nggak tau kejadiannya kaya apa) malah minta Pak Topo untuk sabar. Lho, salah siapa sih ini.

Kemudian aku mengingat saat-saat aku belajar nyetir untuk pertama kalinya. Di tempat kursus, progress ku ga seberapa, ada instruktur yang konyol-konyol juga, tapi nggak ada satupun instruktur yang berkata-kata kasar bahkan menurunkan mentalku untuk belajar nyetir. Nggak ada. Walau perkembanganku lamban, mereka semua tetap bersikap supportif. Sempat terpikir untuk balik kursus aja, tapi apa daya Ibu udah terlanjur booking Pak Topo dan merasa sungkan untuk membatalkan.

Jadi ya, beberapa hari setelah itu terpaksa aku harus berhadapan lagi dengan Pak Topo.

Malamnya, aku men-share kejadian yang aku alami via Path dan FB. Ternyata banyak juga temanku yang mengalami kejadian sama, banyak juga temanku yang support aku dan meyakinkan diriku bahwa aku ada di posisi yang benar. Setelah menguatkan  batin, akhirnya aku justru termotivasi untuk cepat belajar dan harus segera bisa menyetir supaya nggak lagi berhadapan dengan Pak Topo.

Akhirnya, dari tanggal 31 Desember 2015 sampai 2 Januari 2016 aku menjalani latihan kembali dengan Pak Topo. Strateginya, aku pakai earphone dan menyetel lagu-lagu yang slow supaya tetap tenang dan omelan Pak Topo nggak lagi terdengar jelas. Kata-kata kasar merendahkan yang keluar dari mulut Pak Topo aku abaikan, dan aku berusaha keras untuk tetap fokus ke jalan.

Hasilnya, di pertemuan kedua mesin mobil nggak lagi mati, pertemuan ketiga gas mulai stabil, pertemuan keempat belokan mulai lancar. Perkembangan-perkembangan kecil yang terasa besar buatku. Walau Pak Topo nggak pernah menceritakan itu ke Ibu, (yang dia ceritakan cuma kelemahanku saja) aku tetap menganggap perkembangan itu sebagai semangat supaya aku bisa menyetir mobil sendiri. Nggak perlu lah orang lain tau perkembanganku, yang penting aku harus tetap semangat.

Oh iya by the way, pada akhirnya aku tahu lho, korban Pak Topo ini bukan aku saja :) ternyata ada juga yang les nyetir sama dia terus trauma. Perkara dia jujur masalah ngajarin orang 4 hari langsung lancar, gatau juga deh ya...

Setelah Pak Topo kembali masuk kerja, otomatis aku nggak lagi latihan. Karena takut bakal kagok lagi ga bisa megang setir, aku memutuskan untuk tetap latihan. Tapi, ya itu. Nggak mungkin kan aku latihan ke jalanan sendiri? Terus gimana dong?

Tunggu cerita selanjutnya ya :)


See you!
@deapurie