Yang ditinggal selingkuh?
Yang selingkuh?
Yang jadi selingkuhan?
In my opinion, semua pihak yang terlibat punya porsi kesalahannya masing-masing.
Selama ini, hampir semua tulisan atau perbincangan mengenai perselingkuhan seringkali menitikberatkan kesalahan pada yang berselingkuh atau yang dijadikan selingkuhan. Beberapa minggu belakangan, tulisan mengundang simpati dari seorang istri yang ditinggal selingkuh oleh suaminya beredar luas di sosial media. Banyak orang berkomentar dan saling bertukar pandangan mengenai tulisan tersebut. Rata-rata komentar penuh simpati ditujukan kepada istri yang ditinggal selingkuh, sementara komentar bernada negatif ditujukan kepada suami yang berselingkuh dan perempuan lain yang dijadikan selingkuhan.
Perselingkuhan tidak sesederhana siapa menyakiti siapa. Siapa meninggalkan siapa. Siapa melukai siapa. Perselingkuhan dibangun dan dibentuk, bukan serta merta dilakukan. Perselingkuhan dipicu dan disebabkan oleh banyak hal, bukan spontanitas. I do believe tidak ada perselingkuhan dilakukan dengan dasar "Iseng aja sih..." atau "Nggak tau ya, tiba-tiba pengen aja...".
Anggaplah pihak pertama adalah yang ditinggal selingkuh, lalu pihak kedua adalah yang berselingkuh, sedangkan pihak ketiga adalah selingkuhannya.
Relationship yang sah dan benar adalah yang dijalani oleh pihak pertama dan kedua. Sedangkan yang dijalani oleh pihak kedua dan ketiga adalah nyata salah tanpa ada pembenarannya.
Pertanyaannya, ada apa dengan relationship pihak pertama dan kedua? Apa yang terjadi sampai harus ada pihak ketiga?
Logika standar termudah untuk dimengerti, sudah pasti ada sesuatu dalam relationship antara pihak pertama dan kedua, yang dirasa kurang oleh pihak kedua. Sehingga, diperlukan keberadaan pihak ketiga untuk memenuhi kebutuhan yang dirasa tidak terpenuhi dalam relationship antara pihak pertama dan kedua. Namanya persoalan, atau kebutuhan yang tidak terpenuhi, bisa jadi salah pihak pertama, pihak kedua, atau keduanya. Pun bisa pula salah paham yang tidak terkomunikasikan dengan baik. Aku rasa, penjelasan ini bisa diaplikasikan untuk hampir semua cerita perselingkuhan di belahan dunia manapun.
Ketika relationship antara pihak pertama dan kedua baik-baik saja, nggak mungkin ada pihak ketiga. "Tapi kan bisa aja, relationshipnya adem ayem, tapi jadi berantakan karena godaan pihak ketiga?". Nggak sesederhana itu. Bayangkan, ada orang habis makan, kenyang. Mau ditawarin makanan kayak apapun, kalau memang dia kenyang, pasti menolak. Lain cerita kalau dia makan, lalu karena jaim (jaga image) dia bilangnya kenyang. Terus waktu ditawarin makanan lagi, diem-diem, dia mau. Berarti dia sebetulnya nggak kenyang kan? Masih laper kan? Ya sama aja dengan orang yang mengaku puas dengan relationship yang dipunya, padahal sebetulnya enggak. Kalau sampai tadinya baik-baik saja, tapi kemudian dengan mudahnya tergoda oleh pihak ketiga, berarti memang ada yang kurang. Hanya saja, kebutuhan yang kurang itu mungkin baru disadari setelah pihak ketiga berhasil memenuhinya. Atau berhasil ditemukannya di pihak ketiga.
Sehingga, lagi-lagi menurutku, agak barbar jika kita tanpa ba-bi-bu langsung menyalahkan pihak kedua atau ketiga. Bahkan misal kita, pahit-pahitnya, sebagai pihak pertama. Walau memang perselingkuhan adalah jelas salah dan tidak benar, tapi lagi-lagi itu tidak terjadi begitu saja.
Perselingkuhan bisa dikatakan sebagai perwujudan dari persoalan yang mungkin selama ini tidak terpetakan atau bahkan terpecahkan dengan baik, dalam relationship itu sendiri. Instead of sibuk menyalahkan pihak kedua dan ketiga, apakah tidak lebih baik alihkan perhatian pada persoalan yang menjadi pemicu perselingkuhan itu? Jika persoalan itu terpetakan dan terselesaikan dengan baik, tentunya dengan 'pengorbanan' dan penurunan ego baik pihak pertama, pihak kedua, atau bahkan keduanya, hampir bisa dipastikan perkara perselingkuhannya pun juga akan luruh.
Lain jika yang sibuk 'dibasmi' adalah pihak ketiga. Segala upaya 'penghilangan' pihak ketiga dengan berbagai cara, entah itu dilabrak, diusir, dan lain sebagainya, nggak akan efektif jika persoalan pihak pertama dan kedua tidak diselesaikan. Pihak ketiga mungkin akan tertekan, terpojok, lalu pergi. Atau dengan kesadarannya, menyingkir dengan sendirinya. Tetapi, jika persoalan antara pihak pertama dan kedua tidak terselesaikan, atau pihak kedua masih juga merasa tidak puas dengan relationshipnya bersama pihak pertama, apa iya nggak akan ada pihak ketiga jilid dua, tiga, empat, dan seterusnya?
Seringkali, 'perseteruan' imbas dari perselingkuhan, adalah pihak pertama dan pihak ketiga. Padahal, kalau dirunut ya nggak akan jauh-jauh dari pihak pertama dan kedua.
Perselingkuhan itu ibarat demam. Banyak orang berpikir, bahwa demam adalah penyakit. Kita punya istilah 'sakit panas', yang sering kita pakai untuk menjelaskan kondisi naiknya suhu tubuh. Padahal, naiknya suhu tubuh atau demam itu, bukan terjadi begitu saja. Demam juga bukan penyakit. Demam itu bisa terjadi karena kita kena virus influenza, misalnya. Atau karena saraf gigi kita bermasalah, atau karena kita kena infeksi di bagian dalam tubuh. Demam hanyalah imbas pertahanan tubuh akibat permasalahan kesehatan yang menyerang tubuh kita. Sama halnya dengan perselingkuhan yang merupakan perwujudan dari persoalan di dalam sebuah relationship.
Kalau kita minum obat penurun panas, demamnya reda tidak? Bisa jadi reda, tapi pasti demamnya akan kembali lagi kalau penyakit utamanya tidak diobati. Kalau infeksinya atau virusnya di'selesaikan' dengan antibiotik, pasti demamnya juga akan hilang. Walau, minum antibiotik itu pahit. Sepahit menurunkan ego dan 'mengorbankan diri' dalam rangka menyelesaikan persoalan dalam sebuah relationship. Selesaikan persoalan utamanya, maka demamnya, atau perselingkuhannya, juga pasti akan reda.
Jangan fokus pada demamnya, fokuslah pada penyakitnya.
***
Biar bagaimanapun, apapun pembelaannya, tetaplah perselingkuhan itu salah.
Pihak kedua, jika ada yang dirasa tak cukup, jika ada yang dirasa kurang, mencari pemenuhan di luar sana bukanlah solusi yang terbaik. Jika ada yang dirasa bermasalah atau mengecewakan, kamu selalu punya dia yang pertama, yang memang ada untukmu, untuk berbagi yang terpahit sekalipun. Kalian memang diciptakan untuk itu, jika kamu memang dengan sadar memilih menjalaninya dengan yang pertama. Menghindari kepahitan dan mencari yang dirasa lebih manis, mungkin membuatmu nyaman, sesaat. Tetapi kepahitan itu akan terus ada jika kamu terus membiarkannya sebagai kepahitan. Ubahlah kepahitan itu menjadi yang manis. Ingatlah kamu tidak sendiri, ada dia yang pertama yang selalu bisa kamu ajak berjalan berdua, melintasi jalan berbatu sekalipun. Masih lebih baik mengajak dia yang pertama menyusuri jalan berbatu, berdua, beriringan. Daripada berjalan di atas awan dengan yang lain, dan meninggalkan dia di jalan berbatu sendirian.
Pihak ketiga, tidak ada takdir yang menyatakan bahwa kamu akan jadi yang lain dalam dunia mereka berdua. Pilihan selalu ada di tangan semua manusia, termasuk kamu. Jangan pernah merasa jadi yang lebih, karena jika memang kamu adalah yang lebih, kamu adalah yang pertama, bukan yang ketiga. Jangan pernah juga merasa jadi penolong bagi dia, karena ini adalah persoalan mereka berdua. Menolong hanya salah satu pihak, apalagi sembunyi-sembunyi, apalagi jika diam-diam karenanya kamu mendapatkan kesenangan, masih pantaskah itu disebut menolong? Tolonglah dirimu sendiri terlebih dulu, sebaiknya, agar kamu tak perlu terjerembab dalam pusaran lumpur hisap yang tak perlu.
Pihak pertama, cukuplah rasakan betapa tidak nyamannya demam itu sesaat. Sesaat saja. Carilah akar demam itu. Sembuhkanlah penyakit itu. Sepahit apapun. Jika sembuh, ingatkan belahan hatimu untuk selalu menjaganya agar tetap baik-baik saja. Ingatlah untuk selalu peka terhadap tanda-tanda kesehatanmu, sekecil apapun.
Walau memang, tidak semua penyakit bisa disembuhkan. Adakalanya, penyakit membawa kita pada kematian. Kematian memang pedih. Tapi ingatkah, bahwa dari sebuah kematian akan timbul kehidupan abadi yang lebih membahagiakan? Berjuang dengan segala macam alat yang membantu denyut jantung kita tetap ada, seringkali lebih menyakitkan daripada mengikhlaskan kematian dan menerimanya dengan lapang dada, serta menjalani kehidupan abadi berikutnya. Tahu maksudnya kan?
@deapurie