"... kami mohon ampun Tuhan, apabila selama ini kami banyak mengeluh, kami kurang bersyukur atas berkat pekerjaan yang engkau berikan selama ini..."
Kalimat itu adalah sepenggal dari doa kami dini hari tadi. Kami, saya dan Mas Rengga, berdoa bersama via kecanggihan teknologi bernama WhatsApp call. Suara Mas Rengga terdengar dikuat-kuatkan, sementara saya tercekat menahan air mata.
Beberapa bulan yang lalu, saya kerap kali sambat ketika harus ngantor pagi-pagi. Masih ngantuk, terlalu pagi, tidak punya cukup waktu untuk keramas, dan sederet keluhan lainnya. Yang sesungguhnya berawal dari ketidakmampuan saya mengatur waktu dengan baik.
Baru dua bulan yang lalu, saya mengajukan cuti me time kepada manager saya. Yang akhirnya tidak bisa saya ambil karena ada sesuatu yang harus saya handle di tanggal yang saya tunjuk. Kalau saya pikir-pikir sekarang, sombong betul saya kala itu. Merasa jadi orang paling sibuk, merasa tidak punya waktu.
Saya ingat betul kala itu, hari Sabtu tanggal 14 Maret 2020. Saya masih berkantor seperti biasa. Hari sudah menjelang siang ketika banyak info-info mengenai persebaran virus Corona yang sudah mencapai Jogja. Info tersebut berujung himbauan dari berbagai kampus untuk me-non aktifkan kegiatan tatap muka. Terlihat seperti diliburkan, namun berkat kecanggihan teknologi, online class tetap berjalan. Saya masih ingat siang itu manager saya menyatakan bahwa kemungkinan kantor kami akan shut-down sementara. Dalam hati saya masih berpikir bahwa semua akan baik-baik saja.
Bahkan sore itu saya masih mengunjungi pusat perbelanjaan. Dan saya melihat bahwa segalanya masih baik-baik saja.
Hari-hari berikutnya saya masih beberapa kali ke kantor. Jujur kala itu saya masih belum begitu khawatir. Hanya saja, situasi memang sudah demikian berubah. Setelahnya saya sempat meliburkan diri beberapa hari, tetapi rasanya memang tidak begitu nyaman. Ada hari ketika saya kembali ke kantor, saya menitikkan air mata ketika saya sedang bersiap-siap. Betapa sekarang berpergian adalah suatu kemewahan. Dulu saya sering menggerutu ketika bersiap-siap pergi. Rempong, capek. Kemudian sekarang saya jadi melakukannya dengan penuh syukur.
"Tuhan berkati manager kami, pimpinan kantor kami, yang kami yakin kali ini sedang diliputi berbagai persoalan terkait dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan di tengah krisis pemasukan..."
Kalimat itu diucapkan oleh Mas Rengga. Air mata saya menetes tak tertahankan.
Saya ingat betul betapa sepinya situasi kantor belakangan. Hingga akhirnya manager saya mengumpulkan beberapa karyawan dan menyatakan bahwa situasi sedang tidak oke, sehingga terpaksa akan ada pengurangan jam kerja dan sebagian dari kami dirumahkan sampai batas waktu yang belum ditentukan. Situasi yang kurang lebih sama juga terjadi di kantor Mas Rengga.
Kala itu saya diam, namun setelahnya saya menangis cukup lama. Saya masih terhitung beruntung, masih memiliki pekerjaan sebagai pengajar paruh waktu di sebuah universitas. Mas Rengga masih bisa work from home, walau entah sampai kapan. Namun saya tidak kuat membayangkan teman-teman kami yang lain, baik di tempat saya bekerja maupun di tempat Mas Rengga bekerja. Yang sudah bekerja begitu lama, yang sudah mengabdikan dirinya penuh. Pelik lagi membayangkan bagaimana manager kami bergelut, berjuang memastikan agar semua kebutuhan bisa terpenuhi, di tengah kesulitan yang jauh lebih rumit dari yang kami tahu. Segalanya begitu mendadak dan tak terduga. Hati saya sesak. Biar bagaimanapun, kantor kami adalah tempat di mana kami sama-sama sibuk menghabiskan waktu beberapa bulan belakangan ini. Pekerjaan yang sering kami keluhkan, sejatinya adalah bagian dari hidup kami, tenaga nafas kami.
Saya masih ingat beberapa hari yang lalu, rekan kerja saya berkelakar mengenai ODP, ora (n)duwe penghasilan (tidak punya penghasilan). Entah kenapa batin saya bergejolak, melihat seulas senyum getir yang masih terlihat dibalik gelak tawanya. Saya masih ingat beberapa hari yang lalu kami masih mengeluhkan "...pengen ke mall nih..." yang saya yakin sekarang keluhan itu sudah berganti menjadi keinginan untuk bekerja dan kembali ke rutinitas normal.
Sudah menjadi rutinitas saya dan Mas Rengga, untuk menyempatkan makan malam bersama sepulangnya kami bekerja. Di waktu-waktu itulah segala keluh kesah mengenai pekerjaan kami, kami pertukarkan. Hal yang entah kapan lagi bisa kami lakukan.
"... kami juga mohon ampun atas kelalaian kami Tuhan. Kami banyak mengabaikan orang di sekitar kami, kami jarang menyisihkan waktu untuk keluarga kami. Kami jauh lebih mementingkan pekerjaan kami dibandingkan keluarga kami..."
Terbata-bata saya mengucapkan kalimat itu. Sekian lama saya tidak bertegur sapa dengan adik saya, tidak banyak bercerita dengan ibu saya, tidak banyak membicarakan hal remeh-temeh dengan Mbak Mini. Pun saya juga lupa kapan terakhir kali saya menemani nenek saya makan. Pekerjaan di atas segala-galanya, kala itu.
Menjadikan pekerjaan saya hidup saya, membuat saya serasa kehilangan hidup saya ketika saya kehilangannya. Saya lupa, hidup bukan hanya sekedar bekerja dan menikmati hasilnya setelahnya.
Saya lupa, saya masih punya rumah untuk saya pulang.
Semoga rumah saya masih cukup rentangan tangannya untuk memeluk saya yang sempat abai ini kembali. Mungkin ini cara Tuhan mengingatkan saya, bahwa di bawah sepatu high-heels saya, yang kemarin jadi pijakan saya nyaris setiap hari, masih ada lantai rumah yang nyaman. Selain cipika-cipiki penuh formalitas, masih akan ada pelukan yang walau penuh isak tangis, terasa lebih hangat.
Kembalilah ke rumah, di sanalah tempatmu berada...